Nenek Korban Kejahatan Polisi Prancis Minta Rusuh Dihentikan
3 Juli 2023
Keluarga remaja yang ditembak mati polisi di Prancis meminta agar kerusuhan dihentikan. Aksi demonstrasi selama lima hari terjadi sebagai bentuk protes penembakan tersebut.
Iklan
Nenek dari Nahel, korban yang ditembak mati oleh polisi meminta agar kerusuhan berturut-turut di Paris dihentikan.
Berdasarkan informasi dari Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin, setidaknya 45.000 petugas kepolisian tambahan dikerahkan pada Minggu (02/07) malam. Upaya ini dilakukan demi mencegah para demonstran yang sudah mulai membakar mobil, menjarah toko, hingga menargetkan penyerangan ke tempat publik seperti balai kota dan markas polisi, termasuk rumah Wali Kota Paris yang diserang saat mereka sekeluarga tengah tertidur.
Akibat kejadian ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga membatalkan kunjungan kenegaraan ke Jerman. Macron dijadwalkan untuk bertemu dengan lebih dari 220 wali kota yang terdampak akibat kerusuhan sejak Selasa (27/06).
Kementerian Dalam Negeri Prancis melaporkan telah menangkap setidaknya 719 orang usai pemakaman Nahel di daerah pinggiran Paris, Nanterre. Jumlah ini menurun dibandingkan pada penangkapan Jumat (30/06) dan Kamis (29/06) malam, yakni sebanyak 1.311 dan 875 orang.
Namun, pemerintah mengingatkan bahwa masih terlalu cepat untuk mengatakan jika kerusuhan telah berakhir.
"Memang kerusakan yang terjadi tidak terlalu parah, tetapi kami masih akan tetap bergerak dalam beberapa hari ke depan. Kami sangat fokus, tidak ada yang mengklaim kemenangan," kata Kepala Kepolisian Paris Laurent Nunez.
"Minta agar kerusuhan berhenti"
Nadia, nenek dari Nahel, menyebut para demonstran yang telah beraksi sejak Selasa (27/06) itu menggunakan kematian Nahel sebagai alasannya untuk membuat kekacauan. Dia mengatakan bahwa pihak keluarga meminta para demonstran untuk tenang.
"Saya minta para demonstran untuk berhenti," kata Nadia saat diwawancara oleh BFM TV.
"Nahel sudah meninggal. Putri saya merasa kehilangan ... dia seperti sudah tidak punya kehidupan lagi."
Saat ditanyakan soal kampanye penggalangan dana, yang telah terkumpul hingga 670.000 Euro (setara Rp10.990 miliar) untuk polisi yang didakwa melakukan pembunuhan secara sukarela, Nadia menjawab "saya merasa sedih."
Kerusuhan ini jadi krisis terparah yang dialami Macron sejak aksi protes "Yellow Vest" yang terjadi hampir di sebagian besar wilayah Prancis pada akhir 2018.
Kemudian, pada pertengahan April lalu, Macron menjanjikan 100 hari kerja untuk rekonsiliasi dan penyatuan negara yang terpecah usai adanya mogok dan demonstrasi yang diikuti dengan kekerasan atas kenaikan usia pensiun yang dijanjikan Macron dalam masa kampanye.
Iklan
Gas air mata di Marseille
Titik kerusuhan terbesar dalam semalam terjadi di Marseille. Saat itu polisi menembakkan gas air mata dan melawan para anak muda di sekitar pusat kota hingga larut malam. Kerusuhan juga terjadi di Paris, Kota Riviera, Nice, hingga Strasbourg bagian timur.
Sejumlah negara Barat dan Cina telah memperingatkan para warganya untuk waspada akibat kerusuhan tersebut, yang diduga bakal menimbulkan tantangan signifikan bagi Prancis di puncak musim pariwisata musim panas jika kerusuhan terjadi di tempat-tempat wisata yang terkenal.
Konsulat Cina juga telah mengajukan keluhan resmi setelah bus yang membawa kelompok wisatawan Cina dipecahkan kacanya pada Kamis (29/06) yang menyebabkan beberapa orang luka ringan.
Di Paris, sejumlah toko-toko terkenal di Avenue des Champs-Elysees menutup fasadnya menggunakan papan. Selain itu, juga terjadi bentrokan yang sporadis di tempat lain, disebutkan enam bangunan publik rusak dan lima petugas terluka.
Di kawasan Paris, rumah Wali Kota konservatif L'Hay-les-Roses, Vincent Jeanbrun, ditabrak dengan menggunakan sebuah kendaraan. Serta, istri dan anaknya diserang menggunakan kembang api saat hendak melarikan diri.
Alasan aksi protes di Prancis
Protes ini dipicu oleh kematian Nahel, remaja berusia 17 tahun. Saat mengemudikan mobil, Nahel ditembak dan dibunuh oleh seorang polisi dari jarak dekat di lampu merah di pinggiran kota Paris Barat, Nanterre.
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)
Foto: REUTERS/J. Nazca
11 foto1 | 11
Kematian Nahel memicu kerusuhan, bentrokan hingga serangan pembakaran di beberapa daerah pinggiran Paris. Kejadian ini juga meluas ke seluruh wilayah dengan massa protes dan kerusuhan di malam hari yang dapat berubah menjadi kekerasan.
Para demonstran ingin menyoroti diskriminasi hingga kekerasan yang sering akli dialami oleh kaum minoritas Prancis di tangan polisi.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menggambarkan insiden penembakan ini sebagai hal yang "tidak dapat dimaafkan". Namun, Macron juga menentang kerusuhan dan kekerasan.