1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korea Selatan Akan Pilih Presiden Baru

17 Desember 2012

Dua kandidat presiden Korea Selatan akan bertarung dalam pemilu tanggal 19 Desember. Mungkinkah Korea Selatan akan mempunyai presiden perempuan?

Pemilu KorselFoto: Reuters

Untuk kedua kalinya Park Geun-Hye berlaga di kancah pemilu presiden. Tahun 2007 ia sudah pernah mencoba, namun gagal dalam pemilihan kandidat di partainya sendiri, Saenuri. Saat itu yang menjadi pesaingnya adalah presiden saat ini Lee Myung-Bak. Masa jabatan Lee Myung Bak sebagai presiden akan berakhir pada Februari 2013 mendatang. Namun Myung Bak  tidak dapat dipilih lagi.

Oleh sebab itu, pemilu tanggal 19 Desember mendatang dapat menjadi peluang emas bagi Park Geun-Hye, yang kini berusia 60 tahun. Jika terpilih, ia akan menjadi presiden perempuan pertama di negara yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke-empat di Asia itu. Sekian lamanya dia dipandang sebagai kandidat ynag menjanjikan. Sementara partai-partai oposisi secara strategis menyetujui pencalonan tokoh liberal Moon Jae-In, yang diusung oleh Partai Persatuan Demokrasi. Pengamat memperkirakan, pertarungan akan berlangsung gigih hingga menit-menit terakhir.

Lee Jung-hee dari Partai Progresif, Moon Jae-in dari partai oposisi Partai Persatuan Demokrasi dan Park Geun-hye dari Partai SaenuriFoto: Reuters

Putri Mantan Diktator

Park Geun-Hye merupakan putri petinggi militer Korea Selatan Park Chung-Hee, yang menggulingkan kekuasaan sebelumnya tahun 1961. Selama hampir 20 tahun ia memimpin Korea Selatan dengan tangan besi, hingga akhirnya tahun 1979 ditembak  mati oleh kepala dinas rahasianya sendiri. Nama besar Park Chung-Hee tak hanya semata-mata negatif, namun di lain sisi ia membawa perekonomian Korea Selatan merangkak naik, dimana ia meletakkan pondasi perekonomian. Hingga kini Era  Park Chung-Hee masih dipandang sebagai era kontroversial.

Keadaan ini disadari betul oleh putrinya. Kenyataannya, posisinya yang tak pernah jelas dalam pelanggaran HAM yang pernah terjadi di era kepemimpinan ayahnya dapat menjadi ancaman pada kampanye pemilu.

Park Geun-HyeFoto: Getty Images

Pada Bulan September lalu, Park Geun-Hye mulai ofensif. Ia berpidato di televisi, meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM yang dilakukan rezim militer dulu. Pesan ini disampaikannya kepada mereka yang menderita dan terluka di saat itu, demikian pula bagi keluarganya, dituturkan oleh Park Geun-Hye “permintaan maaf tulus.”

Profesor Institut Kajian Korea Selatan di Freie Universität Berlin, Lee Eun-Jeung mengatakan pernyataan maaf itu merupakan problem mendasar kandidat presiden dari kubu konservatif itu. Karena yang ada dalam pandangannya ditujukan hanya untuk nama ayahnya, sedangkan ,“Tujuan politiknya sendiri tidak jelas. Ia ingin mempertahankan reputasi ayahnya atau ketenarannya yang berulangkali sudah ia tekankan. Namun di luar itu semua, saya tak melihat adanya agenda politik.“ Ditambahkan  Lee Eun-Jeung, “Bagi banyak orang, masa lalu tidak lagi beperan penting.“

Moon Jae-inFoto: Reuters

Mantan Pengacara HAM

Kandidat lainnya, Moon Jae-In sudah sejak lama dikenal sebagai tokoh yang berulangkali hadir di kancah panggung politik Korea Selatan. Pria 59 tahun, putra seorang pengungsi ini bekerja sebagai pengacara hukum. Spesialisasinya: membela hak sipil dan HAM. Tahun 2002 ia  mempimpin kampanye untuk mantan presiden Korea Selatan Roh-Moo-Hyun. Setelah kemenangan Roh, Moon Jae-In memegang berbagai jabatan penting di pemerintahan. 

Profesor Institut Kajian Korea Selatan Freie Universität, Berlin, Lee Eun-Jeung mengatakan, “Di atas kertas, tertera ia mempertimbangkan ekonomi kerakyatan. Ia tidak semata-mata mewakili kepentingan perusahaan.“ Pada plakat kampanyenya Monn Jae-In menyebut diri sebagai „Orang bagi kaum kecil,“ namun bagi pakar Korea , Lee Eun-Jeung, itu hanya berlaku pada retorika kampanye pemilu,“Slogan dan kebikjakan politik merupakann dua hal yang berbeda.“

Tema yang Dihindari: Korea Utara

Dalam topik kampanye, kedua kandidat,  baik Park Geun-Hye maupun Moon Jae-In telah mengumumkan kesatuan pendapat mengenai Korea Utara. Kedua menyatakan akan menghidupkan kembali hubungan dengan Korea Utara. Setelah bertahun-tahun lamanya berlangsung pendekatan secara berhati-hati, yatu yang dikenal dengan “politik sinar matahari“ , hubungan antara Seoul dengan Pyongyang mendingin dalam lima tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden Korea Selatan, Lee Myung-Bak. Dipertanyakan kini seberapa besar ruang gerak Park Geun-Hye sebagai kandidat partai konservatif. Pakar politik Korea Selatan Lee Eun-Jeung berujar, “Saya khawatir jika lingkungan kandidat tak dapat menerima kebijakan yang berbeda dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebelumnya.“

Tentara di perbatasan Korut-KorselFoto: picture alliance/dpa

Pakar Asia Timur dari Universitas Wina Rüdiger Frank mengatakan, sangat sulit untuk mencari siapa biang keladi yang jelas dari hubungan buruk kedua negara bertetangga Korea Selatan-Korea Utara. Dikatakannya,“Ada rangkaian laitihan militer Korea Selatan yang bekerjasama dengan Amerika Serikat, dan ini sudah menjadi tradisi. Namun juga jelas bahwa Korea Utara mungkin memandang kerjasama militer ini sebagai skenario serangan, oleh sebab itu Korea Utara merasa terancam.“ Kecenderungan terkini menunjukan hubungan kedua negara semakin menegang. Dalam kurun waktu terakhir Korea Selatan meningkatkan daya jangkau rudalnya. Ditambahkan Rüdiger Frank, “Kenyataannya kini, roket Koera Selatan dapat mencapai keseluruhan wilayah Korea Utara. Sebelumnya tidak diperbolehkan, karena ada perjanjian larangan kepemilikan roket semacam itu.“

Tantangan Menanti

Apapun hasil pemilu nanti, yang jelas menanti tugas besar yang harus dijalankan kepala negara berikutnya, ujar Profesor Lee Eun-Jeung. Karena meski Presiden Lee Myung-Bak telah menarik Korea Selatan dari jurang krisis ekonomi, kesenjangan antara kaya dan miskin semakin besar.

Esther Felden/Ayu Purwaningsih

Editor : Hendra Pasuhuk