1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflikt Gaza Jelang Pemilu di Israel

Andreas Gorzewski16 November 2012

Konflik Gaza terbaru memicu ketakutan di Timur Tengah aksi kekerasan akan makin memuncak. Kampanye di Israel, perebutan kekuasaan antara Hamas dan Fatah serta kepentingan Mesir, ibarat minyak yang mengobarkan konflik.

Foto: Reuters

Sirene tanda bahaya serangan udara kembali mengaung di Tel Aviv. Untuk pertama kalinya sejak berakhirnya perang Teluk 1991. Tapi kota metropolitan Israel itu untuk sementara terluput dari serangan roket yang ditembakkan dari Jalur Gaza.

Sebaliknya di selatan Israel, roket-roket yang ditembakkan aktifis Hamas mengenai sasarannya, di saat angkatan udara Israel dalam waktu bersamaan membom sasaran di Jalur Gaza. Sejak pecahnya baku tembak terbaru, sedikitnya sudah 15 warga Palestina tewas, sementara dari Israel, tiga warganya tewas.

Muncul pertanyaan, mengapa konfliknya justru memuncak saat ini? Beragam pendapat yang dilontarkan. Namun analis politik dari dunia Arab menuding PM Israel saat ini, Benjamin Netanyahu sebagai pemicu konflik baru.

"Netanyahu dengan itu hendak menunjukkan, menjelang pemilu parlemen Januari tahun depan, bahwa dia adalah pembela Israel paling gigih", ujar Oraib al Rantawi direktur pusat kajian politik Al Quds di Amman, Yordania. Netanyahu selau menonjolkan citranya sebagai tokoh politik yang mampu menahan tekanan Iran.

"Kini dia memanfaatkan konflik lainnya, untuk menaikkan citranya di mata para pemilih di Israel", tegas Al Rantawi.


Netanjahu dalam masa kampanye

Namun pakar Israel dan Timur Tengah dari Jerman, Gil Yaron memiliki pandangan berbeda. Baginya, Netanyahu bukanlah kekuatan pendorong, melainkan lebih banyak sebagai orang yang digerakkan aksi dari luar. Netanyahu harus bereaksi atas serangan terus menerus dari Jalur Gaza.

Pembunuhan Ahmed al-Jabari di Gaza City oleh Israel picu eskalsi baru.Foto: AP

"Banyak warga Israel merasa ditinggalkan oleh pemerintahannya. Mereka mempertanyakan, bagaimana hal itu bisa terjadi, dan tidak ada reaksi untuk membela mereka", ujar Yaron yang juga penerbit sekaligus wartawan itu. Dua bulan menjelang pemilu, Netanyahu tidak mau dituding, mengabaikan keamanan di selatan negaranya.

Tapi juga Hamas, saat ini terlibat sengketa politik internal dengan Fatah. Sejak kelompok Islam garis keras itu menang pemilu di Jalur Gaza tahun 2006, terjadi perebutan kekuasaan dengan kelompok Fatah dari presiden otonomi Mahmud Abbas.

Fatah yang menguasai Tepi Barat Yordan menghendaki cara diplomasi. Sebaliknya Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza tetap menghalalkan aksi kekerasan militer. Kedua kelompok yang bersaing harus menunjukkan, apa yang dapat mereka capai bagi warga Palestina, dengan metodenya itu.

Hamas selain itu juga ditantang oleh kelompok ekstrimis Salafis. "Kelompok ini mencoba sekuat tenaga, menarik Hamas agar terlibat perang dengan Israel", ujar Yaron. Hal itu akan berfungsi, selama Israel tidak melakukan pemilahan, siapa sebenarnya yang menembakkan roket buatan sendiri dari Jalur Gaza ke wilayah Israel.


Pembunuhan pimpinan Hamas

Aksi pembunuhan terarah yang dilakukan angkatan udara Israel terhadap pimpinan militer Hamas, Ahmed Jebari Rabu (14/11) makin mempertajam konfliknya. "Tewasnya Jabari, hanya sesaat saja melemahkan kelompok Islam garis keras", kata Yaron meyakini. Sebelumnya, Israel juga membunuh sejumlah pimpinan Hamas, tapi kelompok itu tetap kuat.


Pakar ilmu politik Al-Rantawi juga meyakini, Hamas saat ini secara politik dan militer jauh lebih kuat dibanding saat perang terbuka dengan Israel tahun 2008 hingga 2009. Ketika itu, pasukan darat Israel melancarkan invasi ke kawasan Jalur Gaza.

Sebagai balasannya kelompok radikal tembakan roket ke wilayah Israel.Foto: Reuters

Serangan Israel ke Jalur Gaza saat ini, juga membayangi upaya presiden otonomi Palestina, Mahmud Abbas untuk pengakuan diplomatis sebuah dewan Palestina oleh PBB. Pemerintahan Fatah dengan itu merasa ibaratnya dihantam diantara palu dan tatakan besi.

"Fatah menuduh Israel, lewat serangan udaranya, hendak menjegal langkah mereka di PBB" papar Gil Yaron. Sementara, dengan serangan roket bikinan sendiri, Hamas melakukan serangan terhadap upaya solusi damai yang dilancarkan Fatah. Hamas sejauh ini menolak gagasan Fatah di PBB itu.


Islam garis keras kuasai Mesir dan Gaza

Spiral kekerasan terbaru di Jalur Gaza, juga makin menonjolkan peranan pemerintahan baru Mesir. Sejak Ikhwanul Muslim memenangkan pemilu, Mesir kembali menunjukkan kepercayaan diri sebagai aktor utama di panggung politik Timur Tengah. Pemerintah di Kairo dan di Gaza City, memang tidak dalam semua hal sepakat. Tapi pada prinsipnya secara politik mereka amat dekat.

"Hamas mengharapkan dukungan dari Kairo", papar Yaron. "Mereka menyebutkan, Israel tidak akan berani melancarkan aksi militer besar-besaran, karena Hamas dilindungi Mesir. Israel tidak mau mempertaruhkan hubungan baiknya dengan Mesir. Walaupun masih dipertanyakan, apakah Mesir juga bersedia ikut terlibat dalam konflik terbaru".


Perang darat

Israel saat ini mengkonsentrasikan semua pasukannya, dan memanggil tentara cadangan. Netanyahu mengancam, jika terpaksa serangan akan diperluas. Tapi Yaron meyakini, pemerintah Israel tidak menghendaki perang darat yang akan menelan korban jiwa amat banyak.

Israel siapkan ofensif darat ke Jalur GazaFoto: Reuters

Tapi tidak tertutup terjadinya eskalasi kekerasan. "Jika roket Hamas mengenai rumah ibadah, taman kanak-kanak atau sekolah, maka PM Netanyahu akan melihatnya sebagai paksaan, untuk menyerang Jalur Gaza dengan pasukan darat. Juga jika roket mendarat di Tel Aviv", ujar Yaron.

Senada dengan itu pakar ilmu politik Al-Rantawi memperingatkan dinamika liar dari konflik bersenjata semacam itu. "Orang dapat dengan mudah melontarkan tembakan pertama untuk memulai konflik, Tapi tidak ada yang dapat menjamin, kapan tembakan terakhir dilancarkan." Jika Israel sudah memulai perang darat, hal itu akan berdampak serius untuk seluruh kawasan.