Krisis ‘Eksistensial’ Bayangi Pakistan di Tahun 2023
Haroon Janjua
26 Desember 2022
Rangkaian serangan berdarah oleh Tehreek-e Taliban kembali melanda Pakistan. Gelombang kekerasan berkecamuk di tengah krisis politik di Islamabad dan ketidakberdayaan negara membiayai operasi militer.
Militer PakistanFoto: Muhammad Hasib/AP Photo/picture alliance
Iklan
Militer Pakistan hingga Senin (26/12) dikabarkan masih memburu pelaku rangkaian serangan bahan peledak yang menewaskan enam tentara dan melukai 17 warga sipil di Provinsi Balochistan, Minggu (25/12) kemarin.
Pejabat pemerintahan Provinsi Balochistan, Abdul Aziz Uqaili, mengatakan setidaknya terjadi enam serangan dengan bahan peledak pada Hari Natal. Tidak seorangpun korban jiwa merupakan warga sipil, tulisnya di Twitter. Sementara itu, Perdana Menteri Sahbaz Sharif mengutuk pertumpahan darah di Balochistan.
Militer Pakistan mengklaim empat serdadu dan seorang perwira berpangkat kapten tewas dalam sebuah ledakan. Mereka saat itu sedang berkendara dalam iring-iringan militer di Kahan, wilayah terpencil di dekat perbatasan Afganistan.
Sejauh ini, belum satupun kelompok bersenjata di Pakistan yang mengklaim bertanggungjawab atas serangan maut tersebut.
Di tempat lain, seorang serdadu tewas dalam sebuah pertempuran dengan Taliban Pakistan (TTP), lapor Azfar Mohesar, seorang perwira kepolisian lokal. Seorang gerilayawan Taliban juga tewas dalam insiden kontak senjata tersebut, tambah dia.
Sementara itu di ibu kota provinsi, Quetta, sebanyak 12 orang terluka ketika seseorang melemparkan granat tangan di tengah pasar. Lima orang dilaporkan terluka dalam sebuah ledakan di kota Kalat, Khuzdar dan Hub.
Pelarian Hindu Asal Pakistan Harapkan Kedamaian di India
Ratusan warga Hindu Pakistan menyebrang ke India buat mencari suaka. Kebanyakan merasa kondisi kehidupan di Pakistan lebih baik. Tapi mereka mengaku merasa lebih aman hidup di negeri jiran yang dimusuhi.
Foto: DW/Rajib Chakraborty
Bertahan, Lalu Menyebrang
Sejumput warga Hindu memilih menetap di Pakistan, ketika pemisahan tahun 1947 memicu gelombang pengungsi besar-besaran ke jiran India. Jumlah yang bertahan hanya berkisar 2% dari populasi nasional. Kebanyakan hidup dalam klaster-klaster kecil yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
Foto: Reuters/A. Fadnavis
Diskriminasi di Negeri Sendiri
Namun diskriminasi dan persekusi terhadap minoritas, terutama Hindu dan Ahmadiyah, kian hari kian bertambah. Amnesty International melaporkan, UU Penistaan Agama lebih banyak membidik kelompok minoritas. Islamisasi paksa juga dilaporkan terjadi di sejumlah kawasan, terutama di wilayah kesukuan di dekat perbatasan Afghanistan.
Foto: Reuters/A. Fadnavis
Memenuhi Panggilan Modi
Sebagian mengikuti panggilan pemerintahan populis kanan India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi untuk hijrah mencari suaka. Sesuai UU Kewarganegaraan yang baru, semua pengungsi Hindu yang tiba sebelum 2015 bisa mengikuti jalur cepat naturalisasi. Tampak dalam gambar foto perdana menteri dipajang di salah satu rumah pengungsi.
Foto: Reuters/A. Fadnavis
Arus Deras Pengungsi Hindu
Selama 15 bulan hingga Maret 2019, Kementerian Dalam Negeri India melaporkan 16,121 permohonan suaka dari warga negara Pakistan. Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah visa yang dikabulkan meningkat dari ratusan menjadi ribuan.
Foto: Reuters/A. Fadnavis
Sambutan Kelompok Hindu Garis Keras
Pelarian mereka juga dimanfaatkan kelompok Hindu garis keras untuk memperluas pengaruh. Antara lain Vishwa Hindu Parishad (VHP) yang beraliran Hindutva dan meyakini supremasi umat Hindu di India, mengirimkan tenaga pengajar ke kamp pengungsi. Organisasi yang berafiliasi dengan partai pemerintah, BJP, ini berulangkali dituduh melakukan tindak kekerasan terhadap minoritas muslim.
Foto: Reuters/A. Fadnavis
"Mereka hanya ingin membantu"
Para pengungsi diperintah agar tidak berbicara kepada media oleh anggota VHP. Salah seorangnya, Dharamveer Solanki, mengatakan “mereka hanya ingin membantu,” kata dia. “Kami sedang membangun kehidupan di sini,” imbuhnya kepada Reuters.
Foto: Reuters/A. Fadnavis
Bencana Silih Berganti
Sebaliknya nasib serupa diyakini akan menimpa minoritas muslim di India. Dalam sebuah rapat dengar pendapat oleh Komisi Kebebasan Internasional di Kongres AS, pakar dan akademisi India mewanti-wanti terhadap pencabutan kewarganegaraan bagi jutaan minoritas muslim akibat UU Kewarganegaraan yang baru. rzn/vlz (rtr,afp)
Foto: DW/Rajib Chakraborty
7 foto1 | 7
Antara teror dan separatisme
Tehrik-e Taliban Pakistan (TTP) menggiatkan serangan di seluruh penjuru Pakistan sejak November silam. Pemicunya adalah kebuntuan negosiasi damai, usai TTP menuduh militer melanggar gencatan senjata.
Dalam konteks yang berbeda, perang berkobar sejak lama di Balochistan akibat pemberontakan kelompok separatis Baloch. Mereka terutama bercokol di wilayah perbatasan dengan Afganistan dan Iran.
Insiden berdarah di Balochistan tercatat meningkat sejak kebuntuan perundingan antara militer dan TTP, November silam.
TTP merupakan sekutu dekat Taliban Afganistan. Keduanya berbeda, tetapi satu tujuan. Gerakan khilafah itu dikabarkan semakin merajalela sejak tumbangnya Republik Islam Afganistan yang disokong AS dan NATO.
Taliban Pakistan diperkirakan telah menewaskan 80.000 orang selama beberapa dekade terakhir. Dalam aksinya, TTP tidak jengah beroperasi di wilayah pemberontak seperti di Balochistan.
Situasi di provinsi tandus di barat daya Pakistan itu kian memanas oleh hadirnya investor Cina. Beijing ingin mengakses Laut Arab melalui jejaring jalan raya dan rel kereta api dari Xinjiang ke pelabuhan Gwadar di Balochistan.
Pakistan: Bagaimana Militan Hancurkan Kehidupan Seorang Perempuan
Baswaliha, perempuan berusia 55 tahun yang tinggal di kawasan adat di perbatasan dengan Afganistan, kehilangan suami dan anaknya dalam konflik dengan kelompok Taliban. Sekarang dia khawatir kekerasan akan kembali.
Foto: Saba Rehman/DW
Kehidupan yang sulit
Bertahan hidup merupakan hal yang sulit bagi perempuan Pakistan di kawasan perbatasan. Hidup Baswaliha, seorang janda 55 tahun, makin memilukan setelah kehilangan anaknya tahun 2009, dan suaminya pada 2010. Baswaliha tinggal di Galanai, sebuah desa adat di kawasan Mohmand, yang berbatasan dengan Afghanistan.
Foto: Saba Rehman/DW
Serangan dari segala penjuru
Imran Khan, anak sulung Baswaliha, terbunuh pada usia 23 tahun oleh kelompok lokal anti-Taliban karena dituduh membantu gerakan teroris, jelasnya pada tim DW. Operasi militer Pakistan memang menciptakan suasana tenang untuk beberapa kawasan, namun penarikan pasukan NATO dari Afghanistan meningkatkan kekhawatiran bahwa kelompok Taliban akan kembalio berkuasa.
Foto: dapd
Fase penuh kekerasan
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Majeed
Belum menyerah
Abdul Ghufran, suami Baswaliha, tewas setahun kemudian akibat dua bom bunuh diri yang meledakkan gedung pemerintahan, 6 Desember 2010. Saat itu suaminya hendak mengambil uang duka anaknya yang tewas dibunuh, kata Bawaliha kepada DW. Banyak yang tewas dalam serangan itu. Baswaliha mengatakan, seorang perempuan yang hidup tanpa suami atau laki-laki dewasa di kawasan adat penuh risiko dan berbahaya.
Foto: Saba Rehman/DW
Jahit dan jual
Baswaliha ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak. “Tidak mudah. Saya merasa hidup saya tidak ada gunanya lagi, dan saya tidak bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini,” katanya. Dia menceritakan perempuan di desanya dilarang berbelanja sendiri ke pasar. Saat ini, pendapatan utamanya menjahit. Dia mematok harga sekitar 13 ribu hingga 15 ribu rupiah untuk satu setel pakaian wanita.
Foto: Saba Rehman/DW
Wajib didampingi lelaki
“Setelah ditinggal suami, saya biasa membuat jajanan roti dan anak perempuan saya yang kecil menjualnya kepada warga di jalanan utama. Namun ketika dia sudah mulai cukup besar, anak perempuan yang berkeliaran dicap jelek di sini,” jelasnya. “Saat itulah saya mulai membuat berbagai macam selimut.” Tetapi untuk ke pasar, dia harus ditemani seorang laki-laki, berapapun umur laki-laki tersebut.
Foto: Saba Rehman/DW
Akan ada lebih banyak kekerasan?
Ribuan keluarga di kawasan adat di utara dan barat laut Pakistan menjadi korban kekejaman kelompok ekstrem di daerahnya. Abdur Razaq, saudara ipar Baswaliha, mengatakan bahwa dia masih ingat saat Abdul Ghufran terbunuh dalam sebuah serangan kelompok Taliban. Dia berharap kawasan adat tidak berubah lagi menjadi daerah kerusuhan dan keganasan. (Teks S. Rehman/mh/hp)
Foto: Saba Rehman/DW
7 foto1 | 7
Dihantam krisis iklim, ekonomi dan politik
Kekerasan kembali berkecamuk di saat Pakistan sedang digoyang dua krisis sekaligus, yakni politik dan ekonomi. Kondisi semakin sulit usai bencana banjir yang meluluhlantakkan separuh negeri beberapa bulan silam.
Menurut Bank Sentral Pakistan, cadangan valuta asing sudah banyak berkurang dan berada di level USD 6,7 miliar, terendah dalam empat tahun terakhir.
"Pakistan masih akan menghadapi tantangan besar tahun depan: krisis ekonomi yang semakin dalam dan instabilitas politik,” kata Niloufer Siddiqui, Guru Besar Politik di University of New York, kepada DW.
Politik Pakistan enggan kondunsif sejak pemakzulan bekas PM Imran Khan dalam sebuah mosi tidak percaya di parlemen, April 2022 silam. Buntutnya, Khan berulangkali menggalang lautan massa untuk menuntut pemilihan umum.
"Pakistan dijuluki ‘negara krisis' bukan tanpa alasan,” kata Husain Haqqani, bekas duta besar Pakistan untuk Amerika Serikat. "Kami sudah menghadapi krisis sejak kemerdekaan. Tapi tanpa perubahan drastis, situasinya mustail berubah di tahun 2023.”