1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Benarkah Korea Utara Tutupi Wabah Virus Corona?

4 Maret 2020

Aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa tanpa bantuan internasional, buruknya infrastruktur kesehatan bisa membuat Korea Utara terpuruk oleh wabah COVID-19.

Deretan ambulans di Korea Selatan
Foto: picture-alliance/AP Photo/Yonhap/K. Hyun-tai

Aktivis hak asasi manusia menuduh pemerintah Korea Utara telah membahayakan nyawa rakyatnya dengan menolak mengonfirmasi kasus COVID-19. Mereka juga memperingatkan bahwa pihak berwenang setempat kemungkinan membatasi bantuan medis hanya untuk 'elit' Korea Utara, yang mengarah pada tindak 'kejahatan' HAM.

Pejabat di ibu kota Korea Utara, Pyongyang, secara konsisten menyangkal adanya kasus virus corona jenis baru (COVID-19) di negara tersebut. Mereka mengatakan bahwa keputusan menutup perbatasan dengan Cina secara total telah efektif mencegah penyebaran penyakit ini.

Namun warga yang berhasil membelot dan masih memiliki kontak di sana, serta media yang kritis punya cerita yang berbeda. Situs internet yang berbasis di Korea Selatan, Daily NK, melaporkan bahwa setidaknya 20 orang di Korea Utara telah meninggal karena COVID-19 sejak Januari.

Sumber di dalam juga mengatakan bahwa pejabat kesehatan telah mengklasifikasikan kematian yang mungkin karena COVID-19 dan dengan cepat mengkremasi jasad para korban guna menghindari pemeriksaan.

Kantor berita Korea Selatan, Yonhap News, juga melaporkan bahwa sekitar 7.000 orang dimonitor karena menampakkan gejala-gejala virus tersebut, sementara pemerintah Korea Utara mendorong para diplomat asing yang ditempatkan di Pyongyang untuk meninggalkan negara itu dalam waktu dekat.

Usaha jalin kerja sama dengan Korea Utara

PBB telah memberi izin kepada Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, untuk mengangkut peralatan diagnostik dan medis ke Korea Utara. Palang Merah Internasional, Bulan Sabit Merah serta organisasi Dokter Tanpa Batas juga menawarkan bantuan mereka.

Pemerintah Korea Selatan telah mengusulkan upaya kerja sama dengan Korea Utara untuk menghentikan penyebaran penyakit ini. Namun, mengingat bahwa Korea Utara telah mengabaikan semua upaya dialog dari Korea Selatan selama lebih dari enam bulan, para analis mengatakan kemungkinan besar tawaran dari Korea Selatan tidak akan disambut hangat. 

Buruknya fasilitas kesehatan di Korea Utara dapat membuat negara itu kewalahan, bahkan jika kasus infeksi lebih kecil daripada di Selatan.Foto: picture-alliance/dpa/Kyodo

"Mengingat keadaan hubungan antar-Korea saat ini, Pyongyang hanya akan meminta bantuan dari Seoul jika situasinya telah sangat di ujung tanduk," ujar Leif-Eric Easley, seorang profesor studi internasional di Ewha Womans University di Seoul.

"Jika kondisi politiknya lebih baik, Korea Utara mungkin menerima bantuan Korea Selatan secara diam-diam," tambahnya. "Korea Utara telah secara diam-diam membawa masker, disinfektan, obat-obatan, dan alat uji kesehatan dari Cina dan organisasi internasional. Namun rezim Kim lebih mengutamakan proyeksi kekuatan, pencegahan kepanikan dan pengendalian populasi daripada perlindungan kesehatan masyarakat."

Pertaruhkan krisis

Easley mengatakan akan ada sangat sedikit berita yang dipublikasi terkait virus ini, sampai suatu saat Korea Utara tidak lagi bisa menghindari krisis.

Ia memperingatkan bahwa kemampuan perawatan kesehatan publik di Korut sangat tidak memadai. Hal ini akan membuat negara itu kewalahan, bahkan jika kasus infeksi di sana jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Cina atau Korea Selatan.

Secara terpisah, aktivis HAM mengatakan bahwa menunggu sampai terjadinya krisis berarti sama saja membiarkan ribuan orang keburu meninggal, padahal mereka seharusnya bisa dirawat.

"Adalah tanggung jawab pemerintah untuk menjaga rakyatnya. Sengaja tidak melakukan hal itu adalah pelanggaran hak-hak rakyat Korea Utara," ujar Ken Kato, direktur Human Rights Asia yang berkantor di Jepang.

Hanya membantu kaum 'elit'

"Satu keprihatinan besar adalah bahwa obat atau bantuan apa pun yang diberikan kepada pemerintah hanya akan diberikan kepada kaum 'elit.' Yaitu orang-orang yang harus Kim Jong-un senangkan supaya dia bisa tetap berkuasa," ujar Kato kepada DW. "Para 'elit' sangat penting baginya."

"Tetapi kami percaya bahwa mereka seharusnya melakukan segala yang mereka bisa untuk mempersiapkan apa yang mungkin terjadi dan membantu semua orang di negara itu," tambahnya.

Song Young-chae, profesor di Universitas Sangmyung Seoul yang juga aktivis yang menyerukan penghentian genosida di Korea Utara, mengatakan klaim nihilnya kasus COVID-19 di Korea Utara tidak bisa dianggap kredibel.

"Kontak pembelot saya masih punya teman di Utara dan mereka mengatakan bahwa virus itu telah menyebar dan pernyataan pemerintah adalah bohong," katanya. Song Young-chae juga mengatakan bahwa masyarakat butuh transparasi, bahwa bantuan akan diberikan kepada yang membutuhkan, dan bukan hanya kepada keluarga para pemimpin di sana.

ae/pkp

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.