Sudah menyaksikan film "Kucumbu Tubuh Indahku" ? Atau membaca sinopsisnya? Apa pandangan Anda soal film ini dan kontroversinya? Simak pendapat Andibachtiar Yusuf.
Iklan
"Telah terjadi kemunduran kualitas demokrasi di era media sosial saat mudahnya terjadi penghakiman massa lewat media sosial yang diikuti begitu saja tuntutannya oleh pemimpin sebuah daerah untuk membatalkan kehadiran sebuah karya,” demikian ujar Sutradara Garin Nugroho di laman media sosialnya.
Ia tentu kesal dan itu wajar, negara yang dicintainya dan tengah berada di titik pengharapan demokrasi lewat kanal pemilihan presiden paling egaliter di dunia ironisnya justru memiliki masyarakat yang pada dasarnya sangat tidak demokratis.
"Kucumbu Tubuh Indahku" bagi saya adalah karya terbaik Garin Nugroho, sutradara yang sering saya sebut sebagai yang terbaik di Indonesia saat ini. Pada karya ini ia tak hanya menampilkan visual serta cara bertutur yang baik, lebih dari itu ia menunjukkan bagaimana seorang seniman senior berkarya.
Ketika banyak seniman lain terjebak pada hal-hal duniawi atau rasa takut pada akhirat, Garin malah mengupdate karyanya sembari memberi sentuhan-sentuhan kekinian yang membuat apa yang ia buat jadi tetap memiliki konteks pada kejadian dan tren di hari ini.
Kisahnya sendiri sederhana, perjalanan hidup seorang penari. Bagaimana ia menjalani segalanya bermula dan bagaimana ia melihat dunia saat ini.
Garin menyebutnya sebagai petualangan tubuh si Karakter Utama, responnya pada semua kejadian dan bagaimana hal itu mempengaruhi jiwa dan tubuh itu sendiri di kemudian hari. Tentu digambarkan dengan cara sang Maestro yang sangat khas. Latar belakang Jawa yang kuat, gambar yang apik serta cara bertutur yang saya rasa di hari ini hanya ia yang bisa fasih menuturkannya.
Lalu karya ini diramaikan oleh orang-orang yang saya yakin belum menontonnya. Orang-orang yang dengan modal sinopsis, review dan poster film ini kemudian ramai-ramai menghakimi moral film ini bagai takut, setelah menyaksikan film ini perilaku mereka jadi sama persis seperti karakter di film.
Orang-orang ini saya yakin bahkan menonton Avengers saja takkan mau, karena tentu mereka khawatir setelah menyaksikannya mereka akan meniru Thanos….coba memusnahkan separo peradaban jagad raya!
"Telah terjadi kemunduran” bagi saya adalah pilihan kata yang sangat menarik dalam konteks ini. Menunjukkan bahwa di suatu masa, karya seni memiliki ruang lebih lebar untuk bisa diterima oleh masyarakat.
Bahkan di era Orde Baru yang disebut sangat membatasi karya, kita bisa menyaksikan adegan aparat kepolisian menyiksa seorang tersangka ketika menginterogasi dirinya….sesuatu yang saya pastikan mustahil bisa kita temukan dalam jagad sinema kita hari ini.
Seksualitas dan Semangat Zaman
Adegan telanjang dalam film, di Jerman pada tahun 1950-an masih dianggap skandal. Revolusi seksual dan pil anti hamil mengubah semangat zaman. Inilah cukilan dari pameran tentang seksualitas di Bonn.
Foto: picture-alliance/dpa
Film Skandal Pertama
Film "Die Sünderin" atau "pendosa" yang dirilis 1951 dengan pemeran utama Hildegard Knef menjadi film skandal pertama di Jerman barat. Adegan telanjang memang disengaja tampil amat pendek agar lolos sensor dan pengawas moral. Akan tetapi adegan semacam itu tetap saja memicu debat panas di kalangan warga.
Foto: ullstein - Thomas & Thomas
Profesi jadi Ibu
Awal 1950-an diibaratkan dunia masih aman. Pengawas moral di Jerman membagi profesi secara klasik : perempuan di bekerja dapur dan jadi ibu serta istri teladan. Pria tentu saja harus bekerja di kantor atau sawah ladang. Tema seksualitas atau cinta jadi barang tabu. Ciuman di jalan dilarang. Tata kehidupan diatur negara dan gereja.
Foto: DW/H. Mund
Emansipasi Perempuan
Perusahaan farmasi Schering pada 1961 melepas pil anti hamil ke pasaran, yang sontak memicu debat panas. Gereja memasang ancang-ancang mencegah runtuhnya Moral generasi muda. Media secara bombastis memberitakan perempuan yang kecanduan seks. Realitanya, pil anti hamil mendorong kemandirian baru di kalangan perempuan.
Foto: DW/H. Mund
Sexshops dan Mainan Erotik
Nama Beate Uhse jadi sinonim untuk bisnis barang-barang erotik dan mainan seks di Jerman. Sexshops pertamanya ia buka di Flensburg tahun 1962. Padahal bisnisnya berupa pengiriman paket kondom dan buku bertema seksualitas sudah dimulai 1951. Juga yang tidak banyak diketahui, saat Beate Uhse membuka toko mainan seks pertamanya, perusahaan ini sudah punya 5 juta pelanggan yang namanya dirahasiakan.
Foto: imago
Revolusi Moral
Revolusi moral terkait tema seksualitas terjadi pada 1960-an. Majalah remaja "Bravo" secara terbuka mendiskusikan masalah seksual. Film mulai tampilkan adegan seks secara terbuka, seperti dalam "Zur Sache, Schätzchen" dengan aktor Werner Enke dan aktris Uschi Glas yang disutradarai May Spils (tengah). Film yang diproduksi 1968 itu jadi box office di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Revolusi Seksual
Revolusi mahasiswa akhir tahun 60-an bukan hanya mengubah tatanan politik tapi juga memicu revolusi seksual. Saat itu "Kommune 1" di Berlin Barat menjadi kelompok paling terkenal dimana hidup bersama tanpa menikah dan seks bebas dipraktekan. Tokoh paling terkemuka adalah Rainer Langhans bersama Uschi Obermaier.
Foto: picture-alliance/KPA TG
Pendidikan Seks
Reformasi politik yang dipicu revolusi mahasiswa di akhir tahun 60-an mengubah gambaran keluarga dan sistem pendidikan di Jerman. Sekolah mulai memberikan pelajaran seksual secara ilmiah dalam mata pelajaran biologi pada tahun 1969. Film penyuluhan seksual "Helga" yang digagas kementrian kesehatan jadi tontonan wajib para pelajar.
Foto: DW/H. Mund
Bangkitnya Gerakan Homoseksual
Sutradara Rosa von Praunheim – gay, radikal dan vokal menjadi tokoh perfilman pertama di Jerman barat yang menampilkan secara terbuka tema homoseksualitas dalam filmnya. Fim dokumenter "Nicht der Homosexuelle ist pervers, sondern die Situation, in der er lebt" (1971) ia meretas jalan bagi gerakan LGBT di Jerman barat. Sebuah monumen penting dalam pameran ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Zona Tabu dalam Sepakbola
Homoseksualitas tetap jadi masalah panas dalam Politik. Aturan pasal 175 yang menyebut praktek homoseks diantara lelaki di Jerman barat bisa dikenai hukuman, baru dihapus total tahun 1994. Hingga sekarang tema homoseksualitas masih jadi tabu di dalam olahraga prestasi puncak khususnya sepakbola.
Foto: DW/H. Mund
Laki-laki atau Perempuan?
Penyanyi Transvestit pemenang Europeas Sons Contest 2014 Conchita Wurst, yang aslinya bernama Tom Neuwirth menjadi figur kenamaan sekaligus faktor yang membuat tayangan laku. Tahun 2015 ini sosok berjenggot dengan rambut panjang dan pakaian perempuan itu sudah dianggap biasa. Dalam pameran di Bonn, disebut ia menjadi bagian dari sejarah kebudayaan.
Foto: DW/H. Mund
10 foto1 | 10
Lebih suka menghakimi
Di masa-masa itu potret hubungan remaja bisa tervisualkan vulgar sampai ke materi poster promosinya. Zaman sekarang jangan harap bisa melihat ada poster film yang menampilkan perempuan sekadar memakai kutang. Di zaman sekarang bahkan judul film ‘Dua Garis Biru' yang disinyalir akan berkisah tentang peristiwa hamil di luar nikah juga ikut menimbulkan kontroversi dan tengah dipetisikan—seperti nasib "Kucumbu Tubuh Indahku"—oleh sekelompok orang yang sibuk menjaga moralnya yang rapuh itu.
Tak peduli Lembaga Sensor Film telah memberi rating sekaligus label batasan usia pada film-film itu, bangsa kita tetap senang menghakimi sesuatu yang jelas telah direstui oleh negara. Parahnya, teknologi faktanya justru digunakan sebagai tempat menghakimi orang lain atau pekerjaan orang lain di sini. Orang-orang dengan mudah menggerakkan orang lainnya untuk menyatukan suara mereka, kemudian menjadi kelompok penekan yang mendorong pemerintah (atau penguasa) untuk merasa khawatir pada tekanan itu dan tanpa melihat apalagi memeriksa sepakat untuk mendukung prilaku sepihak yang sering tanpa alasan itu.
Andai penegakan hukum benar bisa ditegakkan di negeri ini situasinya mungkin lain. Pihak pembuat film atau karya atau apapun kita menyebutnya akan memiliki tenaga untuk mengadukan keresahannya pada aparatur negara lewat jalur hukum untuk kemudian coba bertarung di pengadilan untuk memenangkan hak ekspresi mereka.
Dukungan pemerintah ada di mana?
Faktanya, situasi ini bisa terjadi dengan ongkos finansial dan tenaga yang sulit diperkirakan. Itupun andai pihak penguasa merasa bahwa peristiwa penghakiman massa ini adalah hal yang layak dipertentangkan. Secara umum bahkan Lembaga Sensor Film hanya punya kemampuan untuk memberi pernyataan pers atau sikap tanpa pernah bisa memaksa—tentu dengan kekuatan wewenang mereka—para pemerintah daerah untuk mengembalikan karya yang telah dipaksa turun oleh sekelompok masyarakat berpemikiran ala kaum Pagan itu.
Kita lalu akan sibuk berdebat pada tataran selera bangsa yang sulit untuk dimenangkan. Selera atau perspektif kebanyakan orang atau bangsa yang disebut sangat rendah, padahal dalam ilmu bisnis ada yang disebut sebagai edukasi pasar. Ilmu yang digunakan untuk membentuk selera orang-orang yang dituju sebagai sasaran penjualan. Atau jika menyimak kata Garin Nugroho sendiri tentang situasi ini "Seperti pendidikan, selera pun sebenarnya bisa dibentuk.”
Nah….siapakah yang punya kemampuan atau wewenang untuk membentuk selera itu? Apalah artinya kita tanpa dukungan penuh dari penguasa (baca ; pemerintah) bukan karena satu kasus ini terjadi tentu, karena sebentar lagi keributan pada film Dua Garis Biru akan muncul. Ke depan bisa jadi situasi ini akan terus berulang, berulang dan berulang entah sampai kapan.
@andibachtiar: Seniman dan Sutradara
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Anda bisa sampaikan dalam kolom komentar di bawah ini.
Nonton Aruna & Lidahnya Bersama Para Bintang
Berlinale 2019 berlangsung di sekitar 20 gedung bioskop di Berlin. Film Aruna & Lidahnya ditayangkan kedua kali di gedung bioskop Cubix Filmpalast yang terletak di salah satu kawasan paling ramai di Berlin.
Foto: DW/A. Gollmer
Hubungan antara makanan, budaya dan politik
“Aruna & Her Palate” adalah salah satu dari dua film fiksi yang tampil dalam kategori Culinary Cinema. Kategori film kuliner menampilkan seluruhnya 10 film dari berbagai negara, kebanyakan film dokumenter. Kategori ini tidak hanya ingin menunjukkan makanan saja, melainkan juga hubungan antara makanan, budaya dan politik.
Foto: DW/A. Gollmer
Tim yang hadir di Berlin
Tim yang mendampingi pemutaran “Aruna & Lidahnya” di Berlin, dari kiri ke kanan: Muhammad Zaidy (produser), Hannah Al Rashid (Nadezhda), Edwin (sutradara), Dian Sastrowardoyo (Aruna), Nicholas Saputra (Bono) dan Meiske Taurisia (produser). Oka Antara (Farish) tidak bisa hadir di Berlinale karena kesibukannya dalam film terbaru.
Foto: DW/A. Gollmer
Sutradara diapit para produser
Edwin (tengah) dan kedua produser dari Palari Films, Muhammad Zaidy (kiri) dan Meiske Taurisia (kanan) merasa sangat bangga, bahwa “Aruna & Lidahnya” berhasil masuk program Culinary Cinema di Berlin tahun ini. Sebelum di Berlinale, film ini sudah ditayangkan di Macau Festival.
Foto: DW/A. Gollmer
Tiga pemeran utama: Hannah, Nico, Dian
Dalam film, tiga sekawan Nadezhda, Bono dan Aruna sangat bersemangat berburu kuliner nusantara yang unik. Pada Berlinale kali ini, selain sibuk dengan penayangan film dan acara-acara di seputarnya, mereka juga ingin mencoba dua makanan khas dari Berlin: Curry Wurst dan Döner Kebap.
Foto: DW/A. Gollmer
Keragaman budaya dan kuliner
Tokoh utama Aruna diperankan oleh Dian Sastrowardoyo. Menurutnya film “Aruna & Lidahnya” pada awalnya saja terlihat ringan, namun sebenarnya banyak topik-topik tabu yang dijadikan bahan perbincangan selagi makan bersama. Bagi Dian, film ini merefleksikan betapa orang Indonesia sangat berbeda-beda namun tetap bisa berteman dan menikmati bersama-sama.
Foto: DW/A. Gollmer
Chef Bono
Nicholas Saputra memerankan Chef Bono. Ini bukan pertama kali Nico datang ke Berlinale. Tahun 2012, film Kebun Binatang yang dia bintangi juga diputar di Berlinale untuk berkompetisi. Ada kesan tersendiri kali ini, setelah mencicipi menu khusus yang terinspirasi makanan Indonesia dalam acara special dinner setelah pemutaran perdana “Aruna & Lidahnya”.
Foto: DW/A. Gollmer
Nadezhda
Hannah Al Rashid memerankan Nadezhda. Dia mengakui tertarik pada karakter kompleks ini: Seorang perempuan mandiri di tengah masyarakat Indonesia yang penuh tabu. Setelah penayangan film, tim Aruna & Lidahnya menjawab pertanyaan penonton dalam sesi tanya jawab singkat.
Foto: DW/A. Gollmer
Berbaur dengan penonton dan fans
Usai sesi tanya jawab, para pemain, sutradara dan kedua produser film Aruna & Lidahnya masih berbaur dengan para penonton. Banyak orang Indonesia yang tinggal di Berlin dan sekitarnya mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang, berfoto dan minta tanda tangan dari para bintang dan pelaku film. (Teks & Foto: Anggatira Gollmer/hp)