1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korban Jiwa Terus Bertambah Usai "Pembantaian" di Libya

20 Februari 2011

Tindakan biadab rejim Libya terhadap para demonstran di Bengasi mengejutkan banyak pihak. Diduga lebih dari 100 orang tewas. Seorang dokter di lapangan bahkan menyebut tindakan aparat sebagai sebuah "pembantaian."

Serdadu LibyaFoto: Picture-Alliance/dpa

Tentara Libya melancarkan serangan brutal untuk menumpas para pengunjuk rasa di Benghazi. Mereka menembaki para demonstran dengan senapan mesin. Dalam wawancara dengan Radio DW ini, seorang pengusaha dan pengacara ywarga kota Benghazi, Al-Haris al-Barqawi melaporkan, "saya pastikan, hanya di satu rumah sakit saja di Benghazi, terdapat 200an jenazah korban tewas, dan lebih dari 900 korban luka."

Belum bisa didapat pengukuhan atas laporan al-Barqawi. Karena wartawan asing dilarang masuk, dan Libya menutup akses terhadap pengamat internasional. Betapapun sejumlah dokter mengungkapkan angka yang kurang lebih sama kepada beberapa kantor berita internasional. Namun sebagian menyebut, jenazah-jenazah itu kebanyakan sudah dikuburkan sejak kekerasan meletus, awal pekan ini.

Hari Minggu, tentara Khadafi terus menembaki para pengunjuk rasa. Adapun kekerasan paling brutal terjadi hari Sabtu (19/2), saat penguburan sejumlah korban yang tewas sebelumnya. Menurut kesaksian sejumlah warga, saat pemakaman itu tentara menggunakan senapan mesin, mortar, senapan kaliber besar, bahkan peluru kendali, terhadap warga yang menghadiri penguburan di kota Benghazi.

Pasukan khusus militer menembak mati sedikitnya 20 warga dan 25 lainnya mengalami luka-luka berat.

„Mereka menembaki para demonstran dengan senjata anti pesawat terbang dan persenjataan berat. Pasukan khusus militer dan kaum tentara bayaran dari berbagai negara Afrika sengaja menembaki rakyat di jalanan“, kata Al-Haris AL-Barqawi

Pasukan Khusus Hadapi Rakyat

Sejumlah warga lain melaporkan melalui telepon, para penembak jitu melepaskan tembakan dari atap-atap gedung. Sementara rakyat mulai melawan dengan menyerang balik tentara yang menindas mereka. Pasukan khusus yang dipimpin oleh komandan Chamies Khadafi, salah satu putra Muammar Khadafi, juga dengan brutal menumpas para pengunjuk rasa di berbagai kota Libya timur.

Putra Muammar Khadafi lainnya, Al Saadi Khadafi, justru mengalami nasib sial. Ia nyaris menjadi korban amukan massa yang melihatnya sesaat setelah helikopternya mendarat di timur Lybia. Disebutkan, militer dikerahkan untuk menyelamatkan dan menyembunyikan putra Khadafi itu. Helikopternya terbakar hangus, namun tidak ada yang tahu dimana kini ia berada..

Pemerintah Libya dilaporkan telah menahan puluhan orang yang dituduh anggota sebuah jaringan nasionalis Arab. Pemerintah menuding mereka sengaja menggelar aksi demonstrasi untuk mengacaukan negara.

Kantor berita Libya Jana menulis, mereka yang ditahan di beberapa kota Libya itu merupakan anggota jaringan luar negeri yang dilatih untuk merusak stabilitas, keamanan serta persatuan nasional Libya. Menurut corong pemerintah Khadafi itu, mereka antara lain berasal dari Tunisia, Mesir, Sudan, Palestina, Suriah dan Turki. Kantor berita itu juga tak lupa menuduh bahwa dinas rahasia Israel berada di balik jaringan tersebut.

Pembebasan Rakyat

Al Haris Al Barqawi, warga Benghazi yang terlibat penuh dalam berbagai aksi unjuk rasa itu terang membantah. Menurutnya, ini aksi rakyat murni Libya untuk membebaskan diri dari pemerintahan Muammar Khadafi yang sudah berkuasa secara brutal sejak tahun 1969.

“Tujuan kami satu. Yakni menggulingkan diktator ini bersama para penjahat yang membantunya di pemerintahan. Kami ingin meruntuhkan rezim kriminal ini,” katanya.

Tekad dan keberanian yang ditunjukkan Al Barqawi bersama ribuan rakyat Libya lain yang memenuhi jalan-jalan berbagai kota sejak Selasa lalu, belum pernah terjadi sebelumnya. Tak pelak, mereka mendapatkan inspirasi dari keberhasilan rakyat Tunisia dan Mesir yang berhasil menggulingkan pemimpin mereka yang selama puluhan tahun memerintah dengan tangan besi.

Unjuk rasa anti pemerintah pun menyusul terjadi di Yaman, Bahrain, dan Libya, selain di Yordania dan Suriah. Menurut wartawan Libya, Abdullah el Kebir, jatuhnya presiden Tunisia Zine Abidin Ben Ali, disusul tergulingnya presiden Mesir Husni Mubarak, menimbulkan gelombang perubahan di tanah Arab.

Rakyat yang selama ini ditindas pemerintah mereka yang tak segan membunuh rakyat sendiri, mulai mengusir ketakutan mereka. "Kami sebetulnya ingin berunjuk rasa secara damai. Namun kemudian muncul para pendukung Kadhafi bersenjatakan pisau, parang, pedang, dan batu, menyerang kami. Polisi pun kemudian menembaki kami pula. Sejak itu kami bertekad untuk terus berjuang," tutur Abdullah el Kebir.

Jumlah Korban Simpang Siur

Abdullah el Kebir sendiri, kini dengan berani melaporkan kekejaman-kekejaman pemerintah Khadafi, melalui telepon ke jaringan pemberitaan internasional. Selain itu, rakyat Libya juga menyiarkan perjuangan mereka dan kekejaman pemerintah Khadafi melalui video di internet.

Sejak aksi unjuk rasa anti pemerintah dimulai Selasa lalu (15/2), dalam catatan organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW), lebih dari 100 orang tewas di Libya. Itupun, menurut organisasi itu merupakan perkiraan yang bisa jadi jauh lebih rendah dari jumlah sebenarnya. Sebaliknya pemerintah Libya menuding perkiraan itu berlebihan dan tidak sesuai kenyataan. Menurut angka resmi pemerintah Khadafi, jumlah korban tewas hanya mencapai 16 orang.

Padahal, menurut pengacara Benghazi Al Haris al Barqawi, yang terjadi sekarang adalah pembantaian. Ia menyerukan dunia internasional, khususnya eropa, untuk menghentikan kekejaman ini.

"Jika Eropa menganggap rakyat Libya punya hak atas kehidupan dan kemerdekaan, maka Eropa mesti menghentikan pembantaian ini. Tapi kami sendirilah yang bertanggung jawab untuk menggulingkan rezim ini. Saya tegaskan, apa yang terjadi di sini sekrang ini adalah pembantaian".

Ginanjar/Nangoy/Nugraha/afp/dpa/ap

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait