Krisis Laten Kekerasan Seksual terhadap Anak Lelaki di India
Hridi Kundu
2 Oktober 2025
Pelecehan seksual terhadap anak laki-laki masih menjadi topik tabu yang jarang dibicarakan di India. DW menyoroti perjuangan diam-diam para penyintas laki-laki yang kerap tidak terdengar.
Anak laki-laki dan remaja laki-laki sering enggan mengakui bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksualFoto: Anupam Nath/AP Photo/picture alliance
Iklan
Laporan ini memuat kesaksian dari seorang penyintas pelecehan seksual
Di negara bagian Kerala, India bagian selatan, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun mengaku mengalami pelecehan seksual selama lebih dari dua tahun oleh 14 pria yang ditemuinya melalui aplikasi kencan untuk komunitas LGBTQ+.
Polisi dilaporkan membuka penyelidikan terhadap 14 orang tersebut dan setidaknya 9 orang sudah ditangkap.
Kasus ini menyoroti adanya kekerasan seksual yang dialami anak laki-laki di India, negara yang selama ini lebih sering menjadi sorotan internasional karena serangan terhadap perempuan. Para ahli dan penyintas menekankan bahwa topik ini tetap dianggap tabu dan jarang diakui maupun dibicarakan.
Solusi Inovatif untuk Mengatasi Kasus Pelecehan Seksual
Hampir satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual setidaknya sekali seumur hidup, demikian laporan WHO 2021 lalu. Berikut ragam solusi digital sebagai upaya atasi pelecehan seksual.
Foto: Montira Narkvichien/UN Women | CC BY-NC-ND 2.0
Cincin alarm
Katya Romanovskaya awalnya pernah diserang. Pengalaman ini mendorongnya mendirikan perusahaan Nimb, yang menciptakan tombol darurat berbentuk cincin. Perhiasan buatan Rusia ini dirancang untuk memberi rasa aman pada perempuan. Jika tidak sengaja mengaktifkan peringatan, pengguna dapat membatalkannya dalam hitungan 20 detik. Namun, ada kata sandinya, jadi tidak semua orang bisa menghapusnya.
Foto: Mark Lennihan/AP/picture alliance
Cara kerja Nimb
Pengguna mengirimkan peringatan dan lokasi ke daftar nomor telepon yang telah dipilih sebelumnya. Pesan disampaikan dalam bentuk pemberitahuan baik berupa getaran, panggilan telepon, atau email. Orang yang memakai Nimb akan melihat cincin mereka bergetar dan tahu bahwa ada teman dan kerabat dalam bahaya. Informasi peringatan itu juga diteruskan ke layanan darurat dan kantor polisi.
Foto: Stephen Chung/ZUMA/imago
Berbicaralah kepada Spot
Insinyur dari Jerman dan Swiss menciptakan Spot, sebuah chatbot khusus yang memungkinkan karyawan melaporkan tuduhan pelecehan seksual secara anonim. Bot diprogram untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan informasi serta saran untuk membantu mereka menyelidiki insiden ini. Jawaban akan dirangkum ke dalam PDF, dengan lembar sampul yang tampak formal, yang dapat dikirim melalui email ke HRD.
Foto: Andriy Popov/PantherMedia/imago images
Sis bot buatan Thailand
Letkol Peabrom Mekhiyanont membuat chatbot yang memberikan informasi 24/7 bagi para penyintas kekerasan seksual. Bot ini dapat diakses melalui perangkat seluler atau komputer. Penyintas dapat mengirim pesan lewat Facebook Messenger, dan nanti akan otomatis dipandu terkait bagaimana cara melapor ke polisi, cara menyimpan barang bukti, dan layanan dukungan yang didapat para penyintas secara hukum.
Foto: Montira Narkvichien/UN Women | CC BY-NC-ND 2.0
Terkoneksi di malam hari dengan bthere
Aplikasi ini ditujukan untuk pengguna yang berusia 18-22 tahun demi mengurangi kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di AS. Teknologi ini berupaya untuk membantu penggunanya menghindari situasi berbahaya dengan mendorong mereka terkoneksi di malam hari. Alat ini dilengkapi dengan fitur berkirim pesan, berbagi lokasi, bahkan hadiah yang mendorong pengguna habiskan waktu bersama.
Foto: bthere
Bagaimana cara kerja bthere?
Pengguna mendaftar dan membuat "lingkaran" dengan teman kampus, keluarga, atau teman serumah, yang dapat bersifat permanen atau sementara, misalnya hanya untuk keluar malam di hari tertentu. Aplikasi ini memiliki dua tujuan yakni menjaga anak muda tetap aman, tetapi juga memberi peluang agar mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama dalam kehidupan nyata, dengan memanfaatkan kekuatan digital.
Foto: bthere
Callisto di kampus di Amerika Serikat
Kasus kekerasan seksual di berbagai kampus di AS mendasari terbentuknya Callisto. Platform ini dapat mendeteksi pelaku kekerasan seksual dengan teknologi AI yang menjalankan fungsi pencocokan. Penyintas akan melaporkan rincian pelaku ke dalam sistem, lalu penyintas lain juga memberi rincian serupa. Dengan cara ini, pelaku berantai dapat diidentifikasi terlepas dari afiliasi universitas.
Foto: Spencer Grant/imago images
Safecity di India
Dibentuk setelah kasus pemerkosaan Nirbhaya Gang 2012 di India, platform Safecity menjadi tempat berbagi cerita tentang pelecehan seksual atau pemerkosaan yang terjadi. Dengan menggunakan teknologi AI, secara visual akan terlihat lokasi berbahaya, dan rute aman. Lewat laporan berbasis crowdsoursing ini, otoritas keamanan dan pembuat kebijakan diharapkan dapat menciptakan ruang aman. (ts/ha)
Foto: safecity
8 foto1 | 8
Rasa malu, diam, dan stigma
DW mewawancarai seorang penyintas laki-laki berusia 24 tahun yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.
Iklan
Ia menceritakan bagaimana dirinya “dimanfaatkan” saat masih kecil oleh kerabatnya sendiri, orang-orang yang ia percaya, hormati, dan anggap sebagai pelindung.
Rasa diam terhadap pelecehan yang dialami, kata dia, tidak lepas dari tekanan sosial bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh bersuara.
“Pandangan masyarakat tentang maskulinitas mengatakan bahwa jika kamu berbicara, kamu kehilangan kelelakianmu,” ujarnya.
Sosiolog Vijaylakshmi Brara mengatakan kepada DW bahwa keengganan untuk mengakui laki-laki sebagai korban berasal dari pandangan tradisional tentang maskulinitas, di mana laki-laki dianggap dominan bukan korban.
"Pandangan tradisional tentang ‘kejantanan' menempatkan laki-laki sebagai sosok kuat dan superior sehingga sulit diterima bahwa laki-laki juga bisa rentan atau menjadi korban kekerasan," jelas Brara.
Menentang Norma-norma Gender di Taiwan
00:53
This browser does not support the video element.
Dalam pemikiran arus utama, katanya, pengalaman korban laki-laki sering diabaikan karena masyarakat patriarkal tidak mampu atau tidak mau menerima bahwa laki-laki dan anak laki-laki bisa menjadi korban kejahatan semacam ini.
"Masyarakat sangat terikat pada keyakinan bahwa hanya perempuanlah yang bisa menjadi korban sehingga pengalaman laki-laki nyaris tidak terlihat," sambungnya.
Hal ini juga dirasakan oleh penyintas yang diwawancarai DW.
"Tidak ada yang membayangkan anak laki-laki bisa dilecehkan," ungkap dia. "Kalau seorang anak laki-laki (melapor mengalami pelecehan seksual), ia sering malah ditertawakan."
Sebuah studi nasional yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak India pada tahun 2007 menemukan bahwa lebih dari separuh anak laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual, dengan hampir seperempatnya menghadapi bentuk pelecehan berat.
Meskipun penelitian itu menggunakan metode convenience sampling (berdasarkan kemudahan dan ketersediaan), bukan sampel representatif, statistik tersebut perlu dibaca dengan hati-hati, temuan itu tetap menunjukkan bahwa masalah ini tersebar luas.
10 Negara Di Mana Kekerasan Seksual Jadi Hal Lazim
Sekjen PBB Ban Ki Moon nyatakan data tunjukkan, kekerasan seksual jadi hal lazim di 19 negara yang dirundung konflik. Ditegaskan, kelompok ekstrimis jadi pelaku paling kejam. Berikut 10 negara di antaranya.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Afghanistan
Kejahatan seksual seperti pemerkosaan adalah isu besar di Afghanistan. Menurut undang-undang pelaku pemerkosaan dihukum berat jika terbukti bersalah. Namun pada kenyataannya, kejahatan itu jarang dilaporkan. Terutama karena korban kejahatan seksual menghadapi risiko jauh lebih besar lagi, jika mereka berani melapor.
Foto: AFP/Getty Images/A. Karimi
Republik Afrika Selatan
Negara ini menghadapi banyak masalah, antara lain konflik tak kunjung henti yang juga menyebabkan keadaan ekonominya parah. Posisi kaum perempuan sangat rentan dalam situasi seperti ini, sehingga mereka kerap jadi korban kekerasan. Foto: pasar di ibukota Bangui.
Foto: Sia Kambou/AFP/Getty Images
Kolumbia
Kekerasan bersenjata di negara itu menyebabkan tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan. Pemerintah Kolumbia berkali-kali dituduh gagal menyelidiki laporan tindak kekerasan seksual. Tindak kriminal itu kerap terjadi terhadap perempuan yang terpaksa mengungsi. Selain itu angka kekerasan domestik juga tinggi. Foto: demonstrasi bagi hak-hak perempuan dan anti kekerasan di Bogota.
Foto: GUILLERMO LEGARIA/AFP/GettyImages
Republik Demokrasi Kongo
Menurut studi, diperkirakan lebih dai 400.000 perempuan diperkosa di Republik Demokrasi Kongo tiap tahunnya. Pemerkosaan kerap dijadikan "senjata perang" oleh pihak-pihak yang bertikai. Foto: seorang perempuan menunggu hasil proses pengadilan terhadap 11 tentara yang dituduh melakukan pemerkosaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di kota Baraka.
Foto: AP
Irak
Sekjen PBB mengimbau pemerintah Irak untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan no 1325 (2000) termasuk melatih aparat keamanan untuk membela hak-hak perempuan. Juga melaksanakan program reintegrasi perempuan dan anak-anak yang jadi korban kekejaman ISIS. Foto: sebuah keluarga Yazidi di Ba Adre, Irak. Mereka terpaksa mengungsi akibat sepak-terjang ISIS.
Foto: Imago/ZUMA Press
Libya
Korban kekerasan seksual lazimnya tidak mendapat pertolongan. Sebaliknya, korban sering dianggap mencoreng nama keluarga dan komunitas. Ia bisa menghadapi kekerasan serius dari orang-orang yang seharusnya membela, bahkan bisa dibunuh dengan dirajam. Foto: demonstrasi kaum perempuan. Mereka menyatakan, "Tripolis adalah ibukota semua orang Libya, tapi tanpa senjata."
Foto: DW/V. Stocker
Mali
Sekjen PBB Ban Ki Moon menyerukan kepada pemerintah Mali, merumuskan strategi nasional untuk memerangi kekerasan seksual dan kekerasan lain berdasarkan gender. Pemerintah diimbau untuk bekerjasama dengan badan PBB United Nations Action against Sexual Violence in Conflict, Foto: seorang perempuan pengungsi Mali, di dekat perbatasan dengan Aljazair.
Foto: DW/El Kebir Nour El Hayet
Myanmar
Myanmar diimbau oleh Sekjen PBB Ban Ki Moon agar melaksanakan agenda reformasi dan ambil langkah konkret untuk menjaga keamanan korban kekerasan seksual akibat konflik etnis, dan menyeret pelakunya ke pengadilan. Foto:seorang perempuan sedang memandang pamflet yang disebarkan partai politik saat kampanye pemilu.
Foto: AP
Somalia
Korban pemerkosaan di ibukota Mogadishu menurut Amnesty International, mayoritasnya adalah pengungsi. PBB catat 1.700 kasus pemerkosaan di tempat penampungan pengungsi. Sepertiga korban berusia di bawah 18. Sekitar 70% pelaku adalah pria berseragam. Foto: kaum perempuan yang mengungsi akibat kekerasan dan bencana kekeringan di kamp pengungsi Dadaab.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/GettyImages
Suriah
Sejak meletusnya perang saudara di Suriah tahun 2011, aksi kekerasan seksual dan kekerasan gender meningkat. Terutama ISIS praktekan perbudakan seks dan pelecehan kaum perempuan. Banyak warga Suriah yang lari akibat perang, pemboman udara dan kekerasan ISIS ke negara tetangga Turki. Foto: Perempuan dan anak-anak pengungsi Suriah di daerah Suruc, di bagian tenggara Turki.
Foto: picture-alliance/epa/S. Suna
10 foto1 | 10
Penyintas laki-laki kerap diabaikan
Nandini Bhattacharya, seorang advokat bagi penyintas laki-laki, mengatakan kepada DW bahwa korban pelecehan seksual laki-laki menghadapi tantangan psikologis yang unik, termasuk rasa malu yang mendalam dan isolasi akibat ketidakpercayaan umum terhadap cerita mereka.
Para penyintas harus menghadapi budaya menyalahkan korban yang terkait dengan norma gender tradisional, di mana laki-laki diharapkan menjadi pelindung dan pencari nafkah, sementara perempuan dianggap lemah dan rapuh.
"Ada perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, cemas, kesulitan mengekspresikan emosi maupun keintiman, yang sering berujung pada sikap diam dan enggan mencari bantuan atau melaporkan pelecehan," papar Bhattacharya.
Budaya diam ini juga membuat anak laki-laki sering terabaikan dalam diskusi tentang pelecehan, kata penulis feminis Yashodhara Ray Chaudhuri.
"Berlawanan dengan anggapan umum, anak laki-laki mengalami pelecehan dengan tingkat yang setara dengan anak perempuan, termasuk kasus yang melibatkan pelaku perempuan," ujarnya.
Menurut Chaudhuri, banyak laki-laki baru mengungkap pengalaman mereka bertahun-tahun kemudian secara pribadi. Hal ini menegaskan pentingnya menghadapi tabu sosial dan memperluas pemahaman tentang pelecehan seksual di luar kerangka gender yang kaku.
Seorang gadis memegang papan bertuliskan "You should protect us not hurt us" saat unjuk rasa menentang kekerasan seksual di New DelhiFoto: Oinam Anand/dpa/picture alliance
Melindungi anak tanpa memandang gender
Chaudhuri menekankan perlunya undang-undang yang lebih kuat dan bersifat netral gender, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual (POCSO), yang dirancang untuk melindungi semua anak dari pelecehan seksual tanpa memandang jenis kelamin.
“Segala bentuk kekerasan atau pelecehan fisik terhadap tubuh manusia harus dianggap sama buruknya, tanpa memandang situasi atau gender,” tegas Chaudhuri.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara dan Muhammad Hanafi