1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis berat di Uni Eropa

3 Juni 2005

Penolakan konstitusi Uni Eropa oleh Perancis dan Belanda, memicu krisis amat berat dalam Uni Eropa. Harian-harian internasional mengomentari, kini semakin terlihat, kepentingan nasional kembali mengemuka.

Uni Eropa menghadapi krisis berat
Uni Eropa menghadapi krisis beratFoto: AP

Uni Eropa dikritik sudah menjadi proyek dari para fungsionaris yang egoist, yang menganggap dirinya berkasta lebih tinggi. Harian Jerman Die Welt berkomentar, penolakan itu sebetulnya harus dimaknai sebagai kejutan, yang akan menyembuhan Uni Eropa yang diibaratkan sedang sakit. Lebih lanjut harian ini menulis :

Para fungsionaris Uni Eropa, merupakan perwujudan dari sebuah paham dunia yang birokratis sentralistik. Karenanya, kejutan dari referendum di Perancis dan Belanda, merupakan obat penyembuh bagi Uni Eropa. Hasil referendum tidak berarti akan kembalinya zaman kegelapan nasionalisme, melainkan bukti dari instink demokrasi yang masih utuh. Sebuah penegasan dari kebajikan tradisi Eropa, yang merasa skeptis dengan khayalan besar politik, yang terutama menciptakan bencana dalam sejarah Eropa. Dengan itu, gagasan ekonomi terpimpin dari para fungsionaris juga disapu bersih.

Harian Perancis Liberation mengomentari penolakan dua negara pendiri Uni Eropa itu, sebagai isyarat, bahwa Eropa kini tidak memiliki lagi perspektiv masadepan.

Kepentingan nasional masing-masing anggota kembali mengemuka. Dengan penolakannya, warga Perancis hendak mempertahankan model sosialnya. Sama halnya dengan warga Belanda, yang hendak membela identitasnya. Luxemburg mengkhawatirkan masa depannya sebagai surga pajak. Dan warga Jerman, kembali memimpikan mata uang Deutsche Mark. Semua indikasi tsb menegaskan, bahwa ketidak puasan terhadap Eropa, mendorong kembalinya kepentingan nasional. Kecederungannya sudah sedemikian jauh, sehingga harus dicemaskan akan kembalinya paham nasionalisme. Sekarang, siapa yang dapat menawarkan jalan keluarnya? Karena Komisi Uni Eropa, tidak memiliki legitimasi demokrasi yang dibutuhkannya.

Harian Austria Der Standard menuntut sebuah Uni Eropa yang baru, yang lebih dekat kepada rakyat. Selanjutnya harian ini menulis:

Amat mencengangkan, bahwa hanya tinggal 45 persen warga Perancis, yang tetap mendukung gagasan Uni Eropa. Bahkan di Belanda, pendukung Uni Eropa jauh lebih kecil lagi. Namun, juga harus disadari, mayoritas dari mereka yang menolak, masih meyakini sebuah Eropa bersama. Mereka inilah yang dianggap sinting dan utopis, yang didegradasikan sebagai kelompok minoritas, yang masih percaya kemungkinan adanya Eropa yang lain. Sebuah Eropa, dimana rakyatnya benar-benar dapat ikut mengambil keputusan, dimana ekonomi berorientasi kepada pasaran kerja, dan bukan sebaliknya. Sebuah Eropa yang memiliki keadilan sosial. Untuk mencapai sasaran itu, penolakan terhadap konstitusi Uni Eropa yang dinilai Neo-Liberal, hanya merupakan langkah pertama.

Harian Denmark Berlingske Tidende menilai konstitusi Uni Eropa sudah mati. Mengenai masa depan proyek konstitusi Uni Eropa, harian ini menulis :

Ketika para politisi Uni Eropa bersemangat untuk menggolkan konstitusi, mereka melupakan pemecahan dari masalah mendasar di Eropa. Hukumannya datang minggu ini. Karena itu, nasihat yang dapat diberikan juga tegas. Lupakan saja konstitusi Uni Eropa. Sekarang, prioritasnya adalah menyelamatkan Eropa, dan mencari landasan yang kokoh, bagi integrasi Eropa lebih lanjut. Konstitusi Uni Eropa sudah mati. Upaya menghidupkan kembali konstitusi secara artifisial, dengan memaksa dilanjutkannya proses ratifikasi, adalah pelanggaran berat terhadap kewajiban proyek Eropa. Politisi puncak Eropa menyandang tanggung jawab terbesar, dari diabaikannya tugas inti Uni Eropa selama ini.