Publik sempat diliputi kecemasan dengan konflik berkepanjangan di antara purnawirawan, yang berdampak huru-hara. Semua orang juga sudah tahu bahwa kerusuhan 21-22 Mei baru-baru ini, adalah kelanjutan dari rivalitas para purnawirawan, dengan afiliasi masing-masing, yakni antara pendukung Jokowi versus pendukung Prabowo.
Ketika naskah ini disusun, konflik sebenarnya sedang menuju antiklimaks, setidaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, dua purnawirawan yang masuk dalam lingkaran dalam Jokowi, yakni Ryamizard (Menhan, Akmil 1974) dan Moeldoko (KSP, Akmil 1981), secara terbuka menghimbau, agar isu keberadaan Tim Mawar jangan diangkat kembali. Kedua, penahanan terhadap Mayjen (Purn) Soenarko (Akmil 1978) akhirnya ditangguhkan, dengan jaminan langsung dari Panglima TNI dan Menhan.
Dua perkembangan mutakhir tersebut, bisa kita baca, bahwa para purnawirawan dari dua kubu, sedang dalam proses rekonsiliasi, dan akan dilanjutkan dengan konsolidasi. Tentu saja ini perkembangan positif, setidaknya untuk sementara bisa meredam gejolak di masyarakat, sembari menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pilpres 2019.
Rekonsiliasi adalah solusi terbaik, mengingat berdasarkan catatan sejarah, konflik internal elite militer selalu mengorbankan rakyat kebanyakan yang sejatinya tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Pola seperti itu selalu berulang, dan masih direproduksi sampai kini. Peristiwa besar di masa lalu, seperti Malari (1974) dan Kerusuhan Mei 1998, merupakan contoh klasik kasus konflik internal militer, yang kemudian mengorbankan rakyat kebanyakan.
Kelanjutan konflik 1998
Lebih dua dekade setelah Soeharto lengser, bayang-bayang Suharto masih terasa dalam politik Indonesia. Peran penting Suharto adalah memastikan supremasi militer (khususnya Angkatan Darat) dalam lanskap politik di Tanah Air, di sepanjang masa kekuasaannya (1966-1998). Bagaimana cara Suharto dulu mempertahankan kekuasaannya, yakni dengan memelihara konflik di antara pendukungnya sendiri, kemudian diadopsi oleh elite militer generasi berikutnya.
Pada suatu masa, memelihara konflik internal ini sempat memperoleh istilah elegan: 'menjaga keseimbangan'. Meskipun secara empirik tidak ada perbedaan mendasar di antara dua istilah tersebut. Semua itu bisa terjadi, karena Suharto sendiri saat meniti menuju singgasananya, juga menggunakan pendekatan konflik, dengan dia sendiri sebagai pelaku aktifnya.
Gaya Suharto kemudian menjadi genre tersendiri dalam politik di Tanah Air, bagaimana kekuasaan dicapai atau dipertahankan bukan dengan jalan demokratis, namun dengan cara memelihara konflik. Jejak Suharto semakin terlihat, bahwa konflik elite militer yang sedang terjadi sekarang, adalah kelanjutan dari konflik pada penggal terakhir kekuasaan Suharto pertengahan 1998.
Tentu saja ada banyak nama dan tipologi dari perwira yang pada saat itu bertarung, yang kini masih melanjutkan pertarungannya. Untuk sedikit memberi gambaran, saya secara acak memilih dua nama, yakni Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974) dan Mayjen (Purn) Kivlan Zen (Akmil 1971). Meski sama-sama berafiliasi pada kubu Prabowo, antara keduanya ada sedikit perbedaan karakter.
Selepas Suharto lengser, karier Sjafrie masih diselamatkan Wiranto, padahal Wiranto berseberangan dengan Prabowo pada 1998. Ketika Prabowo (juga Kivlan Zen) sudah sangat jauh dari lingkaran kekuasaan, karier Sjafrie tetap aman, bahkan sekitar tahun 2007, sempat masuk nominasi calon KSAD. Meski pada akhirnya tidak terpilih, itu artinya bisa menggambarkan bagaimana kelihaian Sjafrie dalam "meniti buih”, bila diingat dia dulu sangat dekat dengan Suharto dan Prabowo.
Bahkan selepas pensiun, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Menhan, oleh rezim Jokowi, Sjafrie masih diberi kepercayaan sebagai Wakil Ketua Umum Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC), di bawah Erick Thohir. Singkatnya, Sjafrie termasuk figur yang tidak tahu berterima kasih pada pihak yang membantunya selama ini.
Sementara Kivlan adalah tipe yang lain lagi. Dengan segala kontroversi yang melekat pada dirinya, Kivlan lebih konsisten. Dia bersedia menerima segala risiko sebagai kawan dekat Prabowo, termasuk yang paling pahit sekalipun. Seperti yang hari-hari ini sedang dijalaninya, dia bersedia jadi martir bagi kubu Prabowo.
Tindakan Kivlan juga secara gamblang memberi penjelasan, bahwa konflik sekarang adalah kelanjutan dari konflik 1998, ketika dia secara terbuka selalu menantang Wiranto, terkait kerusuhan 1998, dan rangkaian peristiwa susulannya. Dia tak henti menantang Wiranto, baik atas nama sendiri, maupun atas nama Prabowo. Ketika Kivlan dituduh hendak membunuh Wiranto, tuduhan itu menjadi terkesan simbolik, mengingat konflik antara Wiranto dan Kivlan, tak pernah surut sejak 1998.
Selalu ada hikmah dari sebuah peristiwa. Teater konflik di antara purnawirawan seperti memberi konfirmasi, bahwa mereka terbelenggu dalam asumsi yang mereka bangun sendiri. Selama ini ada pernyataan klise: purnawirawan tidak mengenal istilah "pensiun” dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Pernyataan ini kemudian ditafsirkan mereka sendiri secara sempit, bahwa mengabdi itu artinya tetap dalam lingkaran kekuasaan, sehingga mereka seolah mengalami cultural shock ketika tak lagi berkuasa.
Dilema keberadaan Tim Mawar
Bahwa konflik hari ini merupakan kelanjutan dari konflik 1998, bisa diuji melalui polemik keberadaan Tim Mawar, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini. Bagi tiga kubu yang sedang bertarung tahun 1998, sama-sama berkepentingan untuk menghapus kisah Tim Mawar. Tiga kubu dimaksud adalah: kubu Prabowo, kubu Cendana (Wiranto), dan kubu Benny Moerdani (Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan).
Bagi kubu Prabowo, keberadaan Tim Mawar ibarat pisau bermata dua, di satu sisi memang sebuah catatan hitam, namun di sisi lain, itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Prabowo pada saat aktif berdinas dulu. Citra Prabowo sebagai orang kuat di masa Orde Baru itulah, yang dicoba diredam oleh (khususnya) Wiranto dan Luhut Panjaitan.
Logikanya begini, bila publik kembali ingat atas kebesaran Prabowo di masa lalu, mereka berdua khawatir, bahwa publik akan menganggap, bila kekuatan mereka masih di bawah Prabowo. Anggapan bahwa Wiranto dan Luhut Panjaitan (termasuk Hendro Priyono), berada di bawah bayang-bayang Prabowo, tentu akan menjatuhkan martabat mereka, sebagai orang yang kini berada di ring satu Jokowi.
Belum lagi rumitnya hubungan antara Prabowo, dengan dua rekan segenerasinya, yakni SBY dan Ryamizard. Pasang-surut hubungan mereka bahkan sudah terjadi sejak ketiganya masih berstatus sebagai taruna di Akmil. Dengan latar belakang prestasi dan keluarga yang sama-sama kuat, sehinggu memunculkan ego di antara ketiganya. Tentu yang paling kompleks adalah Prabowo, yang terus terefleksikan hingga hari ini.
Ruang bagi impunitas
Fase konsolidasi purnawirawan bisa jadi merupakan kabar kurang baik bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM, bahwa akan tercipta ruang bagi impunitas. Kecenderungan itu sudah mulai terlihat, bahwa kasus yang melibatkan Mayjen (Purn) Soenarko (Akmil 1978) dan Kivlan Zen, pada akhirnya akan ditangguhkan, sebagaimana kasus-kasus sebelumnya yang melibatkan perwira tinggi TNI, khususnya dari AD.
Pesan konsolidasi di atas sudah sangat jelas, bahwa secara politik TNI AD (termasuk purnawirawannya) masih sangat kuat, sehingga bisa menafikan keberadaan lembaga negara lain, yang ingin memproses anggotanya ke ranah hukum. Salah satu contoh saja, seorang jenderal seperti Ryamizard misalnya, sejak dulu dikenal kurang nyaman dengan performa polisi. Jadi kita bisa paham sekarang, bila dia seolah memposisikan diri sebagai perisai bagi purnawirawan, tanpa memandang afiliasi (politik) purnawirawan tersebut.
Bila polisi saja dipandang seperti itu, kita bisa membayangkan bagaimana pandangan terhadap lembaga negara lain, seperti Komnasham misalnya. Kita cukup sering mendengar perwira atau purnawirawan TNI yang diduga melanggar HAM, mangkir dari panggilan Komnasham.
Celakanya, belum ada sanksi yang jelas dari otoritas lebih tinggi, bila ada anggota TNI yang tidak memenuhi panggilan Komnasham. Status panggilan itu menjadi tentatif, tidak memiliki kekuatan hukum yang pasti. Sementara posisi Komnasham sendiri sejak lama pada posisi dilematis. Seolah lembaga ini dibentuk sekadar memenuhi syarat konvensi internasional di bidang HAM, kemudian sengaja dibuat inferior, serta minim dukungan (politik) dari rezim yang sedang berkuasa.
Penulis: Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.