1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korban Teror di Irak Meningkat Drastis

2 September 2009

Uskup Agung Louis Sako sempat mewanti-wanti terhadap memburuknya situasi keamanan di negaranya. Bahwa kekhawatiran itu akhirnya terbukti, tampak dari angka korban serangan bom bunuh diri yang meningkat di bulan Agustus

Umm Aabas weeps as she sits next to her son after he was wounded in a bombing in the main Shiite district in Baghdad, Iraq, Thursday, June 25, 2009. A bomb ripped through a crowded market on Wednesday, less than a week before a deadline for U.S. combat troops to leave Iraq's urban areas.
Seorang ibu di Irak menangisi putranya yang menjadi korban bomFoto: AP

Mungkin saja ramalan buruk itu terdengar tidak adil, tapi jumlah korban yang setiap bulan menjadi korban kekerasan di Irak, merupakan tolak ukur kemampuan polisi dan militer dalam melindungi penduduk sendiri.

Sebagaimana yang terlihat, kedua instansi tersebut gagal menjalankan tugasnya dengan baik: bulan Agustus tahun ini sekitar 465 manusia tewas oleh serangan teror - begitu menurut data statistik resmi pemerintah Irak. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi sejak satu tahun terakhir.

Membebani Hubungan dengan Suriah

Pukulan terbesar adalah serangan ganda terhadap dua gedung kementrian di zona hijau Baghdad, dua pekan lalu, yang menewaskan 100 orang.

Sejak saat itu hubungan antara Irak dan Suriah jatuh ke titik terendah. Pasalnya pemerintahan di Baghdad menuding, dalang di balik pemboman tersebut berada di Suriah dan menuntut Damaskus mengirimnya kembali ke Irak untuk diadili.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki senin kemarin (31/08) semakin memanas-manasi situasi dengan menyebut, 90 persen teroris asing masuk ke Irak melalui Suriah. Seorang tersangka gerilayawan Al-Qaida beberapa pekan lalu muncul di televisi Irak dan mengaku, agen dinas rahasia Suriah mendidiknya di sebuah kamp pelatihan di Suriah sebelum kemudian dikirim ke Irak.

Upaya Mediasi Negara Tetangga

Senin kemarin, Presiden Suriah Bashar Assad menampik semua tudingan yang diarahkan terhadap pemerintahannya. Dia merujuk pada pengungsi Irak yang ditampung oleh Suriah sejak beberapa tahun terakhir.

"Jika Suriah dituduh membunuh warga Irak, di mana satu koma dua juta warga Irak hidup dalam pengungsian, yang mana menjadi tanggung jawab kami untuk menampung mereka, maka sudah sangat bijaksana, jika saya menyebut tudingan itu sangat tidak bermoral. Kalau Suriah dituduh mendukung terorisme, di mana kami pada kenyataannya sejak satu daswarsa lalu memeranginya dan ketika negara lain di wilayah dan di luar wilayah ini yang jelas-jelas mendukung aksi terorisme, maka orang harus melihatnya sebagai tuduhan politik yang meruntuhkan setiap logika," ujarnya.

Assad menekankan, pihaknya hanya akan menunggu pemerintah Irak menunjukkan bukti-bukti kongkrit atas tuduhan tersebut. Pekan lalu Baghdad menarik duta besarnya dari Damaskus. Suriah pun menjawab dengan melakukan hal yang sama.

Bahwa "perang kata-kata" antar kedua negara masih berlangsung, cukup mengkhawatirkan negara-negara tetangga. Iran misalnya segera menyerukan pertemuan antara semua negara di wilayah. Teheran selama ini membina hubungan harmonis baik dengan Damaskus, maupun dengan Baghdad. Menteri Luar Negeri Turki pun ikut turun tangan dan memulai upaya mediasi hari Senin kemarin.

Tuduhan, bahwa Suriah membiarkan pendukung Saddam Hussein bersembunyi dan mengizinkan gerilayawan dari berbagai negara untuk masuk ke Irak melalui wilayahnya, sebenarnya telah dilontarkan sejak bertahun-tahun lalu.

Namun Amerika Serikat telah mengendurkan tekanannya terhadap Damaskus dan menyadari, Suriah harus memprioritaskan penjagaan perbatasaannya. Assad sendiri menampik, baginya mustahil untuk menjaga setiap sudut perbatasan menuju Irak. Ia berdalih pihaknya kekurangan tekhnologi dan dana untuk penjagaan menyeluruh.

(RN/ML/dpa/ap/afp)