Korea Selatan Jadi Tuan Rumah ‘KTT untuk Demokrasi‘
18 Maret 2024
Korea Selatan menjadi tuan rumah 'Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk Demokrasi' yang membahas antara lain ancaman digital terhadap demokrasi. Agenda ini diikuti lebih 100 negara, termasuk Indonesia.
Iklan
Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol akan bergabung dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken dan para petinggi negara asing lainnya pekan ini untuk menyerukan langkah-langkah melawan ancaman digital terhadap kebebasan, saat Seoul menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk Demokrasi.
Ini merupakan acara ketiga yang diadakan sejak Presiden AS Joe Biden menyelenggarakan KTT tersebut pada tahun 2021 silam.
Ini merupakan pertemuan tingkat tinggi yang pertama kali menghadirkan lebih dari 100 negara untuk membantu menghentikan kemunduran demokrasi serta pengikisan hak dan kebebasan di seluruh dunia.
Sebelumnya KTT ini diadakan secara daring, lantaran adanya pembatasan ketat semasa Covid-19 merebak.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Apa tujuannya?
Agenda tahun ini akan fokus terhadap ancaman digital terhadap demokrasi, termasuk disinformasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan apa yang disebut "deep fakes".
"Berita bohong dan disinformasi berbasis kecerdasan buatan dan teknologi digital tidak hanya melanggar kebebasan pribadi dan hak asasi manusia, melainkan juga menjadi ancaman bagi sistem demokrasi,” kata Yoon Suk Yeol dalam upacara pembukaan KTT untuk Demokrasi.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Secara terpisah, Menlu AS Antony Blinken menyebut Washington telah mengeluarkan panduan pertama dalam lingkup ini bagi perusahaan teknologi supaya dapat membantu mencegah serangan terhadap para pembela hak asasi manusia secara daring.
"Ketika rezim otoriter dan represif menggunakan teknologi untuk merusak demokrasi dan hak asasi manusia, kita perlu memastikan bahwa teknologi menopang dan mendukung nilai-nilai serta norma-norma demokrasi,” kata Antony Blinken dalam KTT tersebut.
Kemudian Blinken menyebut bahwa tahun 2024 merupakan "tahun pemilihan umum yang luar biasa" untuk menyoroti risiko disinformasi dan kebohongan di dunia maya. Dia juga mengulangi tuduhan Washington bahwa Rusia dan Cina berada di balik kampanye global yang bertujuan untuk memanipulasi informasi.
Sementara itu, pihak tuan rumah, Korea Selatan, juga menyatakan bahwa mereka berencana untuk menggunakan acara tersebut untuk mencari cara agar dapat mendorong partisipasi kaum muda dalam demokrasi.
Iklan
Siapa saja yang hadir?
KTT yang berlangsung di Seoul ini dihadiri oleh pejabat senior, termasuk Antony Blinken, Wakil Perdana Menteri Inggris Oliver Dowden, para Menteri luar negeri Ekuador, Gambia, Indonesia, Guyana, Mauritius, serta sejumlah pemimpin setingkat menteri lainnya.
Sesi pleno pada Rabu (20/03) mendatang sebagian besar akan dilakukan secara daring, dan akan dihadiri oleh Presiden Joe Biden, di antara pemimpin dunia lainnya.
Pemimpin Oposisi Korea Selatan Ditikam di Leher
00:44
Biden sempat membuat Cina murka saat mengajak Taiwan untuk ikut pada pertemuan perdana KTT ini. Masalah ini menimbulkan kontroversi lebih lanjut pada tahun itu, ketika pihak penyelenggara AS memotong bagian video seorang menteri Taiwan selama KTT tersebut, setelah sebuah peta dalam presentasinya memperlihatkan Taiwan berbeda warna dengan Cina, yang mengklaim pulai Taiwan merupakan bagian dari wilayah Beijing.
Selamat bertahun-tahun, KTT ini juga telah mendapat kritik keras dari para aktivis hak asasi manusia yang mempertanyakan apakah acara virtual dapat mendorong para pemimpin dunia yang diundang, yang beberapa di antaranya dituduh memiliki kecenderungan otoriter, untuk mengambil tindakan penting.
Kepada Reuters, seorang pejabat senior AS yang terlibat dalam perencanaan KTT pertama mengatakan pada saat itu, semua undangan dikirim ke masing-masing negara dengan pengalaman demokrasi yang berbeda dari semua wilayah di dunia.
"Ini bukan untuk mengesahkan, ‘Anda adalah negara demokrasi, Anda bukan negara demokrasi,'" kata pejabat tersebut.
Saat KTT dibuka pada Senin (18/03), pemerintahan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol membantah tuduhan bahwa mereka telah memobilisasi badan-badan pemerintah untuk memaksa media melakukan peliputan yang lebih menguntungkan.
Beberapa jam menjelang KTT digelar, Korea Utara menembakkan sejumlah rudal balistik jarak pendeknya ke laut untuk pertama kalinya dalam dua bulan, memamerkan kekuatan terbarunya.
Konferensi ini juga dimulai tepat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin dinyatakan sebagai pemenang telak dalam pemilihan presiden di Rusia pada hari Minggu (17/03).