1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Hubungan antara Suriah dan Turki

Anne Allmeling8 Oktober 2012

Sejak pecahnya konflik di Suriah, hubungan dengan negara tetangga Turki memburuk permanen. Tapi perang, tidak diinginkan oleh Ankara dan Damaskus.

** CORRECTS SPELLING ** Syrian President Bashar Assad, right, shakes hands with the Turkish Prime Minister Recep Tayyip Erdogan at Ash-Shaeb presidential palace in Damascus, Syria, Saturday, April 26, 2008. Erdogan flew to Syria to brief Assad on the Israeli Prime Minister Ehud Olmert’s peace overture. Israel and Syria’s last round of direct talks broke down in 2000. (AP Photo/ Bassem Tellawi)
Erdogan saat kunjungi Assad di Damaskus (26/04, 2008)Foto: AP

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Suriah Bashar al Assad, cukup lama dikenal sebagai arsitek kemitraan baru Turki-Suriah. Keluarga kedua politisi bahkan menghabiskan sebagian waktu liburannya bersama-sama.

Tapi hubungan yang pernah erat antara Ankara dan Damaskus, selama satu setengah tahun terakhir memburuk demikian dramatis. Ketika menjadi jelas, bahwa Assad menumpas dengan kekerasan aksi protes yang mula-mula masih berlangsung damai terhadap rezimnya, Erdogan memalingkan muka dari Assad. Sementara ini pemerintah Turki secara terbuka mendukung oposisi Suriah.

Keluarga Assad berlibur di Bodrum Turki bersama dengan keluarga ErdoganFoto: AP

„Akan ditunjukkan, di sisi mana orang berdiri pada sejarah yang benar, jadi pada sisi pemberontak,“ dikatakan Voker Perthes, ketua Stiftung Wissenschaft und Politik (Yayasan Ilmu pengetahuan dan politik) di Berlin. „Orang ingin membantu oposisi, tapi dengan mencari kemungkinan tidak melibatkan diri secara langsung dalam peperangan.“

Bagi Turki dampak sebuah perang tidak dapat dibayangkan. Karena di perbatasan Turki-Suriah, negara itu punya dua musuh. Yakni militer Suriah dan kelompok pemberontak Kurdistan PKK. Warga Kurdi merupakan kelompok warga terbesar kedua yang tidak memiliki negara dan terutama bermukim di Turki, Irak, Iran dan Suriah.

Sejak hampir 30 tahun PKK berjuang untuk membentuk negara sendiri atau setidaknya memperoleh otonomi. PKK melancarkan aksinya dengan serangan berdarah, serangan-serangan bom, terutama di kawasan teritorial Turki.

Serangan granat mortir Suriah di Akcakale Turki tewaskan lima warga Turki (04/10)Foto: Reuters

Dukungan Bagi PKK

Pada tahun 1990-an Damaskus pernah mendukung PKK dan menjamin ruang perlindungan bagi PKK di kawasan Suriah. Penyebabnya, karena kala itu Turki menjalin hubungan baik dengan Israel. Pada masa-masa Perang Dingin, Israel dan Turki dipandang sebagai pro Barat, sementara Suriah cenderung berorientasi kepada kepentingan Uni Sovyet.

Dengan berakhirnya perang dingin, perbedaan pandangan antara Suriah dan Turki berkurang. Tahun 2002 dengan kemenangan partai AKP yang berorientasi Islam di bawah pimpinan Erdogan ke pucuk pemerintahan, Turki ingin memperluas kekuatan di dunia Arab. Juga untuk menjamin perluasan pasar bagi perekonomian Turki yang sedang berkembang. Hubungan baik dimulai Turki dengan menjadi mediator bagi Suriah dan Israel, untuk menciptakan perdamaian abadi di antara kedua negara.

Manuver Militer Bersama

Pembicaraan-pembicaraan mulai macet sehubungan Perang Gaza di awal tahun 2009. Hubungan antara Turki dengan Israel memburuk drastis dan sejak itu latihan militer bersama ditiadakan. Solidarita Panislamis bagi Erdogan memiliki nilai lebih tinggi dibanding kerjasama dengan Israel yang merupakan mitra Amerika Serikat. Oleh karena itu hubungan dengan Suriah mula-mula menjadi lebih erat.

Tapi kemitraan politik tidak bertahan lama. Dan pada beberapa bulan terakhir kembali terjadi permusuhan sengit. Di kawasan utara Suriah yang banyak dihuni warga Kurdi, militer Suriah semakin mengurangi kehadirannya. Kini di sana terutama partai Uni Demokrat PYD , yang dikenal sebagai perpanjangan PKK di Suriah yang memiliki suara. Memang baru-baru ini PYD mewajibkan diri tidak akan melakukan penyerangan terhadap Turki. Tapi banyak pengamat memperkirakan, bahwa PYD dan rezim Assad akan melakukan hal bersama. Dan itu hendak dihindari Turki.

Tentara Turki berjaga di perbatasan dengan SuriahFoto: AFP/Getty Images

Lampu Hijau untuk Operasi Militer

Ankara tidak berminat untuk terlibat perang. „Turki ingin agar rezim Bashar al-Assad dibubarkan lewat rezim yang disetujui oleh oposisi, dimana rezim itu memiliki pengaruh lebih besar.“ Demikian dikatakan pakar politik Volker Perthes. „Namun mereka tidak ingin pihak militer yang akhirnya harus melakukan itu.“ Sebaliknya Turki mengijikan pemasokan senjata bagi kelompok oposisi di Suriah melalui perbatasan Turki.

Tapi Assad juga tidak memiliki minat untuk berperang dengan Turki. „Itu akan berarti mempercepat keruntuhan rezimnya,“ kata Volker Perthes. Karena siapapun yang selama ini bersikap netral, jika terjadi perang kemungkinan besar akan memalingkan diri dari Assad. Itu juga berlaku bagi banyak pendukungnya. Seandainya bentrokan senjata dengan Turki masih dalam batas tertentu, bagi Assad itu bererti memenuhi tujuan pentingnya. Yakni terus menyulut ketakutan pecahnya perang yang meluas ke seluruh kawasan.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait