1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BudayaKorea Utara

Korea Utara Tindak Keras Budaya Pop Kapitalis

6 Mei 2022

Beberapa warga Korea Utara menentang peraturan mode dan gaya yang ketat untuk melawan rezim. Ekspresi individualisme ini bisa membuat mereka kehilangan kebebasan.

Mode di Korea Utara
Orang Korea Utara hanya boleh berpakaian dan bergaya rambut yang 'disetujui'Foto: Cha Song Ho/AP/picture alliance

Korea Utara meningkatkan kampanye negatif terhadap orang-orang yang mengenakan pakaian gaya "kapitalis" atau meniru gaya rambut asing. Ini menjadi bagian dari tindakan keras yang diterapkan lebih luas terhadap budaya pop asing, menurut Daily NK, kantor berita yang berbasis di Seoul, Korea Selatan.

Rezim Korea Utara telah lama melarang pengaruh luar yang memengaruhi cara hidup sosialis mereka. Gaya rambut dan berpakaian para warga perempuan dan laki-laki di sana juga terbatas hanya pada daftar gaya rambut dan pakaian yang "disetujui".

Mengutip sumber-sumber di Utara, Daily NK mengatakan pejabat Liga Pemuda Patriotik Sosialis menyatakan bahwa pakaian olahraga dan rambut dalam "gaya Korea Utara" adalah elemen penting gaya hidup sosialis.

Warga Korea Utara yang melanggar aturan mode ini dapat ditahan, diinterogasi, dipukuli, dan dalam beberapa kasus, dipenjara. Daily NK juga melaporkan pihak berwenang merekam para perempuan yang dihentikan di jalan karena tidak mengikuti peraturan mode pemerintah dan menggunakan rekaman itu dalam pidato tentang perilaku menentang negara.

Satu video menunjukkan beberapa perempuan yang sepertinya berusia antara 20-an dan 30-an telah ditahan karena mengenakan legging ketat atau mengecat rambut mereka, menurut Daily NK. Komentar dalam rekaman tersebut menggambarkan para perempuan itu sebagai "berandalan kapitalis" dengan "pakaian tidak senonoh" dan "ideologi yang tidak murni."

Tidak bisa bebas berekspresi

Pembelot asal Korea Utara Eunhee Park mengatakan kepada DW bahwa Pyongyang berusaha untuk membasmi individualisme karena pilihan bebas berkontribusi pada oposisi terhadap rezim. Park membelot dari Korea Utara pada tahun 2012 dan menjadi pembicara utama pada kelompok advokasi Freedom Speakers International yang berbasis di Korea Selatan.

"Saya berusia 16 tahun ketika pertama kali melihat acara televisi asing, tetapi saya langsung menyukai apa yang saya lihat, kehidupan orang-orang itu sangat berbeda dengan apa yang saya lihat di sekitar saya di Korea Utara," kata perempuan berusia 31 tahun itu kepada DW.

"Kami diberitahu bahwa diktator Kim adalah ayah kami dan kami harus melakukan apa yang dia katakan, tetapi tiba-tiba saya melihat orang-orang menikmati kebebasan."

Park mengatakan ada "banyak pembatasan" dalam hal pilihan berpakaian dan bahwa "orang-orang hanya mengikuti perintah."

"Namun, saya percaya bahwa fesyen adalah ekspresi dari karakter seseorang dan saya ingin menjadi diri saya sendiri, tapi saya bahkan tidak bisa mengendalikan tubuh saya sendiri."

Jeans, rambut dicat, dan kosmetik semua itu adalah tabu di Korea Utara yang sebagian besar warganya mematuhi peraturan dikategorikan sebagai anggota masyarakat "merah" yang berarti setia. Namun, Eunhee Park dicap berwarna "abu-abu" atau pengkhianat.

Coba-coba gaya asing, lalu dipenjara

Perlahan-lahan, Park mulai menguji batas-batas apa saja yang kira-kira bisa diterima. Selama musim liburan, ketika jumlah polisi di jalanan lebih sedikit, dengan hati-hati ia memakai riasan dan anting-anting plastik murah dari Cina.

"Beberapa kali polisi melihat saya dan saya dipukuli karena apa yang saya kenakan," katanya. Selama tiga hari ia ditahan di kantor polisi dan dipaksa berulang kali menulis pengakuan atas "kejahatannya" ini.

Dia juga dipaksa berdiri diam hingga lewat tengah malam tanpa diberi makanan. Dia mengatakan, seorang petugas polisi juga pernah mengancam akan memotong rambutnya di depan umum. Tiap kali ditahan ia mampu membayar uang suap kecil untuk bisa kembali bebas.

Namun, salah satu temannya tidak seberuntung dia dan tidak bisa membayar suap setelah ketahuan mengenakan pakaian yang dilarang, kata Park. Dia dijatuhi hukuman kerja paksa selama sebulan dan dipaksa membantu pembangunan jalan pegunungan. 

Ideologi Kim "berpusat pada kesesuaian"

Greg Scarlatoiu, Direktur Eksekutif Komite Hak Asasi Manusia di Korea Utara, mengatakan kesesuaian sangat penting untuk melestarikan doktrin rezim.

"Gaya rambut dan pakaian yang tidak sesuai dengan spesifikasi rezim mencerminkan selera dan pilihan pribadi," ujar Scarlatoiu. "Ideologi rezim keluarga Kim berpusat pada konformitas dan bukan pada individualisme atau ekspresi individu," tambahnya.

Pada akhir 2020, sebuah undang-undang yang dirancang untuk menghapus "pemikiran dan budaya reaksioner" diberlakukan di Pyongyang. Lalu pada Juli 2021, berlaku undang-undang tentang pendidikan pemuda yang berusaha menghalangi kaum muda mengakses "budaya kapitalis."

"Rezim Kim Jong-un berusaha melarang program TV dan film asing diselundupkan ke negara itu karena itu semua bisa menantang monopoli informasi. Monopoli ini penting untuk menjaga agar rakyat Korea Utara tetap terindoktrinasi dan dapat ditundukkan," jelas Scarlatoiu.

Ia juga mengatakan bahwa lebih banyak warga yang dipenjara dan menjalani kerja paksa karena melanggar aturan rezim tentang penyimpangan dari norma sosialis.

Tetap yakin masa depan Korea Utara 'cerah'

Rekaman satelit dan laporan dari dalam Korea Utara menunjukkan bahwa populasi penjara meningkat tajam dalam tiga bulan terakhir tahun 2021 dan tiga bulan pertama tahun 2022. Beberapa warga juga telah dihukum karena melanggar aturan karantina, meskipun rezim bersikeras bahwa tidak ada satu pun kasus virus corona yang terdeteksi di negara itu.

Namun, Park tetap optimistis tentang prospek tanah airnya. "Berbagai hal menjadi lebih baik di Korea Utara," ujar Park. "Milenial di sana sangat berbeda dari generasi orang tua mereka dan mereka tumbuh bergantung kepada pasar gelap, yang pada dasarnya adalah bentuk kapitalisme."

"Dan ketika orang melihat bisnis berjalan, keinginan untuk memiliki hal-hal lain akan meningkat. Itu sangat wajar," tambahnya.

"Sistem pasar membantu orang untuk melihat apa yang mungkin, mereka menonton televisi asing dan mereka menganalisis diri sendiri dan pemerintah mereka. Ini akan perlu waktu, tapi saya yakin masa depan cerah."

(ae/yf)

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait