1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korea Utara: Miskin, Berbahaya dan Punya Senjata Nuklir

Matthias von Hein13 Februari 2013

Dengan uji coba nuklirnya yang ketiga, Korea Utara terutama menunjukkan satu hal. Untuk senjata nuklir negara itu bahkan mengambil risiko konflik dengan Cina.

ARCHIV - Militärfahrzeuge fahren am 10.10.2010 bei einer Militärparade in Pjöngjang.Nordkorea hat nach eigenen Angaben am Dienstag erfolgreich einen neuen unterirdischen Atomtest unternommen. Foto: EPA/MIGUEL TORAN dpa +++(c) dpa - Bildfunk+++
Atomtests in NordkoreaFoto: picture-alliance/dpa

Sudah lewat setahun penguasa baru Korea Utara, Kim Jong Un dalam jabatannya. Neraca selama ini: dua uji coba roket, dan sejak Selasa (12/02) juga uji coba nuklir. Dengan demikian, setidaknya Kim Jong Un berhasil meraih satu hal: bersatunya dunia internasional. Dari Beijing sampai Berlin, dari Tokyo hingga New Delhi, dari Seoul sampai Washington. Di seluruh dunia, uji coba nuklir ketiga ini dikecam.

April 2012 Korea Utara mengubah konstitusinya. Sejak itu, negara tersebut menyebut diri secara resmi sebagai "bangsa bersenjata nuklir". Tapi apa yang menggerakkan sebuah negara miskin untuk menginvestasikan sebagian besar pemasukannya yang tak seberapa, dalam pengembangan roket dan senjata nuklir?

Chen Kuo Chang, teknisi senior dari Pusat Seismologi Taiwan menunjuk pada peta, tempat di mana Korea Utara mengadakan uji coba nuklirFoto: AFP/Getty Images

Mungkin hanya kebetulan, tetapi kebetulan yang penting, uji coba nuklir itu terjadi bertepatan dengan ulang tahun ke dua awal perlawanan terhadap diktator Libya, Muammar Gaddafi. Cara pandang Pyongyang atas peristiwa di Afrika Utara begini: awalnya Gaddafi menghentikan pengembangan senjata pemusnah masal, kemudian ia digulingkan. Bagi penguasa Korea Utara sudah jelas, mereka perlu bom sebagai penjamin terkuat kekuasaannya. Itu juga berfungsi sebagai penggertak terhadap AS, Korea Selatan dan Jepang.

Bukti Kekuatan Nasional?

Di samping itu ada juga kenaikan gengsi bagi pemerintah Korea Utara. Uji coba nuklir itu menjadi bukti kekuatan nasional. Kepala negara, Kim Jong Un yang masih muda juga dapat menampilkan diri sebagai tokoh kuat. Militer yang berperan besar juga bisa ditenangkan dengan senjata nuklir yang ibaratnya mainan kesayangan baru. Di dunia internasional, negara itu jelas dapat perhatian tambahan. Dalam perundingan dengan negara-negara lain soal bantuan materi dan pelonggaran sanksi, Pyongyang kemungkinan merasa posisinya tambah kuat.

Pyongyang rupanya mengambil risiko kehilangan satu-satunya negara sekutu, yaitu Cina. Secara ekonomi, Korea Utara sepenuhnya tergantung pada pasokan bahan pangan dan bahan bakar dari Cina. Hubungan antar kedua negara sudah mencapai titik nadir sebelum Korea Utara mengadakan tes senjata nuklir terakhir. Percobaan akhir Desember lalu saja sudah sangat membebani hubungan bilateral.

Unha 3, roket yang diluncurkan akhir Desember laluFoto: Reuters

Ketika Cina akhir Januari ikut mendukung resolusi 2087 dari Dewan Keamanan PBB, yang memperketat sanksi akibat uji coba roket, Korea Utara marah. Sebaliknya Pyongyang dituduh tidak berterimakasih atas upaya Cina yang berusaha memperlunak resolusi. Media milik pemerintah Cina, "Global Times" bahkan menyampaikan ancaman, "Jika Korea Utara mengadakan uji coba nuklir berikutnya, Cina tidak akan ragu untuk mengurangi bantuannya."

Tetapi itu hanya pendapat di dalam partai. Majalah Inggris, Economist mengutip Teng Jianqun dari Institut Studi Internasional di Beijing, yang menyebutkan adanya tiga kelompok. Kelompok pertama menganggap Korea Utara pengganggu ketenangan. Kelompok ini beranggapan, Cina harus berhenti mendukung Korea Utara dan menganggapnya masalah keamanan. Kelompok kedua beranggapan, Cina tidak berurusan dengan Korea Utara, dan harus dibiarkan mengurus urusannya sendiri. Kelompok ketiga menilai Korea Utara sebagai sekutu tua, yang layak mendapat bantuan Cina.

Konflik Cina

Cina terjerat dalam konflik menyangkut tujuannya. Di satu pihak, Beijing ingin adanya stabilitas di Semenanjung Korea, tapi di lain pihak mencegah ambruknya Korea Utara. Karena ambruknya negara itu akan menyebabkan gelombang pengungsi ke Cina, dan mungkin nantinya tentara AS akan berada di Cina untuk menjaga perbatasan dengan Korea. Di lain pihak, Cina ingin mendukung ambisi nuklir Korea Utara dan menampilkan diri secara internasional sebagai pendukung perdamaian.

Penguasa Korea Utara, Kim Jon Un (kanan) ketika bertemu dengan Wang Jiarui, kepala departemen internasional pada Partai Komunis Cina (02/08/2012)Foto: AP

Tetapi terutama, Cina tidak punya minat pada persaingan senjata nuklir di Asia Timur. Menurut pakar Korea Utara, Rüdiger Frank, itulah masalah yang paling besar. "Logikanya pasti begini: jika suatu negara punya tetangga, yang memiliki senjata nuklir, dan negara itu sendiri tidak punya, maka akan tercipta asimetri. Di Korea Selatan dan Jepang akan timbul desakan untuk mengenyahkan asimetri itu."

Uji coba nuklir terjadi di masa ketidakjelasan politik di Asia Timur. Baik di Cina maupun Jepang dan Korea Selatan, terjadi perubahan kekuasaan. Di tingkat Dewan Keamanan PBB, Cina kemungkinan akan memberikan reaksi seperti pada uji coba roket akhir Desember lalu. Dalam perundingan dengan AS, diplomat dari Beijing akan berusaha melunakkan sanksi hingga tidak merugikan Pyongyang. Tetapi Cina akan mendukung resolusi itu. Pyongyang akan bereaksi dengan memberikan ancaman-ancaman, serta akan berpegang pada haluannya. Sampai uji coba nuklir berikutnya diadakan.