1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikKorea Selatan

Korea Selatan dan Jepang Ingin Kesampingkan Beban Sejarah

14 Maret 2023

Pemimpin kedua negara akan bertemu di Tokyo, Kamis (16/3), dengan harapan berlanjutnya tradisi saling silaturahmi setelah terhenti selama lebih dari satu dekade, antara lain akibat beban sejarah dari 100 tahun silam.

Yoon Suk Yeol dan Fumio Kishida
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol (ka.) dan Perdana Menteri Fumio KishidaFoto: Ahn Jung-won/Yonhap/AP/picture alliance

Pekan ini, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, akan berkunjung ke Jepang untuk bertemu Perdana Menteri Fumio Kishida. Lawatan tersebut diumumkan hanya beberapa hari setelah Seoul menyatakan ingin menyudahi perselisihan dengan jirannya itu terkait kejahatan kemanusiaan selama Perang Dunia II.

Kunjungan dua hari Yoon akan menjadi yang pertama oleh pemimpin Korsel sejak 12 tahun terakhir, dan "merupakan batu loncatan yang penting dalam memperbaiki relasi antara Korea Selatan dan Jepang, seperti yang sudah dijanjikan oleh pemerintahan Yoon sejak pelantikannya,” kata penasehat keamanan presiden Korsel, Kim Sung-han, kepada media, Selasa (14/3).

Dua sekutu AS di Indo-Pasifik itu sejak lama berselisih soal kejahatan kemanusiaan oleh Jepang selama 35 tahun menjajah Semenanjung Korea. 

Baru-baru ini, Seoul bersedia mengkaji ulang tuntutannya kepada Tokyo berupa uang ganti rugi bagi korban buruh paksa. Belum jelas, seluas apa konsesi yang ingin ditanggung pemerintah dan apakah usulan itu akan diterima oleh warga Korea Selatan.

Korean 'comfort women' memorial angers Japan

02:49

This browser does not support the video element.

Beban masa lalu

Perselisihan antara kedua negara berawal dari era kolonialisme Jepang di Semenanjung Korea antara 1910 dan 1945. Saat itu, pemerintah di Tokyo tidak hanya memaksakan penggunaan nama dan bahasa Jepang bagi warga Korea, tapi juga menjalankan praktik kerja paksa dan perbudakan seksual selama Perang Dunia II.

Pada 1965, Jepang membayar ganti rugi senilai USD 800 juta kepada junta militer Korsel. Tapi uang tersebut tidak pernah diterima korban. Tokyo secara resmi meminta maaf pada 1995 dan ikut berkontibusi pada sebuah dana yang dibentuk untuk membayar uang kompensasi bagi bekas "Jugu Ianfu” alias perempuan penghibur.

Namun mayoritas warga Korea Selatan berpandangan bahwa Jepang harus mengambilalih tanggungjawab yang lebih besar terhadap kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Selain pemerintah, sejumlah perusahaan juga dituntut membayar kompensasi bagi korban kerja paksa, antara lain Nippon Steel dan Mitshubishi.

Namun menurut Menlu Jepang, Yoshimassa Hayashi, pihaknya tidak bisa memaksa perusahaan-perusahaan Jepang untuk membayar uang ganti rugi. Keputusan itu diserahkan kepada masing-masing korporasi.

Kedua negara juga bersitegang seputar gugus kepulauan yang dikuasai Korsel, namun diklaim oleh Jepang sebagai wilayah teritorialnya. Terhentinya tradisi silaturahmi antara Tokyo dan Seoul antara lain dipicu oleh kunjungan bekas Presiden Korsel Lee Myung-bak, ke kepulauan tersebut pada tahun 2012.

Agenda pertemuan

Yoon dan Kishida dijadwalkan berbicara secara langsung dan menghadiri jamuan makan malam di Tokyo. Menurut kabar media, Kishida akan kembali menegaskan sikap penyesalan Jepang terhadap dosa masa lalu. 

Meski kedua negara sudah mengisyaratkan ingin kembali melanjutkan tradisi kunjungan bilateral, perdana menteri Jepang sejauh ini belum menjdawalkan lawatan balasan ke Seoul.

Membaiknya relasi dua sekutu terkuat AS di Indo-Pasifik itu membuka jalan bagi kolaborasi militer yang lebih luas untuk menghadapi Cina dan Korea Utara. Sejak lama, Washington menggiatkan upaya diplomasi untuk memediasi kedua negara.

Duta Besar AS untuk Jepang, Rahm Emmanuel, mengaku AS, Jepang dan Korea Selatan melakukan 40 perundingan trilateral sebelum kunjungan Yoon.  Menurutnya, mencairnya ketegangan "adalah sebuah langkah besar, terutama dalam konteks penyelarasan strategis yang kita jalankan.”

Pemerintah Korsel membantah telah ditekan AS untuk berdamai dengan Tokyo. Keputusan tersebut diambil sesuai dengan kebijakan Korsel memperkuat aliansi keamanan, sebagai respons terhadap eskalasi program pengembangan senjata pemusnah massal oleh Korut.

Selain melobi AS untuk memperluas latihan militer gabungan antara kedua negara, Presiden Yoon juga ingin agar Washington memperkuat komitmennya melindungi Korsel dari ancaman Korut, termasuk melalui penggunaan senjata nuklir.

"Upaya memperkuat hubungan Korsel dan Jepang belum pernah sepenting seperti sekarang ini, di era multikrisis yang rumit dan tecipta oleh ketidakpastian dalam geopolitik global,” kata Wakil Menlu Korsel Cho Hyungdong pekan lalu.

rzn/hp (rtr,ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait