1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKorea Selatan

Saluran Aduan Korsel Dukung Dokter Tolak Aksi Mogok Kerja

12 Maret 2024

Korea Selatan buka saluran aduan untuk mendukung para dokter yang menentang aksi mogok kerja, dalam rencana reformasi layanan kesehatan.

Protes para dokter di Korea Selatan
Para dokter berunjuk rasa untuk memprotes rencana pemerintah meningkatkan penerimaan mahasiswa baru fakultas kedokteranFoto: Ahn Young-joon/AP/picture alliance

Pemerintah Korea Selatan (Korsel) pada Selasa (12/03), membuka "hotline” atau saluran aduan untuk para dokter, yang menurut menteri kesehatan dimaksudkan untuk mendukung para dokter yang menghadapi pelecehan atau tekanan dari rekan-rekannya jika mereka memilih untuk tidak bergabung dengan aksi mogok massal atas rencana reformasi layanan kesehatan itu.

Menteri Kesehatan (Menkes) Cho Kyoo-hong membela reformasi, yang mencakup peningkatan jumlah mahasiswa sekolah kedokteran, sebagai hal yang bermanfaat bagi kondisi kerja dokter magang dan dokter residen, yang merupakan tuntutan utama dari hampir 12.000 dokter magang yang telah meninggalkan pos mereka.

Namun Cho menuduh beberapa dokter muda telah melecehkan para dokter lainnya yang memutuskan untuk tidak ikut serta dalam aksi mogok kerja atau yang berharap untuk bisa kembali bekerja.

"Pemerintah akan melindungi para dokter magang untuk dapat kembali bekerja dan tetap berada di samping pasien tanpa rasa khawatir," ujarnya dalam sebuah pertemuan pemerintah yang memantau aksi para dokter itu.

Sekitar 5.500 dokter yang melakukan aksi mogok kerja terancam ditangguhkan lisensi medis merekaFoto: Ahn Young-joon/AP Photo/picture alliance

Kritikus menuduh Presiden Korsel mencari keuntungan politik

Pada Senin (11/03), sekitar 5.556 dokter yang telah meninggalkan pos pekerjaan mereka, menerima pemberitahuan sebelumnya yang menyatakan bahwa pihak berwenang akan mulai menangguhkan lisensi medis para dokter itu jika mereka gagal untuk membenarkan tindakan mereka, kata Cho.

Para dokter yang ikut serta dalam perselisihan ini juga sangat vokal dalam memprotes rencana untuk meningkatkan penerimaan mahasiswa baru di sekolah kedokteran sebanyak 2.000 mahasiswa mulai 2025, dengan mengatakan bahwa hal tersebut hanya akan memperburuk kualitas pendidikan kedokteran dan tidak banyak membantu dalam meningkatkan gaji dan kondisi kerja.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pemerintah mengatakan bahwa paket reformasi ini juga mencakup rencana kenaikan gaji dokter di bidang-bidang krusial dan memastikan layanan medis juga layak tersedia di luar kota-kota besar.

Meningkatkan jumlah dokter mendapat dukungan publik yang kuat, meskipun para kritikus menuduh Presiden Korsel Yoon Suk Yeol memilih bertengkar mengenai reformasi medis itu demi keuntungan politiknya menjelang pemilihan parlemen pada bulan April mendatang.

Profesor ancam berhenti mengajar

Para profesor di sekolah kedokteran Universitas Nasional Seoul juga bertekad dalam sebuah pertemuan, untuk berhenti mengajar minggu depan jika pemerintah tidak mencari jalan tengah atas perselisihan ini.

Para profesor kedokteran itu juga mengancam akan turut bergabung dengan fakultas di rumah sakit pendidikan besar lainnya untuk turut mengambil tindakan. Langkah ini diambil di tengah adanya tanda-tanda berakhirnya aksi mogok kerja selama tiga minggu. 

Hingga saat ini, sebagian besar dokter praktik atau profesor sekolah kedokteran belum secara langsung bergabung dalam aksi protes tersebut.

Jin-Haeng Chung, profesor patologi di Universitas Nasional Seoul mengatakan bahwa para profesor kedokteran telah hampir mencapai titik puncaknya akibat beban kerja ekstra, namun mereka mendukung para peserta pelatihan.

"Sebagai profesor, kami tidak dapat meninggalkan mahasiswa kami ... ketika mereka berada di ambang menghadapi tindakan yudisial dan tidak dapat tetap berada di samping pasien di mana mereka seharusnya berada dan tidak dapat melakukan studi mereka," kata Chung.

Banyak dokter peserta pelatihan yang secara serius mempertimbangkan untuk berpraktik di luar negeri, menuju Amerika Serikat, Eropa atau tempat lain, yang memicu kekhawatiran akan terjadinya "brain drain” atau pengurasan sumber daya manusia, kata Chung.

kp/rs (Reuters)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait