1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaKorea Utara

Korut dan Sepak Bola Putri: Kombinasi yang Sempurna

Jonathan Harding | Chuck Penfold
26 September 2024

Tim sepak bola putri Korea Utara raih gelar juara Piala Dunia U-20 untuk ketiga kalinya. Mengapa negara yang terisolasi ini justru sangat unggul dalam kompetisi bergengsi ini?

Final Piala Dunia Perempuan U-20 FIFA 2024 | Tim Korea Utara
Timnas putri Korut berhasil memenangkan Piala Dunia U20 untuk ketiga kalinya, bukti bahwa pendekatan strategis rezim berhasilFoto: Julian Medina/Sports Press Photo/IMAGO/

Tim nasional (timnas) muda sepak bola putri Korea Utara berhasil memenangkan Piala Dunia Perempuan U-20 untuk ketiga kalinya, menempatkan tim ini sejajar dengan timnas putri Jerman dan Amerika Serikat (AS), yang juga berhasil menjadi juara tiga kali dalam turnamen U-20 ini.

Pada 2024, tim putri Korea Utara juga berhasil memenangkan kejuaraan Asia U-17 dan U-19, sementara pada Oktober nanti, tim U-17 Korut akan berjuang untuk meraih gelar juara dunia ketiga mereka.

Apa yang membuat negara yang, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), "tidak memiliki padanan dalam dunia kontemporer" ini unggul dalam sepak bola mudanya?

"Olahraga internasional adalah salah satu dari sedikit cara untuk menunjukkan kedaulatan, eksistensi, dan identitas mereka kepada komunitas internasional. Jadi, keberhasilan besar semacam ini, dari sudut pandang korut, adalah kesempatan penting untuk mengibarkan bendera nasional mereka di hadapan audiens internasional," kata Dr. Lee Jung Woo, dosen senior Kebijakan Olahraga dan Rekreasi di Universitas Edinburgh, kepada DW.

"Pada saat yang sama, secara domestik, Korea Utara sering menggunakan olahraga sebagai alat propaganda untuk memuliakan para pemimpin mereka dan menunjukkan betapa hebatnya negara itu."

Strategi penuh kesadaran dan perencanaan

Sepak bola memang cukup populer di Korea Utara. Namun, mengingat kesenjangan menuju puncak peringkat dengan tim seniornya jauh lebih sulit, para pemimpin Korea Utara beralih ke tim muda sepak bola putri, di mana kesenjangan itu masih lebih mudah diatasi. Strategi ini bukan tentang jalur pembinaan, melainkan tentang bagaimana meraih kemenangan.

"Kesenjangan antara klub-klub yang sudah mapan dan yang sedang berkembang juga besar, karena di banyak negara Eropa, ada liga profesional, dan mereka mendapatkan lebih banyak dukungan dari berbagai pemangku kepentingan," kata Lee.

"Dalam sepak bola remaja, organisasi olahraga Eropa lebih menekankan kesenangan. Sementara di Korea Utara, bahkan jika Anda berusia 13 atau 14 tahun, mereka sudah mengikuti rezim pelatihan yang sangat disiplin, sistematis, dan profesional, sehingga pada usia dini mereka jelas lebih unggul."

Tahun ini dalam ajang Piala Dunia U-20 di Colombia strategi itu kembali terbukti sukses. Tim putri U-20 Korea Utara mampu mengalahkan Argentina 6-2 dan Kosta Rika 9-0, serta memenangkan tiga pertandingan berturut-turut dengan skor 1-0, sejak perempat final hingga memenangkan Piala Dunia, termasuk saat melawan AS.

Dengan bantuan Sekolah Sepak Bola Internasional Pyongyang, di mana para gadis muda itu dipilih, dikembangkan, dan dididik dengan pendekatan disiplin tingkat tinggi, Korea Utara melihat ada peluang dan mengambil kesempatan itu.

Choe II-son (berbaju merah) adalah pemain unggulan Korea UtaraFoto: Jose Pino/Sports Press Photo/IMAGO

Naikkan citra rezim dan hadiah kualitas hidup yang terjamin

Dalam pandangan Korea Utara, prestasi ini juga merupakan kemenangan bagi rezim komunis di negara itu.

"Kita harus ingat bahwa Korea Utara masih mempertahankan rezim sosialis dan komunis yang sangat kuat," jelas Lee. "Khususnya di bawah Kim Jong Un, mereka berusaha membandingkan rezim kapitalis dan komunis, serta menunjukkan bahwa rezim komunis lebih unggul dari kapitalis. Ketika saya melihat beberapa laporan berita tentang penampilan mereka di media Korea Utara, banyak media menyoroti bahwa karena tim berada di bawah rezim komunis, tim akan melakukan apa saja, bahkan jika mereka harus kelelahan secara fisik.”

"Lalu mereka juga membandingkan mentalitas itu dengan negara-negara kapitalis. Dalam kapitalisme, ketika atlet kelelahan secara fisik dan cedera, tidak mungkin mereka tampil. Pelatih harus mengganti pemain yang cedera. Namun dalam sistem sosialis, tekad mereka lebih penting daripada pendapat profesional dari pelatih atau staf medis. Jadi Korea Utara membingkai itu sebagai sistem yang superior."

Elemen psikologis juga tampaknya memberikan keunggulan bagi tim putri Korut. Namun, di balik patriotisme yang kuat dan penerapan disiplin selama bertahun-tahun, ada motivasi lain berupa incaran hadiah yang dapat mengubah kualitas hidup pemain.

"Meski kita sering melihat Korea Utara sebagai negara yang terbelakang, negara pertanian, dan masyarakatnya mengalami kesulitan hidup, mereka yang tinggal di Pyongyang sangat berbeda. Mereka bisa dibilang istimewa," jelas Lee.

Sebagai insentif, rezim dapat memberikan pemain yang tinggal di luar ibu kota, sertifikat tempat tinggal di ibukota yang diperlukan untuk masuk ke Pyongyang. Pada saat yang sama, banyak pemain juga telah diberi hadiah apartemen.

Motivasi ini tidak bisa dianggap remeh. Hidup di pedesaan bagi warga Korut itu sangatlah sulit. Mereka banyak kekurangan pangan dan layanan kesehatan yang kurang memadai. Sementara, tinggal di kota besar seperti Pyongyang sangatlah berbeda.

"Ini adalah cara untuk mengubah hidup mereka. Seperti memenangkan lotere dalam beberapa hal," jelas Lee.

Bagaimana nasib generasi muda berbakat ini?

Setelah penampilan luar biasa Choe Il-son, pemain sepak bola putri berusia 17 tahun yang meraih penghargaan sebagai pemain terbaik dan pencetak gol terbanyak, muncul pertanyaan: Tim mana dari Women Super League (WSL( atau National Women’s Soccer League (NWSL) yang akan mencoba untuk merekrut dia?

"Saya tidak berpikir itu mustahil, tetapi tidak mudah," kata Lee tentang kemungkinan Choe Il-son bermain di luar negeri.

"Pertama-tama, ada sanksi ekonomi yang kini diterapkan kepada Korea Utara," tambahnya. "Dan juga, setiap kali pemain Korea Utara bergabung dengan liga Eropa, misalnya ada beberapa atlit bermain di olahraga basket, gaji mereka tidak dikirimkan ke akun pribadi pemain, tetapi justru ke akun pemerintah Korea Utara, jadi saya pikir itu ada kerumitan lain yang terjadi."

Meski tim muda ini banyak dibicarakan, namun seperti juganegara mereka, banyak hal tetap menjadi misteri, dan tidak dapat disangkal bahwa kesuksesan generasi muda ini akan selalu menjadi bagian dari sebuah rencana.

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait