Pengamat tata kota Marco Kusumawijaya mengingatkan, modernitas bukan sekedar materi, tapi kesadaran lingkungan, keadilan kemanusiaan dan kualitas hidup.
Iklan
Indonesia sedang mengalami pertumbuhan kaum kelas menengah yang sangat pesat. Secara kuantitatif tidak istimewa. Ada hal lebih penting selain jumlah: keragaman sosial budaya. Di masa Suharto, kelas menengah Indonesia identik dengan keluarga pegawai negeri sipil (PNS), perwira menengah militer, dan para pedagang. Semuanya sangat tergantung kepada kontrak negara.
Kini kelas menengah Indonesia lebih banyak yang "independen": pemasok yang tidak tergantung pada kontrak pengadaan barang dan jasa untuk negara, karyawan industri barang dan jasa swasta, profesional berbagai bidang yang melayani masyarakat secara langsung, seniman yang bahkan karyanya tidak tergantung pada akusisi negara.
Yang menonjol juga latar belakang etnis kaum menengah itu kini beragam. Dulu pedagang hampir identik dengan "keturunan Tionghoa" di sebagian Indonesia. Sekarang tidak lagi. Sementara itu teknologi informasi mengubah pasar menjadi lebih besar dan mudah dijangkau untuk konsumsi maupun produksi.
Kelestarian ibukota
Kota Jakarta yang berpredikat ibukota, tentu berada paling depan dalam hal itu, sama seperti dalam banyak hal lainnya. Inilah yang bagaimanapun masih dan makin harus menjadi perhatian utama dalam menata (bukan hanya membangun) Jakarta sekarang, justru untuk masa depannya.
Kita perlu khawatirkan bukan kuantitas pertumbuhan, tetapi keberlanjutannya yang sehat. Hal itu sangat tergantung pada kualitas pertumbuhan dari awal. Yang harus tumbuh bukan hanya pendapatan dan pengeluaran kelas menengah yang kemudian secara terlalu mudah disalurkan di pusat-pusat belanja.
Yang harus dikhawatirkan adalah kelestarian kota sebagai sistem yang tergantung pada kohesi sosial internalnya dan metabolisme dengan sekitarnya. Yang pertama tergantung pada keadilan sosial dan peningkatan terus menerus kemampuan manusianya sebagai warga, yang kedua tergantung pada jasa lingkungan berupa air, udara dan pangan.
Karena itu, kebijakan dan program pembangunan perkotaan sebenarnya sangat sederhana dan harus sekaligus inklusif (tak boleh ada yang ditumbalkan) dalam memulihkan lingkungan dan memberdayakan warganya. Semuanya sekaligus secara progresif, bukan sekedar "dipertimbangkan" atau "kena dampak sekecil mungkin". Semuanya adalah kepentingan nasional yang paling tinggi.
Mayoritasnya kaum miskin – kelas menengah
Sebagai contoh, yang perlu tinggal di pusat kota justru mayoritas penduduk kota, yaitu setidaknya 80%nya, dari yang miskin sampai kelas menengah. Merekalah yang kehidupan sehari-harinya menentukan produktivitas ekonomi dan reproduktivitas sosial-budaya Jakarta, bila menghuni pusat kota dengan vitalitas.
Ahok dan Penggusuran
Pemerintah ibukota terus lakukan penggusuran. Di tengah aksi penolakan warga, pemerintah DKI Jakarta menggusur Pasar Ikan Luar Batang di Jakarta Utara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Ribuan Aparat Diturunkan
Meski diwarnai protes, pemerintah DKI Jakarta tetap lakukan penertiban bangunan di zona satu dan zona dua kawasan Pasar Ikan Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara. Lebih 4000 aparat gabungan Polda Metro Jaya TNI dan satuan pamong praja diturunkan ke lokasi. Untuk antisipasi demonstrasi, petugas juga membawa water cannon.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kericuhan Pecah
Petugas memperingatkan warga sebelum mesin-mesin berat meluluhlantakkan perumahan nelayan di Luar Batang. Penduduk tak mau menyerah begitu saja. Sebagian berusaha pertahankan rumah mereka dan berdiri menantang petugas, sebelum pada akhirnya petugas tetap hancurkan rumah mereka.
Foto: Reuters/Beawiharta
Warga Berhadapan dengan Petugas
Warga yang menentang penggusuran tampak berhadap-hadapan dengan petugas. Menurut Pemprov DKI Jakarta dari total 240 kios yang ada di dekat kawasan Museum Bahari itu, sekitar 100 kios di antaranya justru dijadikan tempat tinggal. Pemprov DKI juga mengatakan, setelah akuarium raksasa dipindahkan ke Ancol, banyak warga memasuki lokasi ini.
Foto: Reuters/Beawiharta
Nasib Pemukim Dipertanyakan
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan tidak akan meratakan seluruh bangunan di sekitar Museum Bahari-Pasar Ikan, melainkan mengembalikan konsep kios di Pasar Ikan Luar Batang seperti zaman kolonial Belanda dahulu. Namun bagaimana nasib para pemukim ini kemudian?
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemana Mereka Pergi?
Tampak warga menggotong barang miliknya, ketika alat berat mulai meratakan bangunan yang dikategorikan ilegal di Luar Batang 11 April 2016.
Foto: Reuters/Beawiharta
Hujan Kritikan
Kebijakan penggusuran yang dilakukan pemprov DKI Jakarta mendulang kritik, di antaranya dari Konsorsium Masyarakat Miskin Kota (Urban Poor Consortium-UPC), yang melihat rakyat kecil selalu menjadi korban, dengan alasan menempati tanah negara. Padahal menurut UPC, banyak oknum di pemerintahan yang menjual lahan kepada warga, namun pemerintah tidak menindak oknum-oknum tersebut.
Foto: Reuters
Sebelumnya Kalijodo
Akhir Februari lalu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama melakukan penggusuran kawasan Kalijodo, guna kembalikan fungsi lahan. Warga terkejut karena merasa kurangnya sosialisasi. Warga yang punya KTP disediakan rumah susun, sementara yang tak punya KTP ditawarkan pulang ke kampung halaman. Pemerintahan Ahok juga menggusur warga di kolong tol Pluit.
Foto: Reuters/Antara Foto/W. Putro
Penggusuran demi Penggusuran
Sebelumnya juga telah dilakukan penggusuran di beberapa wilayah lain, seperti Bukit Duri, Jakarta Selatan yang ingin dibuat tanggul. Lalu Kampung Pulo, Jakarta Timur yang merupakan langganan banjir. Mei 2015, pemprov DKI juga melakukan penggusuran di kawasan bantaran Ancol, Pinangsia.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
8 foto1 | 8
Apa yang terjadi sekarang adalah sebaliknya: Tiap generasi hidup makin jauh dari generasi sebelumnya, makin ke pinggir kota ikut urban sprawl. Pusat-pusat kota Jakarta perlu revaluasi ruangnya, meningkatkan Koefisien Lantai Bangunan (KLB, FAR = Floor Area Ratio) dari rata-rata 2 menjadi 3 atau 4, terutama di kampung-kampung, sehingga kepadatan manusianya akan didukung dengan kepadatan ruang terbangun dan infrastruktur yang lebih banyak dan baik. Jangan sebaliknya menggusur orang dan menambah luas lahan, apalagi dengan reklamasi, hanya atas dasar pikiran linier bahwa pertumbuhan penduduk memerlukan perluasan lahan.
Pertumbuhan bukan hanya pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran (yang hanya akan menghasilkan inflasi harga barang dan nilai diri), tetapi juga pertumbuhan kualitas aset dan manusia-warga, yang menumbuhkan kreativitas yang menjadi dasar antara lain bagi produktivitas.
Keadilan sosial perlu diperhatikan
Syaratnya adalah peningkatan kualitas aset terdasar suatu bangsa-negara: Tanah, air dan udara (lingkungan) dalam arti seharfiah mungkin. Kualitas manusia bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai masyarakat. Karena itu keadilan sosial menjadi prasyarat pula.
Suatu masyarakat tak mungkin sehat lestari kalau di dalamnya tidak ada keadilan. Semua ini sekarang nampak jauh dari harapan akan tercapai karena pembangunan yang menekankan hardware tanpa kesadaran akan relasi sosial justru makin merusak lingkungan dan keadilan.
Tantangan menghadapi materialisme memang tidak mudah. Semacam evolusi diperlukan, justru ketika kita sedang merasa mengalami yang seolah "revolusi" dalam menikmati kehidupan kemakmuran akhir-akhir ini yang ditandai oleh teknologi dan materi yang cepat sekali memperbaharui diri.
Tapi modernitas terbaru adalah justru kesadaran lingkungan, keadilan kemanusiaan dan kualitas hidup, yang dewasa iini sedang muncul dengan mantap. Sebentar lagi pendulum mungkin bergerak ke kiri. Siapa tahu, perubahan akan terjadi di Jakarta?.
Penulis:
Marco Kusumawijaya adalah seorang arsitek dan peneliti kota pada Rujak Center for Urban Studies. Kegiatannya antara lain: Pemula Peta Hijau (Green Map) di Indonesia pada tahun 2001 dan masih bertugas sebagi anggota dewan penasehat pada Green Map internasional hingga sekarang, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2006-1010. Buku-buku yang diterbitkan: Jakarta Metropolis Tunggang-langgang, Kota Rumah Kita, Siak Sri Indrapura, serta Mengubah Dunia, Wirausaha Sosial dan Kekuatan Gagasan.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.