1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Bisa Lemahkan Ekonomi Dunia

25 Agustus 2015

Nilai index saham Cina di pasar bursa yang terus melorot memicu ketakutan global. Krisis berkepanjangan dicemaskan akan melemahkan ekonomi dunia dan menyeret banyak negara ke jurang resesi.

China Börsen rutschen weiter ab
Foto: Reuters/Kim Kyung-Hoon

Cina yang menjadi kekuatan ekonomi global terbesar ke-2 dunia dan jagonya ekspor komoditi, kini disebut mengekspor ketakutan global. Perdanganan saham di bursa Shanghai Selasa (25/08/15) kembali menunjukkan rontoknya nilai index saham Cina sebesar 6 persen. Situasi ini juga mengimbas perdagangan di bursa Tokyo, Jepang. Sementara di Indonesia, pada pembukaan pasar saham, nilai tukar Rupiah menembus hampir 14.000 per US-Dolar.

Para investor kini memasukkan Cina ke pemuncak peringkat pemicu ketakutan global, menggeser posisi Yunani. "Rasa panik menguasai pasar saham. Investor global saling mengkanibalisasi. Tidak berlebihan jika menyebut situasi pasar sebagai bencana," ujar Zhou Lin seorang analis di Huatai Securities.

Harian terkemuka Jerman Süddeutsche Zeitung juga melaporkan, ambruknya kurs saham di Cina berlanjut dan hanya kenal satu arah, ke bawah. Juga kurs saham di Jepang ikut terseret anjlok.

Respons Cina mengecewakan

Para investor juga mengeluhkan lambannya respons dari pemerintah Cina dalam menanggapi runtuhnya pasar saham itu. Berbeda dengan bulan Juli silam, dimana Beijing langsung menggelar intervensi pasar dengan menggelontorkan milyaran Dolar, untuk menstabilkan kurs Yuan. Tapi bulan Agustus ini, bank sentral Cina nyaris tidak melakukan aksi apapun.

Walau dilanda kepanikan, namun sejumlah analis pasar memperkirakan, gejolak pasar yang dipicu anjloknya bursa di Cina tidak akan memicu krisis besar seperti krisis moneter Asia tahun 1997. Pasar hanya akan bergejolak tapi tidak akan runtuh total. Selain itu di sisi lain dunia, seperti di Amerika Serikat, konjunktur ekonomi justru naik dan pemulihan ekonomi berjalan, demikian dilaporkan oleh CNN.

Walau begitu, para pakar ekonomi tetap mencemaskan dampak negatif melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina terhadap ekonomi Asia secara umum. Para pakar ekonomi Oxford menghitung, jika nilai tukar Yuan atau Renminbi pada tahun ini turun 10 persen, dampaknya akan menyeret pertumbuhan ekonomi negara Asia lainnya menuju ke bawah. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan akan turun 1,16 persen dan Indonesia turun sekitar 0,32 persen.

Sementara di Eropa, Jerman yang akan menelan pil paling pahit dari kesunya pertumbuhan ekonomi Cina. Pasalnya, Jerman adalah negara Eropa yang paling banyak mereguk keuntungan dari rente ekonomi Cina dengan merelokasi industri otomotifnya ke negara Asia itu.

Seperti terlihat dalam diagram, ekspor produk permesinan Jerman ke Cina pada 2014 menembus angka 17 milyar Euro, meninggalkan jauh para pesaingnya, seperti Amerika Serikat dan Perancis.

as/yf(rtr,ap,afp,dpa)