1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korupsi dan Nepotisme Pemicu Huru Hara di Yunani

Sari Katiman10 Desember 2008

Tragedi politik paling parah di Yunani dalam beberapa hari terakhir ini dipicu korupsi dan nepotisme selama beberapa dekade.

Seorang demonstran siap melempar batu kepada satuan polisi anti huru-hara di Athena.Foto: AP


Kerusuhan di Yunani tetap menjadi sorotan dalam tajuk sejumlah harian internasional.

Harian Inggris The Times yang terbit di London berkomentar:

Krisis di Yunani saat ini dapat menimbulkan godaan untuk membuat karikatur dengan kata-kata yang berasal dari Yunani sendiri: Lethargi alias keputus asaan, Histeria, Paranoia, Maniak dan Anarki. Tetapi kata-kata ini sangat meremehkan tekad bulat bagian terbesar masyarakat Yunani, yang ingin menghentikan para perusuh serta tukang pukul dan pada waktu yang sama menuntut reformasi yang diperlukan di negara itu. Yunani mewariskan demokrasi ke seluruh belahan lain dunia. Di zaman modern ini demokrasi terganggu atau terlalu dibatasi, padahal tidak banyak tempat yang tersisa untuk orang-orang diluar lingkaran kecil ini. Sekaranglah waktunya untuk menghidupkan kembali demokrasi dan mendorong orang-orang yang berjasa ke puncak kekuasaan, untuk meraih dukungan para demonstran.


Harian Perancis Le Monde yang terbit di Paris berkomentar:

Keluarga-keluarga besar yang bergiliran memegang kekuasaan di Yunani, Karamanlis, Mitsotakis dan Papandreou serta pengikut-pengikutnya memperoleh keuntungan dari sistem yang ibaratnya penyiram air. Tapi yang memetik keuntungan dalam jangka panjang juga sebagian besar masyarakat Yunani. Masuknya Yunani menjadi anggota Uni Eropa dan globalisasi mengguncang hubungan tradisional ini. Dalam 20 tahun terakhir ini modernisasi di Yunani berlangsung sangat cepat, tapi tanpa melepaskan kebiasaan buruknya. Krisis ekonomi menghantam dengan amat keras. Para remaja semakin sulit mencari pekerjaan. Para mahasiswa tetap bertahan di universitas juga setelah 30 tahun kuliah, karena mereka tidak mau kembali saling bertemu di pasaran kerja.


Harian Belanda NRC Next yang terbit di Amsterdam berkomentar:

Krisis di Yunani terkait sangat erat dengan nama keluarga Perdana Menteri dan pemimpin oposisi. Dalam setengah abad terakhir ini kekuasaan di Yunani selama 27 tahun didominasi dua keluarga, yakni oleh Karamanlis dan Papandreou. Paman dari Perdana Menteri saat ini, memimpin pemerintahan pada tahun 1955 sampai 1963 dan kemudian pada tahun 1974 sampai 1980. Di tahun 60an, 80an dan 90an bapak dan kakek pemimpin oposisi saat ini, memegang jabatan Perdana Menteri keseluruhannya selama 13 tahun. Dua keluarga ini mempengaruhi politik Yunani yang ditandai dengan korupsi dan nepotisme. Jadi bukan kebetulan kalau Perdana Menteri Simitis dari kubu Sosial Demokrat, tokoh satu-satunya yang bebas dari dinasti penguasa Yunani, mampu melakukan langkah besar memodernisasi ekonomi dan tatanan sosial di negara itu.


Dan terakhir harian Jerman Tageszeitung yang terbit di Berlin berkomentar:

Tewasnya seorang pelajar Alexis Grigoropoulos merupakan sebuah titik balik. Karena dengan itu protes terhadap kesewenangan polisi berubah menjadi pemberontakan mayoritas warga terhadap sistem Hellas, yang rupanya sangat korup dan sekarang dipimpin Perdana Menteri Kostas Karamanlis. Pertanda dari sistem Hellas di Yunani adalah, hanya mereka yang memiliki nama keluarga yang tepat, yang dapat membangun karier politik. Sistem Hellas yang hanya dinikmati oleh anggota kasta tinggi politik tersebut, tidak memberikan perspektif politik. Karena itu jalanan Yunani berkobar. Seorang anggota polisi yang menjalankan kekuasaan negara, memicu krisis dalam negeri aktual di Yunani. Kepolisian Yunani yang menjadi simbol kekuasaan negara, kini harus menanggung akibat buruknya.