1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Laten Kekerasan Seksual terhadap Anak Lelaki di India

Hridi Kundu
2 Oktober 2025

Pelecehan seksual terhadap anak laki-laki masih menjadi topik tabu yang jarang dibicarakan di India. DW menyoroti perjuangan diam-diam para penyintas laki-laki yang kerap tidak terdengar.

Seorang anak laki-laki berjalan dengan hasil tangkapannya di pundak setelah memancing di Desa Panbari, India
Anak laki-laki dan remaja laki-laki sering enggan mengakui bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksualFoto: Anupam Nath/AP Photo/picture alliance

Laporan ini memuat kesaksian dari seorang penyintas pelecehan seksual

Di negara bagian Kerala, India bagian selatan, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun mengaku mengalami pelecehan seksual selama lebih dari dua tahun oleh 14 pria yang ditemuinya melalui aplikasi kencan untuk komunitas LGBTQ+.

Polisi dilaporkan membuka penyelidikan terhadap 14 orang tersebut dan setidaknya 9 orang sudah ditangkap.

Kasus ini menyoroti adanya kekerasan seksual yang dialami anak laki-laki di India, negara yang selama ini lebih sering menjadi sorotan internasional karena serangan terhadap perempuan. Para ahli dan penyintas menekankan bahwa topik ini tetap dianggap tabu dan jarang diakui maupun dibicarakan.

Rasa malu, diam, dan stigma

DW mewawancarai seorang penyintas laki-laki berusia 24 tahun yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.

Ia menceritakan bagaimana dirinya “dimanfaatkan” saat masih kecil oleh kerabatnya sendiri, orang-orang yang ia percaya, hormati, dan anggap sebagai pelindung.

Rasa diam terhadap pelecehan yang dialami, kata dia, tidak lepas dari tekanan sosial bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh bersuara.

“Pandangan masyarakat tentang maskulinitas mengatakan bahwa jika kamu berbicara, kamu kehilangan kelelakianmu,” ujarnya.

Sosiolog Vijaylakshmi Brara mengatakan kepada DW bahwa keengganan untuk mengakui laki-laki sebagai korban berasal dari pandangan tradisional tentang maskulinitas, di mana laki-laki dianggap dominan bukan korban.

"Pandangan tradisional tentang ‘kejantanan' menempatkan laki-laki sebagai sosok kuat dan superior sehingga sulit diterima bahwa laki-laki juga bisa rentan atau menjadi korban kekerasan," jelas Brara.

Menentang Norma-norma Gender di Taiwan

00:53

This browser does not support the video element.

Dalam pemikiran arus utama, katanya, pengalaman korban laki-laki sering diabaikan karena masyarakat patriarkal tidak mampu atau tidak mau menerima bahwa laki-laki dan anak laki-laki bisa menjadi korban kejahatan semacam ini.

"Masyarakat sangat terikat pada keyakinan bahwa hanya perempuanlah yang bisa menjadi korban sehingga pengalaman laki-laki nyaris tidak terlihat," sambungnya.

Hal ini juga dirasakan oleh penyintas yang diwawancarai DW.

"Tidak ada yang membayangkan anak laki-laki bisa dilecehkan," ungkap dia. "Kalau seorang anak laki-laki (melapor mengalami pelecehan seksual), ia sering malah ditertawakan."

Sebuah studi nasional yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak India pada tahun 2007 menemukan bahwa lebih dari separuh anak laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual, dengan hampir seperempatnya menghadapi bentuk pelecehan berat.

Meskipun penelitian itu menggunakan metode convenience sampling (berdasarkan kemudahan dan ketersediaan), bukan sampel representatif, statistik tersebut perlu dibaca dengan hati-hati, temuan itu tetap menunjukkan bahwa masalah ini tersebar luas.

Penyintas laki-laki kerap diabaikan

Nandini Bhattacharya, seorang advokat bagi penyintas laki-laki, mengatakan kepada DW bahwa korban pelecehan seksual laki-laki menghadapi tantangan psikologis yang unik, termasuk rasa malu yang mendalam dan isolasi akibat ketidakpercayaan umum terhadap cerita mereka.

Para penyintas harus menghadapi budaya menyalahkan korban yang terkait dengan norma gender tradisional, di mana laki-laki diharapkan menjadi pelindung dan pencari nafkah, sementara perempuan dianggap lemah dan rapuh.

"Ada perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, cemas, kesulitan mengekspresikan emosi maupun keintiman, yang sering berujung pada sikap diam dan enggan mencari bantuan atau melaporkan pelecehan," papar Bhattacharya.

Budaya diam ini juga membuat anak laki-laki sering terabaikan dalam diskusi tentang pelecehan, kata penulis feminis Yashodhara Ray Chaudhuri.

"Berlawanan dengan anggapan umum, anak laki-laki mengalami pelecehan dengan tingkat yang setara dengan anak perempuan, termasuk kasus yang melibatkan pelaku perempuan," ujarnya.

Menurut Chaudhuri, banyak laki-laki baru mengungkap pengalaman mereka bertahun-tahun kemudian secara pribadi. Hal ini menegaskan pentingnya menghadapi tabu sosial dan memperluas pemahaman tentang pelecehan seksual di luar kerangka gender yang kaku.

Seorang gadis memegang papan bertuliskan "You should protect us not hurt us" saat unjuk rasa menentang kekerasan seksual di New DelhiFoto: Oinam Anand/dpa/picture alliance

Melindungi anak tanpa memandang gender

Chaudhuri menekankan perlunya undang-undang yang lebih kuat dan bersifat netral gender, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual (POCSO), yang dirancang untuk melindungi semua anak dari pelecehan seksual tanpa memandang jenis kelamin.

“Segala bentuk kekerasan atau pelecehan fisik terhadap tubuh manusia harus dianggap sama buruknya, tanpa memandang situasi atau gender,” tegas Chaudhuri.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara dan Muhammad Hanafi

Editor: Hani Anggraini