Nilai index saham Cina di pasar bursa yang terus melorot memicu ketakutan global. Krisis berkepanjangan dicemaskan akan melemahkan ekonomi dunia dan menyeret banyak negara ke jurang resesi.
Iklan
Cina yang menjadi kekuatan ekonomi global terbesar ke-2 dunia dan jagonya ekspor komoditi, kini disebut mengekspor ketakutan global. Perdanganan saham di bursa Shanghai Selasa (25/08/15) kembali menunjukkan rontoknya nilai index saham Cina sebesar 6 persen. Situasi ini juga mengimbas perdagangan di bursa Tokyo, Jepang. Sementara di Indonesia, pada pembukaan pasar saham, nilai tukar Rupiah menembus hampir 14.000 per US-Dolar.
Para investor kini memasukkan Cina ke pemuncak peringkat pemicu ketakutan global, menggeser posisi Yunani. "Rasa panik menguasai pasar saham. Investor global saling mengkanibalisasi. Tidak berlebihan jika menyebut situasi pasar sebagai bencana," ujar Zhou Lin seorang analis di Huatai Securities.
Harian terkemuka Jerman Süddeutsche Zeitung juga melaporkan, ambruknya kurs saham di Cina berlanjut dan hanya kenal satu arah, ke bawah. Juga kurs saham di Jepang ikut terseret anjlok.
Respons Cina mengecewakan
Para investor juga mengeluhkan lambannya respons dari pemerintah Cina dalam menanggapi runtuhnya pasar saham itu. Berbeda dengan bulan Juli silam, dimana Beijing langsung menggelar intervensi pasar dengan menggelontorkan milyaran Dolar, untuk menstabilkan kurs Yuan. Tapi bulan Agustus ini, bank sentral Cina nyaris tidak melakukan aksi apapun.
Kekuatan Ekonomi Global Masa Depan
Cina diprediksi akan merajai perekonomian dunia tahun 2050 menurut Economist Intelligence Unit. Tapi kiprah negeri tirai bambu itu bukan temuan yang paling mengejutkan, melainkan posisi Indonesia.
Foto: Fotolia
1. Cina
Negeri tirai bambu ini berada di peringkat kedua daftar negara sesuai besaran Produk Domestik Brutto-nya (PDB). Cina tahun 2014 berada di posisi kedua, di bawah AS dengan 11,212 Triliun Dollar AS. Tapi pada tahun 2050, Economist Intelligence Unit memprediksi Cina akan mampu melipatgandakan PDB-nya menjadi 105,916 Triliun Dollar AS.
Foto: imago/CTK Photo
2. Amerika Serikat
Saat ini AS masih mendominasi perekonomian global. Dengan nilai nominal PDB yang berada di kisaran 17,419 Triliun Dollar AS per tahun, tidak ada negara lain yang mampu menyaingi negeri paman sam itu. Tapi untuk 2050 ceritanya berbeda. AS akan turun ke peringkat dua dengan nilai PDB 70,913 Triliun Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa/J. F. Martin
3. India
Tahun 2050 India akan menikmati pertumbuhan konstan di kisaran 5%, menurut studi EIU. Saat ini raksasa Asia Selatan ini bertengger di posisi sembilan daftar raksasa ekonomi terbesar dunia dengan nilai PDB 2 Triliun Dollar AS. Tapi 35 tahun kemudian India akan merangsek ke posisi ketiga di bawah AS dengan pendapatan nasional sebesar 63 triliun Dollar AS.
Foto: Reuters/N. Chitrakar
4. Indonesia
Perekonomian Indonesia membaik setekah tiga kali bangkrut menyusul krisis moneter berkepanjangan. Saat ini Indonesia mencatat nilai nominal PDB sebesar 895 Miliar Dollar AS dan berada di peringkat 16 dalam daftar kekuatan ekonomi global. Tahun 2050, Econimist Intelligence Unit memproyeksikan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dengan PDB sebesar 15,4 Triliun Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
5. Jepang
Serupa AS, Jepang terpaksa turun peringkat di tahun 2050. Saat ini negeri sakura itu masih bertengger di posisi ketiga kekuatan ekonomi terbesar sejagad, dengan perolehan PDB sebesar 4,6 Triliun Dollar AS. 35 tahun kemudian, Jepang digeser oleh Indonesia dan terpaksa melorot ke peringkat lima dengan 11,7 Triliun Dollar AS.
Foto: AP
6. Jerman
Perekonomian Jerman banyak ditopang oleh sektor riil yang didominasi oleh industri padat karya. Tapi menurut EIU, justru sektor inilah yang akan banyak menyusut di masa depan. Jerman diyakini bakal kehilangan seperlima tenaga kerjanya pada 2050. Hasilnya, Jerman yang saat ini di posisi keempat dengan PDB sebesar 3,8 Triliun, akan merosot ke posisi enam dengan perolehan 11,3 Triliun Dollar AS.
Foto: imago/Caro
7. Brasil
Dari semua negara di posisi sepuluh besar, cuma Brasil yang tidak berubah. Saat ini raksasa Amerika Selatan itu berada di posisi tujuh dengan nominal PDB sebesar 2,3 Triliun Dollar AS. Di posisi yang sama Brasil bakal mencatat perolehan sebesar 10,3 Triliun Dollar AS tahun 2050.
Foto: picture-alliance/dpa/W. Rudhart
7 foto1 | 7
Walau dilanda kepanikan, namun sejumlah analis pasar memperkirakan, gejolak pasar yang dipicu anjloknya bursa di Cina tidak akan memicu krisis besar seperti krisis moneter Asia tahun 1997. Pasar hanya akan bergejolak tapi tidak akan runtuh total. Selain itu di sisi lain dunia, seperti di Amerika Serikat, konjunktur ekonomi justru naik dan pemulihan ekonomi berjalan, demikian dilaporkan oleh CNN.
Walau begitu, para pakar ekonomi tetap mencemaskan dampak negatif melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina terhadap ekonomi Asia secara umum. Para pakar ekonomi Oxford menghitung, jika nilai tukar Yuan atau Renminbi pada tahun ini turun 10 persen, dampaknya akan menyeret pertumbuhan ekonomi negara Asia lainnya menuju ke bawah. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan akan turun 1,16 persen dan Indonesia turun sekitar 0,32 persen.
Sementara di Eropa, Jerman yang akan menelan pil paling pahit dari kesunya pertumbuhan ekonomi Cina. Pasalnya, Jerman adalah negara Eropa yang paling banyak mereguk keuntungan dari rente ekonomi Cina dengan merelokasi industri otomotifnya ke negara Asia itu.
Seperti terlihat dalam diagram, ekspor produk permesinan Jerman ke Cina pada 2014 menembus angka 17 milyar Euro, meninggalkan jauh para pesaingnya, seperti Amerika Serikat dan Perancis.