1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekDenmark

Kopenhagen Hadapi Ancaman Iklim Terbesarnya: Air

6 Desember 2024

Naiknya permukaan air laut, subsidensi tanah dan tingginya curah hujan menimbulkan risiko bagi infrastruktur Kopenhagen yang berupaya beradaptasi dan melindungi wilayah perkotaan dari perubahan iklim.

Pulau buatan Lynetteholmen.
Pulau buatan Lynetteholmen yang akan berfungsi sebagai tanggul terhadap naiknya air laut, gagal mendapatkan dukungan.Foto: Ida Marie Odgaard/picture alliance

Bukan cuma Jakarta yang kelimpungan tangani masalah kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka tanah, inu kota negara pebela iklim nomor Denmark pun tengah berusaha berjuang hadapi ancaman perubahan iklim.

Taman Karens Minde adalah salah satu dari lebih dari 300 proyek yang sedang berlangsung di Kopenhagen, untuk mencegah kota itu tenggelam.

Bekas rawa yang dulunya dijauhi oleh penduduk sekitar, kini telah didesain ulang dengan jalan setapak yang berkelok-kelok dan area berumput yang berfungsi ganda untuk menampung air hujan dan banjir.

Terletak di tepi Selat Oresund, Kopenhagen sangat rentan terhadap air. "Seluruh Kopenhagen sedang berhadapan dengan siklus air karena lahan basah tersebut telah dikeringkan," papar Anna Aslaug Lund, seorang profesor arsitektur di Universitas Kopenhagen.

Ancaman tersebut bercabang tiga. Lembaga meteorologi Denmark memperkirakan curah hujan akan meningkat 30 hingga 70 persen pada tahun 2100, permukaan laut juga akan naik rata-rata 42 cm pada akhir abad ini dan menurunnya muka air tanah.

Hanya orang yang terlatih yang bisa melihat pertahanan air khusus yang dipasang di Taman Karens Minde.

Di salah satu tikungan jalan setapak dari paving block terdapat tiga saluran pipa untuk menampung air hujan yang terkumpul di lingkungan sekitar. Air tersebut kemudian mengalir ke danau buatan yang berjarak beberapa ratus meter.

Menemukan solusi

Air dibersihkan saat "diangkut melintasi padang rumput yang mengalir, lalu di sini kita dapat menyimpannya dan akhirnya melepaskannya kembali ke pelabuhan," papar Ditte Reinholdt Jensen dari Hofor, penyedia air dan utilitas yang merancang taman tersebut. Rumput, semak belukar, dan pepohonan membatasi danau buatan.

Selain mengelola banjir, Kopenhagen ingin "meningkatkan keanekaragaman hayati, melawan dampak suhu panas, dan membuat area hijau" agar orang-orang dapat bertemu, ujar Jan Rasmussen, dari proyek adaptasi iklim kota, kepada AFP.

Kota ini sejak tahun 2008 mengidentifikasi titik-titik lemahnya, terutama dari masalah banjir. "Tantangan terbesarnya adalah kita tidak memiliki metode yang telah dicoba dan teruji untuk melakukan hal ini", katanya. Jadi solusinya bervariasi dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Setelah hujan deras pada tanggal 2 Juli 2011 -- ketika hujan deras dengan kisaran 135,4 mm turun hanya dalam waktu dua jam yang menyebabkan kerusakan besar -- kota itu memutuskan untuk mengembangkan jaringan terowongan air hujan.

Terowongan berfungsi sebagai "jalan raya" hujan bawah tanah di area yang pembangunan perkotaannya tidak memungkinkan pengelolaan air secara langsung.

"Jika kita tidak memiliki ruang, kita membutuhkan pipa untuk mengalihkan air keluar dari kota," kata Rasmussen.

Model bagi kota-kota lain

Beberapa proyek, seperti pembangunan pulau buatan Lynetteholmen yang akan berfungsi sebagai tanggul terhadap naiknya air laut, gagal mendapatkan dukungan. Namun, kota tersebut secara umum dipuji atas upaya adaptasinya.

"Mereka benar-benar berusaha," ujar peneliti Isabel Froes, seorang profesor madya di Copenhagen Business School, kepada AFP. "Mereka melibatkan para peneliti, dengan masyarakat untuk meningkatkan lebih banyak kesadaran."

Bahkan dengan populasi kota yang terus bertambah, salah satu prinsip terkuat mereka adalah menghindari pembangunan di daerah dataran rendah.

"Masih banyak tempat di Kopenhagen yang memiliki masalah terkait banjir akibat air hujan," kata Aslaug Lund. "Kita harus menghindari pembangunan di daerah dataran rendah."

Upaya Kopenhagen dipandang sebagai model bagi apa yang dapat dilakukan kota-kota lain, kata Froes. "Saya menyebut Denmark sebagai negara prototipe karena cakupannya," imbuhnya.

"Ini adalah tempat yang bagus untuk menguji langkah-langkah baru, untuk melibatkan warga di sekitarnya juga, karena Denmark adalah masyarakat yang saling percaya. Kami cenderung mengikuti aturan dan kami juga menyukai aturan, yang tidak (terjadi) di mana-mana."

ap/hp (AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya