Masalah informasi palsu dan penyebaran disinformasi semakin membayangi kampanye pemilu di Korsel yang sudah tegang akibat perbedaan ideologi yang mendalam antara kedua partai utama.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk YeolFoto: KIM MIN-HEE/Reuters
Iklan
Kurang dari satu minggu menjelang pemilihan parlemen Korea Selatan pada 10 April, pihak berwenang berjanji untuk mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang mencoba mempengaruhi hasil pemilu, dengan menyebar disinformasi menggunakan deepfake kecerdasan buatan atau melakukan serangan siber terhadap proses pemilu.
Sebelum kampanye resmi dimulai pada tanggal 28 Maret lalu, Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan, NPA, menyebutkan, mereka meningkatkan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang merupakan upaya untuk melemahkan legitimasi pemilu.
Polisi dan petugas pemantau pemilu memang sudah sibuk jauh sebelum pemilu. Menurut berita kantor berita Yonhap, sampai 18 Maret lalu ada lebih 400 tuduhan aktivitas kriminal sehubungan dengan pemilu, dengan 676 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dari jumlah total kasus tersebut, 352 kasus melibatkan penyebaran informasi palsu, 72 kasus suap, dan 17 kasus terkait pelanggaran kampanye sebelum jadwal yang ditetapkan.
Pemimpin Oposisi Korea Selatan Ditikam di Leher
00:44
This browser does not support the video element.
Deepfakes AI untuk memanipulasi opini publik
Banyaknya pengusutan penyebaran informasi palsu menggarisbawahi kekhawatiran pihak berwenang. Baru-baru ini, sebuah video di YouTube menarik ratusan ribu pemirsa sesaat setelah ditayangkan. Video itu memperlihatkan presiden Yoon Suk Yeol bersulang di pernikahan penyanyi populer Lim Young-woong. Padahal Lim Young-woong belum menikah dan acara pernikahan itu tidak ada.
Pada awal Maret, NPA meluncurkan program pembelajaran mendalam yang menggunakan 5,2 juta data untuk menganalisis video guna menentukan apakah video tersebut nyata atau deepfake yang dihasilkan komputer. Prosesnya memakan waktu sekitar lima menit, kata polisi, dan memiliki tingkat akurasi sekitar 80%.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Korea Selatan adalah negara yang pertama kali mengadopsi banyak teknologi informasi dan memiliki tingkat penggunaan media sosial dan sumber berita alternatif yang sangat tinggi,” kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Ewha Womans University di Seoul. "Presiden Yoon telah sering memperingatkan bahwa disinformasi, termasuk deepfake yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, merupakan ancaman terhadap integritas debat publik dan pemilu yang adil,” katanya.
Potensi pengaruh asing dalam pemilu
Hyobin Lee, seorang profesor politik dan etika di Universitas Nasional Chungnam, mengatakan pemilu tahun ini "lebih serius dan kritis” dibandingkan pemilu sebelumnya. "Sebagian besar "fake news" disebarkan oleh kubu konservatif, terutama karena pendukungnya cenderung berasal dari generasi tua,” katanya kepada DW. "Kaum konservatif menerapkan strategi negatif terhadap lawan-lawan mereka untuk memperkuat basis mereka,” tambahnya.
"Di Korea Selatan, terdapat perpecahan yang mencolok antara sayap kiri dan kanan, dengan kecenderungan kuat untuk memandang pihak lawan sebagai 'musuh',” katanya. "Dalam konteks ini, berita palsu dibuat dan disebarkan secara diam-diam sebagai bagian dari strategi negatif dan sebagian besar berdampak pada generasi tua, yaitu mereka yang berusia 60 tahun ke atas.”
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Dua partai utama di Korea Selatan memang sedang bersaing keras, yaitu kubu konservatif Partai Kekuatan Rakyat PPP dipimpin Presiden Yoon Suk Yeol dan oposisi Partai Demokrat pimpinan Lee Jae-myung. Ada kekhawatiran mengenai potensi pengaruh pemerintahan asing yang mencoba mendukung partai tertentu. Baik Korea Utara maupun Cina, misalnya, diketahui lebih mendukung oposisi Partai Demokrat pimpinan Lee Jae-myung.
"Cina bisa dianggap pro-Lee, sedangkan Jepang pro-Yoon,” kata Profesor Hyobin Lee. "Mengingat pemerintahan Yoon sangat mendukung Jepang, dapat disimpulkan bahwa Tokyo ingin Yoon memenangkan pemilu, sedangkan Cina lebih memilih Lee dan oposisi.”
Namun, Kim Sang-woo, mantan politisi yang sekarang menjadi anggota dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung, yakin hasil pemilu akan ditentukan oleh kebijakan partai-partai yang bersaing, termasuk berbagai skandal yang meramaikan pemberitaan media.
"Pemilihan umum ini adalah kesempatan bagi rata-rata pemilih untuk memberikan penilaian terhadap dua tahun pemerintahan Yoon hingga saat ini, dan saya tidak terlalu percaya bahwa kebanyakan orang khawatir tentang deepfake atau informasi palsu,” kata mantan politisi Kim. "Saya pikir masyarakat sangat fokus pada kandidat dan kebijakan mereka."