1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konservasi Badak Jawa dan Harapan Sang Penjaga

2 Juli 2024

Alih-alih memburu, orang seperti Daryan menghabiskan hidupnya untuk menjaga kelestarian badak jawa bercula satu di Provinsi Banten. Sudah 23 tahun ia bekerja di konservasi badak. Seperti apa sih pekerjaannya?

Ilustrasi anak badak
Ilustrasi anak badakFoto: Eko Siswono Toyudho/AA/picture alliance

Upaya pelestarian badak jawa (Rhinoceros sondaicus) kian menemui tantangan. Strategi konservasi dan perlindungan dari pemburu liar jadi kunci menyelamatkan badak bercula satu ini dari kepunahan. Terbaru, sejumlah pemburu liar mengaku telah membunuh hingga 26 badak jawa. 

Di balik itu semua, upaya konservasi badak jawa melibatkan banyak pihak, termasuk para ranger penjaga badak di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

Senyuman hangat diberikan Daryan, 42, sambil mempersilakan tim DW Indonesia masuk ke dalam area kantor Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), Pusat Studi dan Konservasi Badak Jawa di Pandeglang, Banten. "Selamat datang, ayo silakan masuk, menginap berapa lama?" Tanya Daryan. 

Dengan ramah Daryan menyambut kami. Pria sederhana dan murah senyum itu adalah salah satu ranger yang bertugas menjaga kelestarian Taman Nasional Ujung Kulon beserta seluruh penghuni di dalamnya, utamanya badak jawa.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Daryan bukan orang baru, pengalaman selama 23 tahun dalam pelestarikan TNUK serta konservasi badak jawa sudah ia kantongi. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini mengabdikan diri untuk TNUK dan badak bercula satu (bacusa) sejak berusia 18 tahun.

"Saat ini, saya bertugas sebagai Koordinator Manajemen Perlindungan Badak Jawa," ujarnya. Salah satu tugas utama saat ini ialah menyiapkan pemindahan badak dari Semenanjung Ujung Kulon ke JRSCA. 

"Besok kami akan memeriksa sejumlah camera trap dan merapikan kandang badak jawa, kalau mau ikut silakan," ajak Daryan seraya menjelaskan agenda kegiatannya.

Penangkaran terkontrol badak jawa

Hawa sejuk dikelilingi pemandangan asri dan persawahan yang terlihat dari kantor JRSCA, menemani persiapan dan briefing pagi Daryan bersama dua anggota tim monitoring badak bercula satu, Aning dan Fikri, sebelum berangkat bertugas. 

Sekitar 5 menit menjelaskan kegiatan hari itu, ketiganya bertolak menuju area penangkaran atau paddock pengembangan dan penelitian badak jawa yang terletak sekitar 1,5 kilometer dari kantor JRSCA.

Sambil trekking perlahan menyusuri jalanan menuju penangkaran, Daryan dan tim menebas sejumlah tanaman dan ranting pohon yang menghalangi guna membantu kami yang belum pernah melalui jalur hutan di area JRSCA. 

Daryan dan dua rekan ranger rutin membersihkan fasilitas kandang badak yang tersedia di area pusat konservasi.Foto: DW

"Jalurnya enggak sulit kok, ada sedikit naik turun tapi tidak terlalu jauh, paling hati-hati licin kalau pas nyeberang air," pungkas Daryan.

Sekitar 1 jam berjalan, area paddock pengembangan dan penelitian badak jawa akhirnya terlihat, di tengah hutan dan di kelilingi pagar kawat pembatas area. 

Daryan menjelaskan area pengembangan dan penelitian seluas 40 hektare itu, berguna sebagai area ‘penangkaran terkontrol' agar nantinya badak jawa terpilih bisa lebih mudah bertemu dan bereproduksi. 

Sembari memandu kami melihat area penangkaran, pria yang sudah bermukim di Banten sejak 2001 untuk mengurus badak jawa ini, menjelaskan sejumlah kegiatan untuk menyambut kedatangan badak jawa pertama ke JRSCA.

"Salah satu fokus kami saat ini adalah pembinaan habitat di area JRSCA, mulai dari perawatan area penangkaran atau paddock seluas 40 hektare ini, kami juga merapikan kandang badak, hingga penyediaan kebutuhan dasar seperti sumber makanan dan air, serta kubangan yang sangat penting bagi badak jawa," ujarnya.

Berbulan jauh dari rumah demi jaga badak

Kami melanjutkan perjalanan untuk memantau kamera pemantau di area berbeda. Beberapa saat kemudian, Daryan memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menyantap bekal makan siang yang ia bawa. 

Daryan mengatakan bahwa badak sangat penting bagi keseimbangan ekosistem dan nafkah masyarakat lokal.Foto: DW

Daryan menceritakan pengalamannya saat meneliti dan mencari lokasi badak jawa. Pekerjaan ini bisa membuatnya berbulan-bulan tidak pulang ke rumah.

"Untuk mencari lokasi kemudian memantau badak, bisa satu hingga dua bulan di hutan (TNUK). Makan harus hemat-hemat, minum bisa ambil air sungai tapi dimasak, mandi di sungai saja sudah biasa,” tutur Daryan.

Daryan juga menjelaskan upaya untuk mencari lokasi badak jawa yang ternyata tidak mudah, "ada beberapa metode, salah satunya lintasan di mana kita memeriksa sejumlah tanda bacusa, mulai dari jejak kaki, gesekan cula di pohon, hingga memeriksa kotoran dan urine badak. Kalau ketemu urine biasanya kami tes juga pakai test pack untuk memeriksa kehamilan si badak.”

Badak jawa: hewan pemalu yang suka ‘luluran'

Sambil memeriksa salah satu kamera pemantau, Daryan mengaku paham betul karakteristik dan ciri khas badak bercula satu, di antaranya sifat penyendiri dan gemar ‘luluran'.

Sebagai satwa endemik yang hanya ada di Indonesia, badak bercula satu termasuk dalam ketegori hewan pemalu dan penyendiri atau soliter. Ini juga yang dinilai menjadi salah satu faktor menurunnya populasi badak jawa. Mereka sulit bertemu dan berkembang biak. 

"Selain sifatnya yang soliter, umumnya siklus reproduksi bacusa cukup lama. Proses kehamilan berkisar antara 16 sampai 18 bulan, ditambah masa pengasuhan selama satu hingga dua tahun. Jadi siklus badak jawa dari kawin hingga kawin lagi membutuhkan waktu sekitar empat sampai lima tahun," jelas Daryan.

Sambil tersenyum, Daryan juga menerangkan kebiasaan ‘gemas' bacusa, yaitu berkubang atau ia menyebutnya ‘lumpuran'. "Seperti kalau kita (manusia) itu ‘luluran', di Badak itu ‘lumpuran'," tandas koordinator manajemen habitat badak jawa TNUK.

Fungsi utama luluran badak ada dua, pertama untuk membunuh parasit yang ada di lipatan kulit badak. Kedua, untuk menjaga suhu tubuh badak jawa yang sangat sensitif, dan tidak tahan terhadap suhu yang terlalu panas maupun dingin.

Jadi, saat siang hari bacusa berkubang di lumpur untuk mendinginkan badannya, sedangkan di malam hari mereka berkubang untuk menghangatkan diri.

Jika badak jawa punah, ekosistem terancam rusak

Hasil analisis Vortex Population Viability (PVA) terhadap populasi badak jawa menjelaskan, bila dibiarkan hidup tanpa intervensi dan upaya pelestarian dari manusia, mereka berpotensi punah dalam 50 tahun. Apabila perburuan tidak dihentikan, Daryan bahkan memprediksi dalam 20 hingga 30 tahun ke depan badak jawa hanya tinggal kenangan. 

Bagi Daryan, badak jawa lebih dari sekadar hewan endemik dan identitas bangsa, tapi juga perawat alami ekosistem di sekitarnya, khususnya kawasan hutan di Taman Nasional Ujung Kulon.

"Upaya pelestarian TNUK dan badak jawa tidaklah mudah dan melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat sekitar. Bila badak jawa punah, tidak hanya ekosistem yang terancam tapi juga peluang masyarakat untuk mencari nafkah," ujar Daryan.

Daryan berharap perburuan badak bercula satu bisa berhenti dan masyarakat bisa ikut andil dalam konservasinya. Meski tak terjun langsung merawat atau meneliti, warga bisa berperan dalam mengantisipasi perburuan dengan melaporkan setiap potensi tindak perburuan badak.

Selain itu, warga sangat dianjurkan untuk tidak memberi informasi sekecil apa pun tentang badak kepada pihak yang tak bertanggung jawab. (ae)

Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait