1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Kriminalisasi LGBT Halangi Penanggulangan HIV/AIDS

2 Juli 2018

Penggerebekan terhadap komunitas LGBT oleh kepolisian berdampak negatif pada upaya aktivis menjangkau komunitas gay dan lesbian. Kekhawatiran terhadap kriminalisasi memaksa mereka menjauhi layanan kesehatan.

Kampanye anti-LGBT di Indonesia
Kampanye anti-LGBT di IndonesiaFoto: picture-alliance/AP Photo/T.Syuflana

Terusir oleh keluarga dan berhadapan dengan stigma negatif masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS, seorang remaja yang meninggal dunia di Yogyakarta awal tahun ini sebenarnya melakukan "bunuh diri" dengan berhenti mengkonsumsi obat-obatan, tutur seorang dokter yang mengenal kasusnya kepada kantor berita AP.

Kasus remaja berusia 20 tahun itu menjadi contoh teranyar tentang nasib muram kaum LGBT di tanah air.

Karena kriminalisasi terhadap kaum minoritas seksual di Indonesia menghalangi upaya pemberantasan penyakit menular HIV/AIDS. Kesimpulan tersebut diumukan organisasi HAM, Human Rights Watch (HRW), Senin (2/7).

Dalam laporannya HRW menyebut retorika homofobia dan penggerebekan "ilegal" oleh kepolisian terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender "menggagalkan upaya pemerintah memperluas akses kesehatan terhadap populasi yang paling termarjinalkan."

"Kegagalan pemerintah Indonesia menanggulangi kepanikan moral terhadap kaum LGBT menciptakan konsekuensi negatif terhadap kesehatan publik," tutur Kyle Knight, salah seorang peneliti HRW.

Meski Indonesia secara umum relatif berhasil mencegah wabah AIDS, PBB mencatat tingkat penyebaran HIV pada komunitas gay meningkat lima kali lipat dari 5% pada 2007 menjadi 25% pada 2016. Data UNAIDS sendiri menunjukkan pria homoseksual bertanggungjawab atas sepertiga kasus infeksi HIV, sementara sebagian besar tertular lewat pasangan heteroseksual.

Nasib remaja berusia 20 tahun yang tewas bunuh diri di Yogya termasuk salah satunya. Setelah dinyatakan meninggal dunia, pihak keluarga menolak menjemput jenazahnya, kata Sandeep Nanwani, seorang dokter yang bekerja sukarela untuk program penanggulangan AIDS.

Setahun sebelumnya Sandeep sempat menggalang dana untuk memindahkan sang remaja dari Jakarta setelah kehilangan pekerjaannya akibat AIDS. 

"Keluarganya sudah tidak mau berurusan lagi dengan dia," ujar Sandeep. "Selama di tempat penampungan, dia tidak lagi merasa ada masa depan dan mulai jarang memakan obat-obatan."

Banyak sukarelawan dokter yang merasa penggerebekan oleh kepolisian "berdampak negatif dan substansial terhadap kemampuan mereka mengakses komunitas gay atau biseksual," tulis Amnesty. Penutupan sauna dan kelab malam yang dijadikan tempat berkumpul komunitas LGBT menghambat agenda penanggulangan HIV/AIDS.

"Di tempat-tempat yang tersisa kini semakin sulit untuk bekerja," kata seorang tenaga sukarela yang diwawancara HRW, "dampaknya semakin sedikit pria yang bersedia dites atau memakai kondom."

HRW dan aktivis anti AIDS mengeluhkan, polisi kini menggunakan kondom sebagai alat bukti pasca penggerebekan. Akibatnya "mereka ketakutan jika membawa kondom bisa mengancam keselamatan mereka, " tutur Laura Nevendorff, peneliti di Pusat Kajian HIV/AIDS di Universitas Atma Jaya.

rzn/hp (ap, dpa)