1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kontroversi Soal Hak LGBTQ+ di Turki

28 April 2020

Ulama besar Turki picu kisruh antara pemerintah dan kelompok HAM usai katakan kaum gay dan lesbian sebagai “iblis“ yang sebarkan “penyakit.“ Ucapan itu dianggap bisa picu gelombang kekerasan terhadap minoritas seksual.

Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Ali Erbas
Presiden Erdogan dan Ali ErbasFoto: picture-alliance/AA/E. Top

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membela ulama senior Ali Erbas ihwal komentarnya bahwa kaum homoseksual menyebarkan penyakit dan dikecam oleh ajaran Islam.

Ali Erbas adalah Direktur Diyanet, sebuah lembaga pemerintah yang mengelola masjid dan menunjuk imam. Dalam khutbah Jumat pekan lalu dia menyalahkan kaum LGBTQ+ atas penyebaran penyakit HIV-AIDS dan menciptakan "generasi korup” di Turki.

"Mari berperang bersama untuk melindungi masyarakat dari iblis semacam itu," kata dia. "Islam bisa menyembuhkan homoseksualitas," imbuhnya lagi.

Buntutnya Asosiasi Pengacara Ankara menuduhnya menyulut kebencian terhadap kelompok minoritas, dan abai pada fenomena pelecehan seksual anak-anak atau kultur misogini yang mengakar kuat di komunitas muslim.

Ujaran Erbas, tulis Asosiasi, "berasal dari abad silam" dan merendahkan martabat manusia. Sementara Asosiasi Pengacara Izmir juga menilai pidato Erbas bisa memicu gelombang baru kejahatan kebencian terhadap minoritas seksual.

Hal senada diungkapkan petinggi partai oposisi.

Namun Erdogan menepis kritik tersebut. "Serangan terhadap direktur Diyanet sama saja dengan serangan terhadap negara," kata dia. "Apa yang dia katakan adalah benar."

Debat di media sosial

Pidato Erbas memicu perdebatan yang ikut menyeret lembaga HAM, pengacara dan politisi, serta mempopulerkan tagar #AliErbasyanlızdegil atau ‘Ali Erbas tidak sendirian‘ di media sosial.

Jurubicara Erdogan, Ibrahim Kalin, menulis “siapapun yang menyampaikan kalimat Tuhan, dia tidak sendirian,“ di Twitter. Partai pemerintah AKP bahkan menuding Asosiasi Pengacara Ankara menampilkan mentalitas “fasis“ yang berusaha melucuti hak berpendapat Ali Erbas.

“Adalah hal lumrah jika seseorang berbicara menurut nilai yang dia yakini,“ kata jurubicara AKP Omer Celik lewat Twitter. “Apa yang tidak normal adalah menuntut sebaliknya,“ imbuhnya.

Senin (27/4) kejaksaan Ankara melancarkan penyelidikan terhadap petinggi Asosiasi Pengacara Ankara atas dugaan penghinaan terhadap nilai agama Turki, lapor Kantor Berita Anadolu. 

Sebaliknya organisasi HAM, Human Rights Association (İHD), melaporkan Ali Erbas ke kepolisian atas dugaan menyebar ujaran kebencian.

Persekusi terhadap minoritas seksual

Studi yang digelar Asosiasi Internasional untuk Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks (ILGA) pada akhir 2019 silam menempatkan Turki sebagai negara nomor dua di Eropa yang paling tidak ramah LGBTQ+. 

Konstitusi Turki sejatinya tidak secara gamblang membahas hak minoritas seksual menjalani gaya hidup masing-masing. Namun pemerintahan konservatif di bawah AKP giat membatasi ruang gerak mereka.

Sejak 2017 pemerintah melarang minoritas seksual mengadakan acara di depan publik. Meski aturan ini dibatalkan pengadilan administrasi pada April 2019, pemerintah tetap mengganyang hak kaum LGBTQ+ untuk berkumpul.

November lalu setidaknya 19 aktivis ditangkap oleh polisi dan didakwa “ikut berpartisipasi di dalam pertemuan ilegal” usai menghadiri sebuah acara LGBTQ+ di kompleks kampus Middle East Technical University. Mereka terancam tiga tahun penjara.

Aksi penggerebekan terhadap acara LGBTQ+ kian marak, terutama di Istanbul. Pada 30 Juni 2019, lapor ILGA, polisi bahkan menembakkan gas air mata untuk membubarkan khalayak di sebuah acara gay.

Menurut Amnesty International, polisi Turki sering dikeluhkan memperlakukan kaum LGBTQ+ korban tindak kejahatan atau persekusi sebagai pelaku kriminal. Sebab itu banyak kasus serangan terhadap minoritas seksual yang tidak tercatat.

rzn/vlz (afp, dpa, rtr)

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait