1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Ukraina: Mengapa Asia Tenggara Diam?

8 Maret 2022

Selain menegur Rusia di PBB, banyak negara memberikan "tanggapan hangat" terhadap invasi ke Ukraina. Para ahli berspekulasi sikap diam itu bisa jadi karena kewaspadaan regional akan keterlibatan dalam urusan yang jauh.

Hasil pemungutan suara pada resolusi krisis Ukraina ditampilkan dalam pertemuan darurat Majelis Umum PBB
Tanggapan dari pemerintah Asia Tenggara terhadap invasi Rusia beragamFoto: Seth Wenig/AP Photo/picture alliance

Hampir dua minggu setelah invasi Rusia ke Ukraina, tanggapan dari sejumlah negara dipertanyakan. Pada Rabu (02/03) lalu, sembilan dari 11 negara Asia Tenggara mendukung resolusi Majelis Umum PBB untuk menegur Moskow atas invasinya dan menyerukan perdamaian. Sementara Vietnam dan Laos, dua mitra bersejarah Rusia, menyatakan abstain.

Terlepas dari pilihan pemberian suara secara diplomatik, tanggapan dari pemerintah Asia Tenggara beragam— beberapa diam. Singapura membuat keputusan langka untuk menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Indonesia dengan cepat mengkritik tindakan Presiden Vladimir Putin. Filipina, sekutu perjanjian AS, menggambarkan dirinya sebagai pihak netral. Sementara itu, Thailand dan Malaysia tetap diam.

Rusia dipandang sebagai mitra dagang utama

Banyak pemimpin regional telah menyerukan perdamaian, tetapi berusaha untuk tidak memihak dalam konflik. Rusia adalah mitra dagang terbesar kesembilan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang kemungkinan menjadi alasan beberapa negara memilih untuk tidak mengkritik Moskow. Lebih penting lagi, Rusia adalah pemasok senjata terbesar di kawasan itu, mengutip laporan Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.

Lebih dari 80% peralatan militer Vietnam telah disuplai oleh Rusia sejak tahun 2000. Rusia juga telah menjual senjata ke Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan menjadi salah satu penyedia utama amunisi kepada junta militer Myanmar. Pada Desember 2021, Jakarta juga menjadi tuan rumah latihan maritim bersama Rusia-ASEAN yang pertama.

Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Amerika Serikat mengatakan, sudut pandang militer bisa dilebih-lebihkan. "Sebagian besar ekspor senjata Rusia terkonsentrasi di Vietnam dan Myanmar", paparAbuza. Sementara penjualan ke negara-negara regional lainnya gagal berkembang seperti yang diharapkan Moskow.

"Ada banyak sekali kesepakatan," kata Abuza menambahkan.

Sebaliknya, dia merujuk pada penjelasan lain. Bagian dari elit politik Asia Tenggara memandang Putin sebagai pemimpin kuat yang telah mencerca tatanan dunia yang dipimpin AS. Presiden Filipina Rodrigo Duterte memuji Putin sebagai "pahlawan favoritnya." Tahun 2021, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menganugerahi pemimpin Rusia itu dengan "Orde Persahabatan."

Keengganan untuk 'campur tangan' dalam urusan yang jauh

Menurut beberapa analis, pemerintah Asia Tenggara tidak ingin membuat Cina frustrasi, karena itu  memberikan respons samar terhadap perang Ukraina. Beberapa negara Asia Tenggara bersengketa dengan Beijing atas klaim wilayah di Laut Cina Selatan dan kawasan itu tidak ingin meningkatkan persaingan AS-Cina.

Namun, Shada Islam, seorang komentator hubungan internasional Asia yang berbasis di Brussel, menilai tanggapan itu tidakabanyak kaitannya dengan Cina melainkan lebih pada "kewaspadaan tradisional kawasan itu untuk tidak mencampuri urusan negara lain," terutama atas apa yang bagi sebagian orang tampak sebagai krisis yang jauh di Eropa Timur.

Beberapa hari setelah invasi, Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan, "bukan urusan kami untuk ikut campur dalam apa pun yang mereka lakukan di Eropa."

AS dan negara-negara Eropa "kecewa dan sedikit bingung dan berharap mereka dapat meyakinkan [pemerintah Asia Tenggara] untuk berubah pikiran," kata Islam.

Selama beberapa dekade, pemerintah Asia Tenggara telah mengambil kebijakan ketat untuk tidak mencampuri urusan negara lain — yang disebut "Cara ASEAN." Namun,  tampaknya ada celah terbentuk dalam posisi ini, setelah beberapa pemerintah mengambil garis keras terhadap junta militer Myanmar, dengan melarang hadir dalam pertemuan puncak regional tahun 2021.

Tampaknya juga ada banyak perdebatan, terutama di garis depan tentang mengapa perang di Ukraina pecah. Menurut survey terbaru Negara Asia Tenggara, yang diterbitkan Februari 2022 oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute, pendapat terbagi antara AS dan Cina, tetapi mayoritas warga Asia Tenggara bertekad untuk tidak terseret ke dalam orbit salah satu negara adidaya.

"Sementara menentang penggunaan kekuatan militer Rusia terhadap warga sipil dan pelanggaran kedaulatan Ukraina, negara-negara di kawasan juga harus berbicara tentang akar penyebab perang: yakni perluasan NATO ke Eropa Timur yang memprovokasi ketidakamanan Rusia,” demikian argumen Evi Fitriani, seorang Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Kritik meminta tanggapan yang lebih tajam

"Kecuali kita, sebagai sebuah negara, membela prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi kemerdekaan dan kedaulatan negara-negara kecil, hak kita sendiri untuk hidup dan makmur sebagai sebuah bangsa juga dapat dipertanyakan," ucap Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan.

Bagi sebagian orang, perang di Ukraina adalah masalah yang jauh di mana orang Asia Tenggara tidak dapat berbuat banyak untuk memengaruhi dan keterlibatan apa pun hanya akan membawa kesulitan yang tidak diinginkan pada diri mereka sendiri. Bagi yang lain, perang Ukraina memiliki implikasi yang sangat nyata bagi wilayah tersebut.

Dengan pengecualian Singapura, sangat mengejutkan bahwa, penyangkalan tegas sebagian besar negara terkait pembenaran dan invasi Rusia ke Ukraina, akan merusak prinsip-prinsip inti hukum internasional dan menciptakan preseden yang sangat berbahaya," kata Abuza.

"Jika Rusia dapat membuat klaim sepihak atas wilayah negara berdaulat berdasarkan afinitas budaya dan sejarah, lalu apa yang menghentikan Cina melakukan hal yang sama?", pungkasnya.

(ha/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait