1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Cina Terancam Masalah Kredit Macet Negara Berkembang

13 Oktober 2023

Dalam dekade terakhir, Cina muncul sebagai salah satu kreditor terbesar bagi negara-negara berkembang, terutama di Afrika. Tapi banyak negara sekarang menghadapi kesulitan ekonomi dan menuntut penghapusan utang.

Proyek Belt and Road Cina di Sri Lanka
Proyek Belt and Road Cina di Sri LankaFoto: Eranga Jayawardena/AP/picture alliance

Dilanda berbagai krisis seperti pandemi COVID-19, perang di Ukraina, dan perubahan iklim, negara-negara berkembang, sebagian besar berada di Afrika, menumpuk utang dalam jumlah besar untuk menjaga perekonomian mereka agar bisa bertahan. Saat ini, 3,3 miliar orang tinggal di negara-negara yang mengeluarkan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga utang dibandingkan untuk anggaran pendidikan atau kesehatan, menurut laporan PBB.

Banyak negara berkembang saat ini berada dalam posisi rentan ambruk secara ekonomi, di tengah dunia yang makin tidak stabil, dengan cadangan keuangan mereka yang semakin menipis sementara harga pangan dan energi terus melonjak. Sedangkan Cina, yang menjadi kreditor utama negara-negara tersebut dalam satu dekade terakhir, juga sedang mengalami perlambatan ekonomi.

Dalam beberapa tahun terakhir, sedikitnya 10 negara, termasuk Zambia dan Sri Lanka, telah mengalami gagal bayar utang luar negerinya, sementara lebih dari 50 negara lainnya seperti Pakistan dan Mesir menghadapi kesulitan pembayaran kembali.

"Bagi sebagian besar negara berkembang, krisis utang berarti uang tidak lagi dibelanjakan untuk investasi demi mengubah kehidupan menuju kesejahteraan dan kemajuan masyarakat, padahal ini kekayaan bangsa yang sebenarnya,” kata Achim Steiner, administrator Program Pembangunan PBB, kepada DW.

Negara-negara dengan risiko kredit macet

Krisis utang yang parah

Mengatasi krisis utang, dulu biasanya dilakukan oleh Dana Moneter Internasional IMF, Bank Dunia, dan kelompok kreditor Paris Club. Bencana krisis utang yang dihadapi negara-negara berkembang merupakan salah satu topik utama pada pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Marrakesh baru-baru ini, ketika para pemimpin mencari cara untuk mempercepat keringanan utang.

"Ini adalah momen yang sangat membuat frustrasi karena, dari sudut pandang teknis dan kebijakan, seharusnya dibahas mengenai bagaimana memberikan bantuan kepada negara-negara ini. Namun sebenarnya ada masalah geopolitik yang lebih besar, yang membuat bantuan tersebut menjadi sangat sulit,” kata Clemence Landers, peneliti kebijakan senior di Pusat Pembangunan Global, kepada DW. Alasannya, sekarang ada banyak kreditor baru seperti Cina, India, dan negara-negara Teluk.

Cina misalnya, telah mengeluarkan pinjaman senilai lebih dari satu triliun dolar untuk proyek-proyek infrastruktur besar sebagai bagian dari proyek global ambisiusnya "Belt and Road Initiative", dengan tingkat bunga yang tinggi dan seringkali persyaratannya tidak jelas. Banyak dari pinjaman tersebut menjadi kredit macet.

Pada tahun 2010, hanya 5% dari portofolio pinjaman luar negeri Cina yang mendukung peminjam yang mengalami kesulitan keuangan. "Saat ini, angka tersebut mencapai 60%", kata Brad Parks, dari AidData, sebuah laboratorium penelitian di universitas William & Mary di Virginia, kepada DW.

"Beijing kini mengetahui, beberapa negara peminjam Belt and Road mengalami kebangkrutan dan bantuan likuiditas jangka pendek saja tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Parks lebih lanjut.

Cina menolak klaim bahwa mereka menghambat upaya prakarsa keringanan utang global. Beijing berpendapat, jika ingin mengurangi pinjamannya, maka lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia juga harus menghapuskan sebagian pinjaman mereka.

Unjuk rasa di Uganda menuntut penghapusan utang oleh IMFFoto: Allison Bailey/NurPhoto/IMAGO

Perlu waktu dan perencanaan matang

Kelompok negara-negara G20 telah menciptakan kerangka umum baru untuk restrukturisasi utang, yang mempertemukan anggota Paris Club dan kreditor lainnya. Pendekatan terpadu telah mencapai beberapa kemajuan dalam beberapa bulan terakhir.

IMF mengatakan, Chad misalnya membutuhkan waktu 11 bulan pada tahun 2021 untuk mendapatkan komitmen dari para kreditornya untuk memberikan keringanan utang yang diperlukan. Dalam kasus Zambia, dibutuhkan waktu sembilan bulan, enam bulan untuk Sri Lanka, dan lima bulan untuk Ghana.

"Ini masih di atas dua atau tiga bulan yang kita amati di masa lalu. Jadi ini masih belum sesuai dengan yang kita inginkan, tapi ini masih merupakan kemajuan besar,” pungkas Guillaume Chabert, wakil direktur departemen Tinjauan Strategi dan Kebijakan IMF.

(hp/as)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait