1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konstitusi Uni Eropa, "Bukan Alasan Untuk Bergembira"

25 Juni 2007

Setelah lebih dari 36 jam berunding dan berkonsultasi yang diwarnai dengan ancaman Veto, negara-negara anggota Uni Eropa akhirnya mencapai kesepakatan bersama soal konstitusi Uni Eropa.

Foto: AP

Kesepakatan negara-negara anggota Uni Eropa soal rancangan konstitusi menjadi santapan media-media cetak Eropa dalam tajuknya hari ini. Harian konservatif Perancis, Le Figaro misalnya menulis,

“Eropa akhirnya bisa bernafas lagi. Setelah kegagalan yang disebabkan oleh penolakan terhadap rancangan konstitusi di Perancis dan Belanda beberapa tahun lalu, kini Uni Eropa dapat menggerakan sejumlah reformasi institusional di dalam tubuhnya sendiri. Di Perancis, Nikolas Sarkozy berhasil membujuk para penentang konstitusi dengan mencoret azas persaingan bebas dari daftar sasaran Uni Eropa. Tapi yang penting saat ini adalah, bahwa Eropa bisa mengakhiri krisis politiknya dan dapat berkonsentrasi terhadap konflik internal di tubuhnya sendiri. Apapun yang melandasinya, kembalinya Uni Eropa ke atas panggung telah menciptakan landasan yang kokoh untuk merebut kepercayaan rakyat. Terutama sebagai modal untuk menggulirkan beberapa isu seperti migrasi, energi, ekonomi dan politik luar negeri.”

Masih dari Perancis. Harian terbitan Paris, La Croix menurunkan tajuk, Eropa adalah soal kepercayaan.

“Sikap Inggris yang cendrung mencadangkan Eropa, ketakutan akan kompromi di antara warga Ceko dan Polandia, adalah sebagian alasan yang menghambat gerak 27 negara anggota untuk membangun kesatuan di dalam tubuh Uni Eropa. Padahal hal itu penting untuk mewakili kepentingan dan cara pandang benua ini di dunia internasional. Dalam kasus tersebut, grendel yang selama ini telah menggeser haluan politik internasional negara-negara anggota memang menakutkan. Grendel itu, harus terlebih dahulu dilepaskan dari jiwa bangsa Eropa untuk menjanjikan masa depan yang cerah bagi benua ini. Ini adalah soal kepercayaan yang mestinya dimiliki oleh setiap warga Eropa.

Sementara dari Austria, harian Tages Anzeiger yang terbit di Jenewa mewanti-wanti dalam tajuknya, bahwa hasil pertemuan puncak Uni Eropa di Brussel belum bisa dijadikan alasan untuk bergembira,

“Bagaimana sebuah persatuan bisa berfungsi kalau semua negara anggota belum siap untuk mengesampingkan kepentingan nasionalnya demi Eropa? Bagaimana Uni Eropa bisa bernafas, kalau semua anggotanya, terlepas dari Undang-Undang Dasarnya masing-masing, gagal merapatkan barisan? Kondisi semacam ini cuma menjadi kabar gembira bagi mereka yang mendukung model Uni Eropa yang terbagi ke dalam dua kelas dan dua kecepatan. Mereka saat ini menunggu pencabutan status keanggotaan bagi Polandia dan Inggris. Panggung politik di Brussel tanpa kehadiran si kembar dari Polandia dan si skeptis dari Inggris mungkin terdengar memikat. Tapi siapapun yang mau menganalisis teori tersebut hingga akhir, tidak akan menemukan alasan untuk bergembira. Apapun alternatif yang ditawarkan, dia tidak akan bisa menjanjikan apapun, kalau di masa depan setiap keputusan merupakan kompromi yang diambil dengan mengesampingkan kepentingan bersama.”

Terakhir saya kutip komentar harian Inggris, Times. Dalam tajuknya harian terbitan london itu menulis,

“Kesepakatan kepala-kepala negara Uni Eropa di Brussel adalah awal dari sebuah proses dan bukan akhir dari proses tersebut. Apapaun yang disepakati oleh para politisi di Brussel, hasilnya harus terlebih dahulu diuji secara konkret dan menyeluruh. Cuma dengan cara itu kita bisa mengetahui, apakah kesepakatan tersebut adalah benar-benar sebuah konstitusi dan bukan cuma secarik kertas tanpa arti apapun.”