1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Minim Diplomasi Informal, Krisis India-Pakistan Kian Memanas

28 Mei 2025

Tanpa peran masyarakat sipil di balik layar, India dan Pakistan kesulitan meredakan isu sensitif seperti Kashmir.

Upacara perbatasan di penyeberangan perbatasan Wagah, India-Pakistan tahun 2003
Ketegangan antara India dan Pakistan mengalami pasang surut selama beberapa dekadeFoto: Aman Sharma/AP Photo/picture alliance

Selama bertahun-tahun, dialog informal yang difasilitasi LSM dan kelompok masyarakat sipil telah memainkan peran penting dalam menjembatani India dan Pakistan.

Proses ini dikenal sebagai "diplomasi jalur kedua" yang melibatkan LSM, anggota masyarakat sipil, dan aktivis perdamaian. Biasanya, mereka bekerja untuk mencari solusi potensial dari berbagai krisis lewat dialog dengan para pemangku kepentingan. Pemerintah kerap menggunakan masukan dari mereka sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan.

Rutinnya pendanaan dari donor Barat memungkinkan terjadinya pertemuan informal di wilayah netral di berbagai belahan dunia. Lewat cara ini, perspektif yang saling bertolak belakang pun bisa dipertemukan dan saling bertukar pandangan.

Namun kini, cara ini menjadi kurang efektif. Selain persoalan pendanaan, kedua pemerintah kian menolak ajakan dialog.

Setelah India dan Pakistan ada di ambang perang pada April lalu, pihak Jalur Kedua dari kedua negara telah memberikan pernyataan bersama untuk meredakan ketegangan.

“Kami percaya bahwa menyulut histeria perang dan membiarkan ketegangan terus berlarut hingga berubah menjadi konflik militer hanya akan membawa kehancuran bagi kedua negara dan masyarakat yang menginginkan perdamaian," bunyi pernyataan tersebut.

Pernyataan itu dirilis seminggu setelah serangan terjadi dan seminggu sebelum India melancarkan serangan lintas batas, yang juga dikenal sebagai "infrastruktur teror" di Pakistan. Ketegangan akhirnya mereda setelah kedua pihak sepakat melakukan gencatan senjata.

Sushobha Barve adalah salah satu pendiri sekaligus sekretaris eksekutif Centre for Dialogue and Reconciliation (CDU), sebuah lembaga think tank yang berbasis di New Delhi dan berfokus pada resolusi konflik. Kepada DW, ia mengatakan bahwa diplomasi jalur kedua kini tengah mengalami kemunduran.

“Ketika pemerintah tidak terlibat dalam dialog formal apa pun, diplomasi jalur kedua kehilangan relevansinya — dan bersama itu, pendanaannya pun ikut terhenti,” ujar Barve.

Bagaimana kelompok masyarakat sipil membantu India dan Pakistan?

Jurnalis Pakistan, Imtiaz Alam, merupakan salah satu pendiri LSM South Asia Free Media Association (SAFMA), bersama rekannya dari India, Vinod Sharma. Kepada DW, ia mengatakan bahwa diplomasi jalur kedua memungkinkan terjadinya dialog di luar jalur formal seperti komisi tinggi atau lembaga intelijen.

Selain SAFMA, sejumlah kelompok penting lainnya juga memainkan peran besar dalam mendorong dialog antara pejabat kedua negara. Beberapa di antaranya adalah South Asia Media Association (SAMA), Pakistan-India People's Forum for Peace and Democracy (PIPFPD), Pakistan-India Parliamentary Forum (PIPF), Chaophraya Dialogue, Neemrana Dialogue, Women's Peace Initiatives, dan Southasia Peace and Action Network (Sapan).

Selama beberapa tahun ke belakang, berbagai organisasi tersebut telah berhasil membantu membangun kesepakatan antara India dan Pakistan, terutama soal Kashmir. Kedua negara sama-sama mengklaim wilayah tersebut secara penuh, tapi hanya menguasainya sebagian, menjadikannya titik konflik berkepanjangan antara dua negara bersenjata nuklir tersebut.

Antara tahun 2005 hingga 2015, CDU memimpin serangkaian dialog masyarakat sipil terkait Kashmir. Inisiatif ini memungkinkan terjalinnya kontak antarwarga dan mendorong perdagangan lintas batas.

Bahkan, kedua mantan Perdana Menteri, Manmohan Singh dari India dan Pervez Musharraf dari Pakistan sempat sepakat untuk menciptakan “perbatasan yang lebih lunak”.

Barve dari CDU, yang telah hampir 40 tahun bekerja dalam bidang dialog dan rekonsiliasi di wilayah-wilayah terdampak kekerasan di India dan Asia Selatan, mengatakan bahwa pertemuan-pertemuan dengan para pemangku kepentingan tersebut menarik perhatian hingga ke tingkat tertinggi pemerintahan.

“Yang memperhatikan bukan cuma kalangan birokrasi — bahkan perdana menteri sendiri beberapa kali menerima kami untuk mendengar langsung realita di lapangan (di Kashmir),” ujarnya.

Conciliation Resources, sebuah LSM jalur kedua lainnya, juga terlibat dalam dialog India-Pakistan yang telah berhasil membuka jalur perdagangan yang lebih aman antara wilayah Kashmir yang dikuasai kedua negara.

Truk pembawa barang dari Kashmir yang dikelola India memasuki wilayah Kashmir yang dikelola Pakistan pada tahun 2008Foto: Nasiruddin Mughal/epa/dpa/picture alliance

Diplomasi jalur kedua India-Pakistan mulai terkikis

Meski begitu, upaya diplomasi jalur kedua antara India dan Pakistan mulai terkikis usai serangan teror Mumbai pada 2008, yang dilakukan kelompok militan di Pakistan. Hantaman berikutnya datang pada 2019 ketika New Delhi mencabut status semi-otonom Jammu dan Kashmir yang memicu kemarahan besar masyarakat lokal.

Pada 2015, organisasi pro-demokrasi Jerman, Friedrich Ebert Stiftung (FES), sempat fokus pada “penguatan kerja sama regional dan perdamaian di kawasan Asia Selatan”, dan menginisiasi dialog-dialog pembangunan kepercayaan antara para pemangku kepentingan dari India dan Pakistan. Namun kini, fokus FES di kawasan Asia Selatan telah bergeser.

Direktur FES India, Christoph Mohr, mengatakan kepada DW bahwa pada tahun 2025, FES India “tidak bekerja pada isu seputar kawasan sekitar India, terutama Pakistan, dan juga tidak menjalankan mekanisme perdamaian regional apa pun.”

“Fokus kerja FES India dalam kebijakan luar negeri kini pada hubungan bilateral dengan Jerman dan Uni Eropa, perdagangan, serta posisi India di panggung global,” tulis Mohr melalui e-mail.

Sektor LSM kian melemah di India

Pemerintahan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi juga turut memberi tekanan pada LSM asing yang beroperasi di India.

Pada tahun 2018, keputusan pemerintah India untuk mengubah Foreign Contribution Regulation Act (FCRA) membuat banyak organisasi kehilangan izin operasional mereka, sehingga menyebabkan berbagai inisiatif perdamaian kekurangan sumber daya yang dibutuhkan.

Salah satu kelemahan dari diplomasi jalur kedua adalah pendekatannya yang masih terbatas pada kalangan elit, dan belum mampu menjangkau masyarakat umum.

“Generasi muda saat ini lebih banyak dibentuk oleh konten kebencian yang viral ketimbang memori bersama tentang peristiwa pemisahan India dan Pakistan. Kesenjangan ini berbahaya,” ujar Rita Manchanda dari PIPFPD kepada DW.

Ia merujuk pada peristiwa pemisahan India setelah berakhirnya penjajahan Inggris pada 1947, yang menciptakan negara India dan Pakistan serta menyebabkan jutaan orang terusir dari tanah kelahirannya.

“Meski begitu, masih ada secercah harapan lewat inisiatif-inisiatif baru yang dipimpin anak muda, yang mencoba menghidupkan kembali ketertarikan terhadap warisan bersama,” tambahnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

Editor: Melisa Lolindu

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait