Benarkah Pengusaha Bisa Jatuhkan Presiden Indonesia..?
3 Desember 2015
Perdebatan soal perpanjangan kontrak perusahaan pertambangan Freeport di Papua melebar ke berbagai isu lain. Kini beredar apa yang disebut "transkrip rekaman" pembicaraan antara kalangan pengusaha. Isinya mengagetkan.
Iklan
Transkrip rekaman lengkap itu beredar di media sosial, yang diduga merupakan pembicaraan antara Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dan pengusaha besar Indonesia, Mohammad Riza Chalid ketika bertemu dengan pihak PT Freeport Indonesia.
Dalam transkrip itu, ada salah satu petikan percakapan tentang perpanjangan kontrak Freeport. Para peserta pertemuan membahas kemungkinan perpanjangan kontrak yang sudah ditandatangani pada penghujung masa jabatan Presiden Yudhoyono, sekarang bisa dihentikan oleh Presiden Joko Widodo.
"Kalau dia sampai nekat nyetop (Freeport), jatuh dia," demikian petikan isi transkrip itu.
Benarkah, kalangan pengusaha mampu menjatuhkan Presiden Jokowi, yang dipilih langsung oleh pemilih lewat pemilu Presiden? Tampaknya, para pembicara cukup yakin dengan itu.
Di bagian lain transkrip itu juga bisa dibaca, bahwa Setya Novanto dari Partai Golkar dan pengusaha Riza Chalid yang mendukung Prabowo dalam Pilpres lalu mengaku memang kalah. Tapi mereka akan "membalas" kekalahan itu dalam pilpres mendatang tahun 2019.
Riza Chalid sering disebut-sebut sebagai pengusaha paling berpengaruh di Indonesia. Dia juga orang kuat yang berada di belakang PETRAL, mafia minyak yang menguasai, dan menurut berita, memainkan pasar minyak di Indonesia. Trilyunan Rupiah uang negara lenyap lewat transaksi-transaksi gelap yang dilakukan mafia minyak ini.
Belum jelas, darimana asal transkrip rekaman pembicaraan bisnis dengan Freeport itu. Juga belum diketahui, apakah rekaman itu benar-benar ada. Ada kalangan pengamat yang menyimpulkan, Setya Novanto dan Riza Chalid masuk jebakan, karena pembicaraan mereka berhasil direkam tanpa sepengetahunnya.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia saat ini adalah Maroef Sjamsuddin, mantan direktur Badan Intelijen Negara (BIN) dan lama menjadi staf ahli bidang pertahanan dan keamanan.
"Saya berharap dapat bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan sejalan dengan pelaksanaan strategi investasi jangka panjang di Papua," kata Maroef sesaat setelah ditunjuk sebagai Presdien Direktur, Rabu 7 Januari 2015.
Jabatan terakhirnya adalah Wakil kepala BIN. Mei 2014, Maroef memasuki masa pensiun dan sempat bertugas sebagai Panglima Tinggi di Markas Besar TNI Angkatan Udara.
Saat ini, kasus Setya Novanto dan rekaman pembicaraan itu sedang dibahas oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ada perdebatan di kalangan anggota MKD sendiri, apa kasus ini perlu ditindaklanjuti atau tidak. Fraksi Golkar dan beberapa fraksi lain menolak pembahasan di MKD untuk menyelamatkan posisi Setya Novanto sebagai ketua DPR.
Bagi Setya Novanto, ini semacam blunder berikutnya, setelah mencuatnya kasus foto bersama dengan kandidat presiden AS Donald Trump. ketika itu, dia ditemani politisi Fadli Zon dari Partai Gerindra.
Apakah citra Partai Golkar akan meredup karena berbagai ulah tokoh utamanya, masih belum jelas. Tapi di internet sudah beredar petisi yang menuntut agar Setya Novanto mundur dari jabatannya.
Golkar adalah kendaraan politik utama rejim Orde Baru di bawah Suharto, yang berhasil menyelamatkan diri melalui era reformasi politik 1998 dan kini menjadi partai politik kedua terbesar di parlemen. Dalam pemilu legislatif 2014 lalu, Partai Golkar mengumpulkan lebih 18 juta suara, atau 14,75 persen, hanya kalah dari PDIP, yang mengumpulkan lebih 23 juta suara atau18,95 persen.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.