Lima puluh rumah berukuran 28 meter persegi yang pernah jadi tempat tinggal sementara para pengungsi ditawarkan mulai harga 1.000 euro (Rp 16 juta rupiah) per unit.
Iklan
Rumah berbentuk kotak ini dibeli pada masa puncak krisis pengungsi pada tahun 2015, tetapi kini rumah-rumah itu tidak lagi dipakai, demikian tulis koran Süddeutsche Zeitung.
Banyak orang tertarik dengan iklan ini, namun sayangnya iklan akhirnya harus ditarik hanya 48 jam setelah tayang di situs Ebay yang berminat sudah terlalu banyak..
"Respon masyarakat pada hari pertama sangat besar, kami dapat sekitar 100 penawaran," kata Daniel Posselt, juru bicara Unit Koordinasi Pusat untuk Pengungsi. "Minat datang dari seluruh Jerman."
Iklan itu menyebutkan kalau rumah yang bangunannya terbuat dari kayu ini bisa dipakai untuk pesanggrahan, sanggar kerja, studio olahraga dan yoga juga tempat bermain.
Aslinya, rumah itu dibangun dengan biaya sebesar 23.000 euro (Rp 383 juta) per unit.
"Semua pihak yang menyatakan ketertarikannya akan mendapatkan jawaban, tapi ini butuh waktu lama," kata pihak berwenang lewat Twitter.
Di antara pihak yang tertarik membeli ada satu paroki gereja, yang tertarik untuk membeli 20 rumah dan tetap menggunakannya untuk menampung pengungsi.
Foto Realitas Kehidupan di Kamp Pengungsi Eropa
Fotografer Herlinde Koelbl melakukan perjalanan ke kamp-kamp pengungsi di Eropa pada tahun 2016 untuk mencari gambar yang belum pernah dilihat dunia. Hasilnya adalah kumpulan foto pedih.
Foto: Herlinde Koelbl, Foto: DW/H. Mund
Kehidupan sehari-hari pengungsi
Fotografer Herlinde Koelbl mengambil foto ini di Sisilia, Italia, di mana ribuan pengungsi, kebanyakan dari Afrika, mendapat bantuan begitu mereka tiba di Eropa. Ada yang beristirahat di pusat penerimaan awal sementara, sementara yang lain menunggu di bis. Keriuhan media telah berlalu, saat orang ini menuju ke toilet. Koelbl kebetulan berada di dekatnya dan menangkap gambar itu.
Foto: Herlinde Koelbl
Di Balik layar
Banyak gambar telah diterbitkan tentang pengungsi yang kebingungan setelah diselamatkan dari kapal penuh sesak dan diberi jaket pelampung. Namun, gambar dari apa yang terjadi di balik layar sangat sedikit. Herlinde Koelbl mencari tema yang tidak biasa dan sering menemukan gambar yang menceritakan kisah mereka sendiri lewat gambar itu.
Foto: Herlinde Koelbl
Perjalanan ke Eropa
Pakaian mengapung di air di pantai Mediterania, melayang dari pantai ke pantai. Tidak ada yang tahu apakah orang-orang memakai pakaian ini selamat dari perjalanan berbahaya melintasi lautan, atau apakah mereka termasuk di antara ribuan orang yang tenggelam.
Foto: Herlinde Koelbl, Foto: DW/H. Mund
benteng barikade
Perbatasan luar negara-negara Eropa diperkokoh militer dengan kawat berduri dan kadang-kadang terdapat tank untuk memastikan tidak ada yang lewat perbatasan. Koelbl kunjungi beberapa pos terdepan ini dan menemukan bahwa bahkan dalam rintangan seperti itu, para pengungsi berusaha untuk bertahan. Beberapa tinggal di tenda kecil yang dipasang di tanah dan menggantung cucian mereka di kawat berduri.
Foto: Herlinde Koelbl, Foto: DW/H. Mund
5 x 5 meter di Jerman
Ruang-ruang yang terhubung membentuk jaringan tempat tinggal yang lebih luas, tempat penampungan darurat ini terletak di pusat penerimaan pengungsi Jerman. Paling tidak, ruang-ruang tersebut menawarkan privasi lebih daripada tenda sementara yang compang-camping di kamp-kamp di Yunani atau Macedonia, kata Koelbl.
Foto: Herlinde Koelbl
Sejarah fotografi bermotif politik
Perhentian pertama pameran foto Koelbl adalah Gedung Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin. Gambar ini menunjukkan sang fotografer, yang awalnya bekerja sebagai perancang busana, pada saat pembukaan pameran foto. Herlinde Koelbl terkenal melalui proyek-proyek foto politik sebelumnya, di antaranya "Jejak Kekuasaan".
Foto: Matthias Nold
Komitmen jangka panjang
Herlinde Koebl hanya berfokus pada satu subyek selama periode waktu yang panjang. Beberapa foto sebelumnya dapat ditemukan pada pameran di Berlin Museum of Communication dalam rangkaian foto "Silent Mail: From Hearing and Understanding." Pameran "Pengungsi" ini dipajang di Litaraturhaus München bulan Mei 2017 dan juga dipamerkan di New York. (Ed: Heike Mund /ap/yf)
Foto: DW/G. Schließ
7 foto1 | 7
Sementara itu, sebuah perusahaan sedang mempertimbangkan untuk membeli 10 unit bagi para pekerja konstruksinya.
Pekerja sosial Stephan Karrenbauer dari majalah jalanan Hinz und Kunzt mengatakan dia berharap rumah itu bisa juga dipakai untuk menampung tuna wisma.
Ongkos transportasi mahal
Rumah-rumah berusia tiga tahun ini berlokasi di Jenfelder Moorpark dan tadinya dibuat untuk menampung para pengungsi.
Namun jumlah pengungsi yang datang ke Hamburg menurun drastis dari 10.000 orang per bulan di tahun 2015, hingga ke hanya 400 orang kini. Ini berarti akan banyak akomodasi yang tidak terpakai.
Meski kecil dan berbentuk sederhana, rumah ini dilengkapi dengan sistem yang membuatnya tahan terhadap cuaca dan musim dingin.
Sistem isolasinya berfungsi baik serta memiliki pemanas, listrik dan pasokan air panas. "Jadi ini sama sekali bukan gubuk," kata Posselt.
Meski penawaran dimulai dari harga 1.000 euro, penjual mengajukan dua syarat utama bagi pembeli, yakni pembeli memiliki izin bangunan dan harus menanggung ongkos transportasi.
Untuk memindahkan bangunan kayu butuh transporter beban berat dengan derek besar. Transportasi ini di Hamburg diperkirakan menelan biaya antara € 3.000 (Rp 50 juta) hingga € 5.000 (Rp 83 juta), kata Posselt.
Pemeran Utama bagi Solusi Krisis Pengungsi
Krisis pengungsi di Eropa kini capai titik tergawat. Jerman dengan politik Pintu Terbuka dipuji sekaligus dikritik picu arus migran tak terkendali. Inilah aktor utama yang bisa jadi solusi krisis pengungsi Eropa.
Foto: DW/D. Cupolo
Angela Merkel, Jerman
Kanselir Jerman, Angela Merkel dipuji sekaligus dikritik tajam dalam krisis pengungsi. Kini arus pengungsi ke Jerman memang turun. Tapi itu bukan hasil politik Merkel, melainkan karena 10 negara lain sudah menutup pintu perbatasannya. Politik pintu terbuka Merkel dinilai bisa runtuhkan Uni Eropa, jika dalam waktu dekat tidak bisa tercapai kesepakatan politik bersama Eropa.
Foto: Reuters/F. Lenoir
Jean-Claude Jüncker, Uni Eropa
Presiden Komisi Eropa yang juga PM Luxemburg, Jean-Claude Jüncker menjadi sasaran kritik anggota Uni Eropa, karena ragu dan tidak tegas menangani krisis pengungsi. Informasi gelombang pengungsi yang siap masuk Eropa sudah diberikan dinas rahasia awal tahun silam. Tapi Uni Eropa tidak bertindak tepat dan biarkan krisis berlarut. Kini Jüncker harus mainkan peran kunci dalam KTT pengungsi.
Foto: Reuters/V. Kessler
Werner Faynmann, Austria
Kanselir Austria Werner Faymann adalah tokoh utama yang mengritik tajam kebijakan pintu terbuka Jerman yang sebelummya tidak dikonsultasikan matang dengan negara tetangga. Austria kewalahan terima serbuan pengungsi yang ingin masuk Jerman. Faynmann menggelar konferensi dengan 10 negara Balkan dan negara lain di rute pengungsi serta memaksa untuk penetapan batasan maksimal kuota pengungsi.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Punz
Alexis Tsipras, Yunani
Realita bahwa Yunani jadi korban utama kebijakan Jerman tak bisa ditutupi. Jutaan pengungsi dari Suriah, Irak, Afghanistan dan negara lainnya terus mengalir ke Yunani via Laut Tengah. PM Yunani Tsipras mengeluh, negaranya yang masih dirundung krisis berat, tanggung beban tak adil dalam krisis ini dan makin kewalahan tangani pengungsi. Yunani kini kirim balik sebagian pengungsi ke Turki.
Foto: Reuters/A.Konstantinidis
Ahmet Davutoglu, Turki
PM Turki Ahmet Davutoglu adalah tokoh utama lainnya dalam solusi krisis pengungsi. Uni Eropa sudah tegaskan, kerjasama dengan Turki adalah tema sentral. Tapi taruhannya amat tinggi. Turki dnjanjikan kompensasi 3 milyar Euro. Presiden Turki, Erdogan yang lebih berkuasa dibanding Davutoglu lecehkan janji bantuan Uni Eropa terlalu kecil. Ia juga ancam kirim gelombang tsunami pengungsi ke Eropa.