Kota Jerman Tolak Pembangunan Masjid Lewat Referendum
23 Juli 2018
60 persen pemilih di Kaufbeuren dalam sebuah referendum menolak pembangunan masjid baru di kotanya. Masjid itu tadinya akan dibangun di kawasan seluas 5000 m2 oleh yayasan Turki DITIB.
Iklan
Dalam referendum hari Minggu (23/7), 59,6 persen pemilih menentang penyediaan lahan publik untuk pembangunan masjid DITIB yang baru. Yayasan yang dibiayai oleh pemerintah Turki itu tadinya bermaksud membangun masjid dan pusat Islam di kawasan seluas 5000 m2.
Setidaknya 45 persen dari sekitar 34.000 pemilih mengambil bagian dalam referendum itu. Minimal dibutuhkan 20 persen suara pemilih agar referendum itu sah. Pemerintah kota sekarang harus menghentikan negosiasi dengan DITIB yang sedang berjalan.
Menurut laporan kelompok "Mehr Demokratie", sebelumnya hanya ada satu referendum serupa di Jerman, yaitu dari tahun 2002. Ketika itu, mayoritas pemilih di kota Schlüchtern memberikan suara setuju untuk pembangunan masjid.
Tidak jelas, siapa yang memulai
Siapa yang memprakarsai referendum ini tidak terlalu jelas. Petisi itu tercatat atas nama pensiunan polisi Werner Göpel. Dia mengatakan telah memulai prosedur petisi karena takut terjadi "Islamisasi" di kotanya.
Namun menurut laporan media, partai ultra kanan AfD mengaku berada di belakang referendum itu. Tapi Werner Göpel membantah pernyataan AfD dan menerangkan, dia memang kenal beberapa politisi AfD, namun referendum itu diprakarsainya sendirian saja.
Walikota Kaufbeuren Stefan Bosse (CSU) menjelaskan bahwa "jumlah pemilih yang berpartisipasi sangat tinggi" dan ini menunjukkan bahwa orang-orang memang menganggap tema itu penting.
Mengenal Islam di Jerman
Para intelektual Muslim muda Indonesia mendapat kesempatan menilik lebih dekat kehidupan umat Islam di Jerman. Ada sekitar 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. Ikuti jejak perjalanan mereka berikut:
Foto: Oki Setiana Dewi
"Life of Muslims in Germany"
Ada 14 orang yang mengikuti program wisata belajar yang digagas Goethe-Insitut dan Universitas Paramadina itu. Selama dua pekan, para peserta diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim dan mengenal sejarah Jerman lebih dekat. Para peserta memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari dunia akademisi, seperti dosen/peneliti, guru pesantren & mahasiswa, dan pekerja industri kreatif.
Foto: Oki Setiana Dewi
Menelisik Sejarah Jerman
Perjalanan mereka dimulai di Berlin, dimana para peserta diperkenalkan lebih dahulu dengan sejarah dan politik Jerman. Oki Setiana Dewi (foto) berada di salah satu lokasi tembok yang dulu memisahkan Jerman Barat dan Timur. Bintang film reliji ‘Ketika Cinta Bertasbih" yang juga merupakan kandidat doktor Pendidikan Agama Islam tersebut memperlihatkan seperti apa penampakan Tembok Berlin dulu.
Foto: Oki Setiana Dewi
Jejak Islam di Jerman
Museum Seni Islam pada kompleks museum Pergamon Berlin ini menjadi salah satu tempat yang berkesan bagi para peserta. Di tempat ini para peserta turut menikmati koleksi karpet Ottoman dari Persia. Tak hanya seni dari Persia, museum yang didirikan tahun 1904 itu juga menyimpan koleksi peninggalan peradaban kuno dari Suriah dan Arab.
Foto: Oki Setiana Dewi
Keliling Jerman
Tak hanya di Berlin, para peserta juga berkesempatan mengunjungi beberapa universitas di Jerman yang memiliki Program Studi Islam. Dengan menggunakan kereta cepat, para peserta berangkat dari Stasiun Kereta Berlin menuju kota Göttingen dan Frankfurt.
Foto: Oki Setiana Dewi
Laboratorium Ilmu Islam
Di Univesitas Göttingen, para peserta 'study-tour' mengunjungi Insitut Studi Arab dan Islam. Program studi ini menggali lebih dalam seluk beluk teologi dan filsafat Islam selama periode klasik serta sastra dan budaya Timur Tengah. Para peserta pun dapat langsung bertukar pikiran dengan Professor Fritz Schultze yang merupakan ahli Asia Tenggara, terutama Manuskrip Malay. (ed: ts/rzn)
Foto: Oki Setiana Dewi
5 foto1 | 5
Masjid lama sudah terlalu kecil
"Saya percaya bahwa diskusi di sini terlindas oleh isu besar seperti hubungan dengan Turki dan masalah migrasi," katanya.
Ketua DITIB Kaufbeuren Osman Öztürk mengatakan dia "terkejut" dengan hasil referendum, namun harus menerimanya. Sekarang, DITIB sedang mencari lahan milik pribadi untuk dibeli sebagai lokasi masjid. Dia mengatakan, permohonan warga Muslim itu sebelumnya mendapat dukungan cukup besar dari para tetangga mereka dan gereja-gereja lokal.
DITIB ingin membangun masjid baru karena masjid yang sekarang di daerah perumahan sudah terlalu kecill. Pemerintah Kota Kaufbeuren lalu memutuskan memulai negosiasi dengan DITIB, setelah dewan kota November 2017 menyetujui rencana itu.
Menyusuri Jejak Islam di Jerman
Beragam masjid dan komunitas Islam, sebagian kecil tempat menarik yang dikunjungi 14 intelektual Muslim Indonesia saat studi trip "Life of Muslims in Germany". Lokasi mana saja yang mereka singgahi? Berikut rangkumannya.
Foto: Privat
Singgah di Masjid Indonesia
Masjid Al-Falah, nama masjid milik warga Indonesia yang terletak di Berlin. Masjid yang dikelola Indonesische Weisheits und Kulturzentrum (IWKZ) dulunya merupakan pub. Para Intelektual muda yang mengikuti study trip Goethe tersebut tiba tepat Sholat Jumat sehingga bisa menikmati kuliner indonesia yang dijual untuk membiayai operasional masjid. Tiap tahun 4000 Euro harus dikumpulkan secara swadaya.
Foto: DW
Mengapa Warga Indonesia Berbeda?
Ketua IWKZ Dimas Abdirama menceritakan bahwa kegiatan di Masjid lebih berfokus sebagai ruang belajar bagi mahasiswa. "Dibandingkan pendatang lainnya, kita mempunya daya pikat kepada pemerintah Jerman yang membutuhkan banyak tenaga ahli," ujar ahli bioteknologi medis itu. Ada sekitar 4000 mahasiswa Indonesia studi di Jerman. Potensi ini menurut Dimas membuat orang Indonesia mudah diterima.
Foto: DW
Melihat Toleransi di Neukölln
Lewat program "Life of Muslims in Germany", 14 kaum intelektual muda Indonesia tidak hanya diajak berkenalan dengan Muslim Indonesia. Mereka juga diajak ke Neukölln untuk melihat bagaimana umat Muslim dari beragam aliran dapat hidup berdampingan. Masjid Al-Salam NBS milik aliran Sunni itu menurut Syekh Muhammad Thaha tidak hanya digunakan sebagai tempat keagamaan tapi juga kegiatan kemanusiaan.
Foto: DW/K. Salameh
Masjid yang Terbuka
Meski mayoritas umatnya adalah Sunni, namun menurut Syekh Thaha, masjid Al-Salam terbuka untuk seluruh jamaah, termasuk Syiah. "Kami tidak memaksakan ajaran tertentu, siapapun bisa datang ke masjid ini,"katanya. Masjid ini juga terbuka bagi seluruh warga Jerman yang ingin mengenal Islam atau warga imigran yang ingin belajar bahasa Arab.
Foto: DW
Alevi, Minoritas yang Mudah Diterima
Di Jerman, mayoritas umat Islam adalah Sunni (74%), namun di posisi ke dua ditempati kelompok asal Turki bernama Alevi (13%). Menurut Claudia Dette, pemandu perjalanan kami, Alevi kelompok yang paling mudah berintegrasi setelah Ahmadiyah. Rahasianya menurut Kadin Sahir adalah karena Syariah bagi Alevi adalah tunduk mengikuti konstitusi yang ada di negara di mana mereka berada.
Foto: DW
Masjid Dalam Gereja
Ibn-Ruysd Goethe, "Masjid Liberal" yang mengakui imam perempuan di Jerman dan terletak di gereja turut disambangi rombongan. "Masjid ini hadir sebagai bentuk protes atas paham ekstrimis di Jerman. Mereka menyebut diri liberal untuk memahami Islam pada konteks sekarang. Pada titik ini mungkin kita bisa sepakat dalam rangka mengaktualkan Islam," kata Ahmad Muttaqin, salah seorang peserta study trip.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Menangkal Radikalisme Lewat Masjid
Sebanyak 50,6% 2,2 juta umat Islam di Jerman memiliki latar belakang keturunan Turki, itulah sebabnya di salah satu masjid terbesar milik warga Turki di Berlin, masjid Sehitlik, program yang ditawarkan lebih khusus lagi. Para peserta yang disambut Pinar Cetin, pemimpin Bahira menjelaskan organisasinya bertugas untuk melakuan konsultasi demi mencegah anak muda Muslim terhindar dari paham radikal.
Foto: DW
Mari Belajar Bersama
Tak melulu mengunjungi masjid. Peserta "Life of Muslims in Germany" juga singgah ke lembaga swadaya Morus14. Sebanyak 100 sukarelawan dari berbagai latar belakang budaya dan kelompok meluangkan waktunya mendampingi dan mengajar anak-anak berlatarbelakang imigran. Program seperti ini bertujuan untuk menanggulangi masalah integrasi yang kerap menjadi pekerjaan besar di Jerman.
Foto: DW
Merawat Ingatan
Beberapa museum yang dikunjungi terkait dengan Islam, namun di Museum The Story of Berlin, para peserta berkenalan dengan sejarah Jerman. Kisah Jerman Barat dan Timur serta diskirimasi di era NAZI jadi pengingat bagaimana perbedaan dapat memicu konflik. "Kita kerap melihat sejarah hal yang jauh dari kehidupan. Sementara bagi mereka sejarah hidup bersama kita sekarang," kata Heychael berkomentar.
Foto: DW
Mudah dan Nyaman
Selama berkeliling di Berlin, para peserta hilir mudik menggunakan beragam alat transportasi, seperti kereta bawah tanah. Jadwal yang teratur serta tempat yang nyaman menjadi pengalaman berbeda yang didapat bila dibandingkan dengan transportasi di tanah air. Tak sedikit yang terheran-heran ketika mengetahui sebagian besar tahanan di Berlin justru penumpanjg yang tertangkap tidak membeli tiket.
Foto: DW
Life of Muslims in Germany
Selama hampir 2 minggu, 14 intelektual muda Muslim Indonesia dari berbagai latar belakang komunitas Islam dan profesi di Indonesia tersebut diajak merasakan seperti apa kehidupan umat Muslim di Jerman. Lewat study trip "Life of Muslims in Germany" yang digagas Goethe Insitut Indonesia, peserta dapat mengenal kebijakan Jerman atas 4,7 juta warga Muslim yang hidup di negeri itu. (ts/rzn) Ed:ap