Kriminalisasi kaum oposisi tidak mengendur lima tahun pasca kudeta yang gagal di Turki. Pemerintah kini membidik kalangan cendikia dan praktisi budaya yang kritis, antara lain lewat ancaman pemecatan di tengah pandemi
Iklan
Politisi, sastrawan, akademisi dan seniman: Satu per satu dipecat atau dikucilkan karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah. Sebagian mendarat di penjara, sementara yang lain mencari suaka di luar negeri. Lima tahun pasca kudeta yang gagal, serangan balik pemerintah Turki tidak juga mengendur.
Levent Üzümcü termasuk yang berada dalam bidikan pemerintah. Pria bertubuh jangkung itu termasuk bintang sinema paling terkenal di Turki, dan aktif mengikuti aksi-aksi demonstrasi anti pemerintah, termasuk menentang proyek pembangunan di Taman Gezi. Akibatnya dia kehilangan pekerjaan di Theater Istanbul.
"Setelah kudeta, semakin banyak orang yang diperlakukan seperti dukun santet,” kata dia. "Seniman tidak dipekerjakan, atau dihalang-halangi.”
Komunitas budaya termasuk yang pertama mengikuti perintah Erdogan untuk turun ke jalan dan mencegah upaya kudeta militer, serta melindungi demokrasi. Kini sebagian besar memilih diam, ketika segelintir cendikia dan budayawan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah, termasuk sikap abai terhadap paktisi kebudayaan selama masa pandemi corona.
Wabah dan pemadaman kehidupan publik saat ini mengancam kondisi keuangan sebagian besar seniman di Turki. Melalui aksi solidaritas, mereka berusaha membantu satu sama lain. "Jika sebuah negara ingin tampil indah dan maju, ia butuh seni,” kata Üzümcü.
Dia acap mengritik sikap diam kalangan seni. Namun begitu dia meyakini Turki sedang berjalan menuju masa depan yang cerah. Menurutnya demokrasi dan konsep negara hukum tidak akan surut dalam waktu dekat.
Siapakah Recep Tayyip Erdogan?
Dari aktivis menjadi presiden, karir politik Recep Tayyip Erdogan menanjak pesat. Namun ia juga menjadi sosok yang kontroversial. DW melihat lebih dekat jalan Erdogan menuju tampuk kekuasaan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Bangkitnya Turki di bawah Erdogan
Di Turki dan di luar negeri, sosok Recep Tayyip Erdogan menimbulkan efek berlawanan. Ada yang menggambarkannya sebagai "sultan" Ottoman baru dan ada juga yang menganggapnya pemimpin yang otoriter. DW mengeksplorasi bangkitnya pemimpin Turki ini dari masa awal berkampanye untuk urusan Islamis hingga menjadi presiden di negara yang memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Walikota Istanbul yang pernah dipenjara
Setelah bertahun-tahun bergerak di jajaran Partai Kesejahteraan yang berakar Islamis, Erdogan terpilih sebagai walikota Istanbul pada 1994. Namun empat tahun kemudian, partai itu dinyatakan inkonstitusional karena mengancam sistem pemerintahan sekuler Turki dan dibubarkan. Ia kemudian dipenjara empat bulan karena pembacaan puisi kontroversial di depan umum dan akibatnya ia kehilangan jabatannya.
Erdogan mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang memenangkan mayoritas kursi pada tahun 2002. Dia diangkat menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Di tahun-tahun pertamanya, Erdogan bekerja untuk menyediakan layanan sosial, meningkatkan ekonomi dan menerapkan reformasi demokratis. Beberapa orang berpendapat bahwa Erdogan mengubah haluan pemerintahan Turki menjadi lebih religius.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Ozbilici
Ingin generasi yang saleh
Meskipun konstitusi Turki menjamin sistem sekluarisme, pengamat yakin bahwa Erdogan telah berhasil membersihkan sistem sekuler di sana. Pemimpin Turki ini mengatakan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk membangkitkan "generasi yang saleh." Pendukung Erdogan memuji inisiatifnya dengan alasan bahwa tahun-tahun diskriminasi terhadap Muslim yang religius akhirnya bisa berakhir.
Foto: picture-alliance/AA/C. Ozdel
Berhasil lolos dari usaha kudeta
Pada Juli 2016, kudeta militer gagal yang menargetkan Erdogan dan pemerintahannya menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, termasuk warga sipil dan tentara. Setelah upaya kudeta, Erdogan mengumumkan keadaan darurat dan bersumpah untuk "membersihkan" militer. "Di Turki, angkatan bersenjata tidak mengatur negara atau memimpin negara. Mereka tidak bisa," katanya.
Foto: picture-alliance/AA/K. Ozer
Penumpasan oposisi
Sejak kudeta gagal, pihak berwenang menangkap lebih dari 50.000 orang di angkatan bersenjata, kepolisian, pengadilan, sekolah dan media. Erdogan menuduh Fethullah Gulen (seorang ulama yang diasingkan di AS dan mantan sekutu Erdogan) dan para pendukungnya telah mencoba merusak pemerintahan. Namun organisasi HAM meyakini tuduhan itu merupakan sarana untuk memperkuat kekuasaan dan pengaruhnya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Gurel
Didukung dan dikritik
Meskipun Erdogan menikmati dukungan signifikan di Turki dan komunitas diaspora Turki, dia dikritik karena kebijakannya yang keras dan aksi-aksi terhadap militan Kurdi setelah runtuhnya proses perdamaian pada 2015. Januari 2018, Erdogan meluncurkan serangan mematikan ke utara Suriah (Afrin), sebuah operasi yang secara luas dikecam oleh organisasi HAM.
Foto: picture- alliance/ZUMAPRESS/Brais G. Rouco
Era baru?
Menjabat sebagai presiden Turki sejak 2014, Erdogan ingin memperpanjang jabatannya. Pemilu bulan Juni akan menandai transisi Turki menjadi negara presidensial bergaya eksekutif. Namun disinyalir, lanskap media Turki didominasi oleh kelompok yang punya hubungan dengan Partai AKP yang berkuasa. Para pengamat percaya, pemilu ini menandai era baru bagi Turki - belum jelas, era baik atau buruk.(na/hp)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Bozoglu
8 foto1 | 8
Perlawanan panjang demi demokrasi
Pandangan berbeda disampaikan wartawan Turki, Barbaros Altuğ. Serupa Üzümcü, dia pun giat menghadiri gelombang protes terhadap Presiden Erdogan di Taman Gezi. Ketika perlawanan ditumpas aparat kepolisian, dia pergi ke Berlin, Jerman, dan menulis novel pertamanya.
Iklan
Menurutnya Partai AKP memanfaatkan kudeta yang gagal pada 2016 itu sebagai alat untuk membungkam suara oposisi, kata pria yang kini hidup di pengasingan di Paris, Prancis.
"Kudeta ini pada dasarnya adalah kudeta terhadap kami – mereka yang menuntut kebebasan dan kesetaraan. Sebagian dilempar ke penjara, yang lain melarikan diri ke seluruh penjuru dunia. Banyak yang tidak bisa pergi ke luar negeri karena tidak mampu,” kata dia.
Sebab itu perlawanan terhadap Erdogan kini banyak dilakukan dari pengasingan. Menurut Altuğ, komunitas budaya bisa berperan dalam perjuangan demi demokrasi di Turki.
“Ada seniman yang melawan meski terancam. Bangsa Turki punya daya juang yang tinggi, dan akan mengejutkan setiap penguasa, terutama kaum fasis. Dan kaum yang punya daya juang paling kuat adalah seniman dan cendikia,” imbuhnya.
Kaum eksil, kata dia, membangun jejaring dari Zagreb, Berlin hingga sampai ke Toronto. “Kampung halaman kami yang lama sudah tidak ada,” kata dia. Menurutnya masa depan Turki bergantung pada optimisme kaum muda untuk membangun negeri yang lebih inklusif dan adil.