1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

140409 China Müllsammler

16 April 2009

Dampak krisis ekonomi global terasa di semua belahan dunia. Termasuk di Cina, di mana sejumlah sektor ekonomi terancam. Misalnya, bisnis daur ulang yang dulunya menjanjikan keuntungan besar.

Foto: picture-alliance / dpa

Dongxiaokou, sebuah kawasan di pinggiran kota Beijing. Li Li, perempuan berusia 43 tahun, merogoh karung besar berisi tutup botol warna merah. Dengan tangkas ia memisahkan bagian dari plastik dari tutup botol logamnya. Sekitar 700 orang hidup dan bekerja di sini, dikelilingi tumpukan botol plastik, sampah elektro dan kertas bekas. Sebagian besar berasal dari Provinsi Henan, Cina Tengah.

"Orang yang lahir di Beijing menolak kerja ini. Hanya beberapa pegangguran yang mau, mereka yang tidak punya pilihan lain. Kami, para pendatang, sudah biasa dengan kondisi kerja yang berat. Pekerjaan ini jorok dan melelahkan," demikian ungkap Li Li

Li Li dan ketiga anaknya hidup di tengah-tengah gundukan sampah yang tiap harinya dimuntahkan Beijing, kota raksasa berpenduduk 17 juta jiwa. Atap gubuk mereka penuh botol plastik yang kosong. Selama bertahun-tahun Li Li dan keluarganya hidup dari usaha daur ulang. Pabrik-pabrik di Cina Selatan membutuhkan bahan mentah seperti plastik, kertas dan logam. Namun, sejak krisis ekonomi melanda, makin sedikit orang yang membeli kain, mainan plastik maupun barang elektronik dari Cina.

Setelah dikurangi sewa untuk rumah dan pekarangannya, sisa uang Li Li sekitar 1,4 juta Rupiah. Uang itu harus cukup untuk membiayai hidup Li dan tiga anaknya selama satu bulan.

Foto: dpa

Tak jauh dari gubuk Li, botol plastik yang menggunung dipilah-pilah, dtitimbang dan digiling. Serpihan plastik itu lalu dimasukkan dalam karung yang lalu ditumpuk. Dulu, plastik gilingan itu langsung dijual dan diolah menjadi serat plastik. Zhang yang berusia 35 tahun merobek-robek label dari ribuan botol plastik yang akan digiling.

"Dulu bahan ini bisa diekspor, tapi sekarang tidak ada permintaan dari luar negeri. Kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, gudang-gudang sudah penuh karena itu bahan mentahnya tak lagi berharga."

Sebelum krisis ekonomi melanda, usaha daur ulang menjanjikan keuntungan besar. Namun belakangan, permintaan luar negeri merosot dan bahan mentah plastik, kertas dan logam menumpuk di Dongxiaokou.

Di halaman Ying Zuozhang, anjing penjaganya menarik-narik rantai yang mengikatnya. Di sana-sini terlihat tumpukan koran dan kertas bekas. Setahun yang lalu, Ying yang kini berusia 63 tahun membeli sebanyak mungkin kertas bekas. Maksudnya, kertas itu akan dijual dengan sedikit keuntungan, misalnya untuk diolah menjadi karton. Tapi, sejak ekspor Cina menurun, industri Cina tak lagi membutuhkan begitu banyak karton untuk mengirimkan barangnya. Alhasil, koran dan kertas bekas Ying tak laku di pasaran.

"Semua orang rugi karena krisis ekonomi. Dulu harga satu kilo kertas bekas lima sampai enam cent per kilo, sekarang satu kilo terjual seharga satu cent. Walau harganya makin merosot, tidak ada yang mau membelinya."

Ying Zuozhang sempat berpikir untuk menutup saja tokonya. Tapi bagaimana dengan utangnya yang menumpuk? Di Dongxiaokou banyak orang berpikir untuk menyerah. Li Li misalnya sudah memasang papan di pagarnya yang bertuliskan: tempat ini disewakan.

"Saya mau menjual semuanya dan berhenti saja. Kami akan menyewa rumah di tempat lain dan mencari kerja yang digaji beberapa ratus yuan dalam sebulan. Kalau krisis ekonomi sudah berakhir, kami mencari tempat baru untuk usaha ini, sekarang kami merugi terus."

Namun, tampaknya tak ada yang tertarik meneruskan usaha Li Li. Bisnis daur ulang Cina yang menjanjikan keuntungan besar di masa lalu, kini terpuruk akibat krisis ekonomi.

Ruth Kircher/Ziphora Eka Robina

Editor: Hendra Pasuhuk