1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

140110 Haiti Erdbeben

14 Januari 2010

Setelah gempa dahsyat mengguncang Haiti Selasa (12/01), dikuatirkan puluhan ribu orang tewas. Sementara bantuan berjalan lamban.

Banyak dari mereka yang terluput dari bencana harus bertahan di alam terbukaFoto: AP

Para korban gempa Port-au-Prince merebahkan badan yang lelah di alam terbuka, pada malam kedua setelah gempa bumi. Kebanyakan rumah dan hunian mereka hancur. Selain itu rasa takut mencekam setiap kali terjadi gempa susulan. Kota Port-au-Prince diselimuti kegelapan. Jaringan listrik yang memang terbatas, kini mati total. Air tak ada, dan jalan-jalan tak bisa digunakan. Di tepi-tepi jalan mayat para korban berjejer, ditutupi sebisa mungkin dengan kain atau plastik.

Di bawah puing-puing, masih banyak korban yang belum bisa ditangani. Para korban hidup sudah sepanjang hari mencari keluarga mereka di bawah reruntuhan gedung. Yang masih memiliki makanan, berusaha menghangatkannya di unggun terbuka. Tapi banyak korban yang apatis, menunggu bingung penuh ketakutan. Begitu ungkap Michael Kühn dari organisasi bantuan Pangan Dunia, Welthungerhilfe.

Di depan runtuhan istana presiden Haiti di pusat kota Port-au-Prince, Kühn menceritakan, "Saya melihat banyak orang menunggu bantuan medis dengan bingung, di pinggir jalan mereka duduk dengan luka terbuka, bagian tubuhnya - lengan, atau ada juga yang kakinya putus. Rumah sakit yang ada, semua penuh. Sebuah pemandangan mengerikan.Saya kira, saat ini para korban menghadapi ini sendirian, karena semua yang bisa menolong juga merupakan korban. Masih ada relawan yang tak mengetahui apakah keluarganya masih hidup atau tidak, karena tak bisa dihubungi per telefon. Merekapun pergi mencarinya dengan berjalan kaki.”

Anggota tim penyelamat, relawan pembantu yang secara pribadi juga menghadapi situasi darurat. Termasuk, pasukan helm biru PBB. Markasnya, sebuah bekas hotel di Port-au-Prince, hancur lebur. Sekitar 50 orang bisa dikeluarkan dari bawah puing, namun masih ada 150 karyawan yang belum ditemukan. Diantaranya Hedi Annabi, Kepala Misi PBB. Juga katedral di ibukota mengalami kerusakan. Di dalam kantornya Uskup Agung tertimpa langit-langit yang jatuh. Di kawasan Petionville yang relatif mewah, sebuah rumah sakit anak rubuh. Tak jauh sebuah hotel milik pasangan Jerman-Haiti mengalami hal sama. Sekitar 200 orang tewas akibatnya, termasuk warga asing.

Di lapangan udara, Presiden Haiti René Préval mengkoordinasi bantuan internasional yang mulai datang. Ia berhasil diselamatkan dari reruntuhan gedung pemerintahan. Terpaksa memanjat keluar dari tumpukan jenazah rekan-rekannya, ia tampak masih shok. Gedung parlemen, gedung pajak dan sejumlah gedung pemerintah lainnya juga rubuh. Presiden Preval mengatakan, "Ini sulit dibayangkan. Mereka yang tidak melihatnya, akan sulit untuk percaya. Di mana-mana, rumah, sekolah, rumah sakit semua hancur. Mayat bergelimpangan di jalan. Saya sendiri masih belum bisa menyadari sejauh apa dampak bencana ini dan bagaimana harus menghadapinya. Kami butuh dokter, obat-obatan. Rumah sakit yang masih ada berlimpah ruah dengan pasien, banyak orang masih menunggu di jalan-jalan. Ada ancaman penyebaran epidemi .“

Jumlah korban tewas yang disebutkan Presiden Preval maupun Perdana Menteri Haiti, lebih merupakan gambaran kekuatiran yang dihadapi. Bukan data yang pasti. Apakah korban mencapai puluhan ribu orang atau ratusan ribu orang, belum bisa dipastikan. Palang Merah menyebutkan, korban bencana 3 juta orang, berarti sepertiga dari 9 juta penduduk negara yang amat miskin ini. Haiti yang sejak dulu mengalami kesulitan, kini diluluh lantakkan bencana.

Bantuan internasional banyak, baik dari lembaga, negara maupun perorangan. Tetapi belum cukup. Bank Dunia menyediakan 100 juta Dolar, pengusaha media Ted Turner menjanjikan satu juta Dolar, bintang hip-hop Wyclef Jean segera kembali ke tanah airnya berusaha membantu melalui sebuah yayasan yang diberi nama “Yele Haiti”, “Haiti Teriak”. Bersama bintang film Angelina Jolie dan Brad Pitt, ia berusaha menggalang dana. Waktu terus mendesak, dan banyak korban yang sudah tak punya cukup tenaga untuk berteriak.

Michael Castritius / Edith Koesoemawiria
Editor: Marjory Linardy