1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Kriminalisasi Praktisi Budaya Menguat di Turki

Ceyda Nurtsch
17 Juli 2021

Kriminalisasi kaum oposisi tidak mengendur lima tahun pasca kudeta yang gagal di Turki. Pemerintah kini membidik kalangan cendikia dan praktisi budaya yang kritis, antara lain lewat ancaman pemecatan di tengah pandemi

Ilustrasi bendera Turki
Reputasi internasional Turki terbebani oleh kebijakan pemerintah menangkapi aktivis dan tokoh oposisi pasca kudeta yang gagal 2016 silam.Foto: picture-alliance/dpa

Politisi, sastrawan, akademisi dan seniman: Satu per satu dipecat atau dikucilkan karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah. Sebagian mendarat di penjara, sementara yang lain mencari suaka di luar negeri. Lima tahun pasca kudeta yang gagal, serangan balik pemerintah Turki tidak juga mengendur.

Levent Üzümcü termasuk yang berada dalam bidikan pemerintah. Pria bertubuh jangkung itu termasuk bintang sinema paling terkenal di Turki, dan aktif mengikuti aksi-aksi demonstrasi anti pemerintah, termasuk menentang proyek pembangunan di Taman Gezi. Akibatnya dia kehilangan pekerjaan di Theater Istanbul. 

"Setelah kudeta, semakin banyak orang yang diperlakukan seperti dukun santet,” kata dia. "Seniman tidak dipekerjakan, atau dihalang-halangi.”

Komunitas budaya termasuk yang pertama mengikuti perintah Erdogan untuk turun ke jalan dan mencegah upaya kudeta militer, serta melindungi demokrasi. Kini sebagian besar memilih diam, ketika segelintir cendikia dan budayawan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah, termasuk sikap abai terhadap paktisi kebudayaan selama masa pandemi corona.

Wabah dan pemadaman kehidupan publik saat ini mengancam kondisi keuangan sebagian besar seniman di Turki. Melalui aksi solidaritas, mereka berusaha membantu satu sama lain. "Jika sebuah negara ingin tampil indah dan maju, ia butuh seni,” kata Üzümcü.

Dia acap mengritik sikap diam kalangan seni. Namun begitu dia meyakini Turki sedang berjalan menuju masa depan yang cerah. Menurutnya demokrasi dan konsep negara hukum tidak akan surut dalam waktu dekat.

Perlawanan panjang demi demokrasi

Pandangan berbeda disampaikan wartawan Turki, Barbaros Altuğ. Serupa Üzümcü, dia pun giat menghadiri gelombang protes terhadap Presiden Erdogan di Taman Gezi. Ketika perlawanan ditumpas aparat kepolisian, dia pergi ke Berlin, Jerman, dan menulis novel pertamanya.

Menurutnya Partai AKP memanfaatkan kudeta yang gagal pada 2016 itu sebagai alat untuk membungkam suara oposisi, kata pria yang kini hidup di pengasingan di Paris, Prancis. 

"Kudeta ini pada dasarnya adalah kudeta terhadap kami – mereka yang menuntut kebebasan dan kesetaraan. Sebagian dilempar ke penjara, yang lain melarikan diri ke seluruh penjuru dunia. Banyak yang tidak bisa pergi ke luar negeri karena tidak mampu,” kata dia.

Sebab itu perlawanan terhadap Erdogan kini banyak dilakukan dari pengasingan. Menurut Altuğ, komunitas budaya bisa berperan dalam perjuangan demi demokrasi di Turki.

“Ada seniman yang melawan meski terancam. Bangsa Turki punya daya juang yang tinggi, dan akan mengejutkan setiap penguasa, terutama kaum fasis. Dan kaum yang punya daya juang paling kuat adalah seniman dan cendikia,” imbuhnya.

Kaum eksil, kata dia, membangun jejaring dari Zagreb, Berlin hingga sampai ke Toronto. “Kampung halaman kami yang lama sudah tidak ada,” kata dia. Menurutnya masa depan Turki bergantung pada optimisme kaum muda untuk membangun negeri yang lebih inklusif dan adil.

“Untuk itu,” ujarnya, “kita harus berjuang.”

rzn/yp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya