Krisis Pengungsi: Eropa Hadapi Momentum Menentukan
Grahame Lucas
4 September 2015
Respon Uni Eropa terhadap krisis pengungsi sejauh ini tetap kacau balau, diselingi episode solidaritas dan friksi anggota. Langkah Eropa di hari-hari mendatang akan menentukan masa depannya. Perspektif Grahame Lucas.
Iklan
Sejarah Uni Eropa dalam 50 tahun terakhir menunjukan: aliansi ini tidak pernah bereaksi bagus menghadapi krisis. Pembuatan kebijakan politik bersama lamban dan tidak praktis. Keputusan sulit selalu ditunda-tunda. Uni Eropa perlu reformasi. Mayoritas warga Eropa mengetahui, bahwa Uni Eropa hanya akan mengambil langkah reformasi penting, jika hal itu sudah mendesak tidak bisa dihindari lagi.
Sekarang, krisis berikutnya yang lebih gawat sudah melanda. Yakni krisis pengungsi terbesar di Eropa setelah berakhirnya perang dunia kedua. Tekanan yang memaksa para pengungsi berbondong datang ke Eropa amat berat dan seringkali mematikan. Kita juga harus menyadari, banyak pengungsi dari Suriah atau Irak dan negara-negara lainnya, tiba di Eropa lewat tangan bandit pedagang manusia yang brutal dan tak kenal perikemanusiaan. Akibatnya adalah penderitaan dan kematian ribuan pengungsi.
Cara Jerman Menolong Pengungsi
Hampir setiap hari ada tempat penampungan pengungsi yang dibakar di suatu tempat di Jerman. Tapi di samping berita buruk seperti itu, ada berita bagus. Yaitu bagaimana ribuan warga Jerman ulurkan tangan bagi pengungsi.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Endig
Pesta Penyambutan
Pengungsi dan sukarelawan menari bersama dalam pesta penyambutan. 600 pemohon suaka di Heidenau ditempatkan di gedung bekas toko bahan bangunan, dan dilindungi pagar tinggi. Sebelumnya mereka takut meninggalkan tempat penampungan, karena kelompok ekstrem kanan mengadakan perusakan dan meneriakkan kecaman berhari-hari. Pesta diorganisir ikatan Dresden Bebas dari kelompok NeoNazi.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Willnow
Selamat Datang di Sylt
Joachim Leber (tengah) membimbing keluarga dari Suriah ini. Ia adalah anggota organisasi Integrationshilfe Sylt (bantuan integrasi Sylt). Di pulau itu sekitar 120 pengungsi ditampung. Sebagian besar dari mereka berasal dari Afghanistan, Somalia dan Suriah. Sukarelawan mengajar mereka bahasa Jerman, memberi sokongan moral, dan jadi anggota keluarga. "Jerman juga dibantu setelah PD II," kata Leber.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Marks
Klub Sepak Bola Welcome United O3
Henning Eich dari klub Lok Potsdam menyambut para pemain dari klub Welcome United 03. Inilah tim sepak bola pertama Jerman yang sepenuhnya terdiri dari pengungsi. Klub ini langsung menang 3:2 dalam pertandingan lawan klub Lok Potsdam. Mereka bisa ikut main karena upaya klub SV Babelsberg . "Sepak bola menyatukan," kata Manja Thieme, yang mengurus tim internasional beranggotakan 40 orang.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Mehlis
Sepeda bagi Pengungsi
Tobias Fleiter memompa ban sepeda bagi seorang pengungsi dari Togo. Proyek "Bikes without Borders" adalah inisiatif dua sukarelawan. Awalnya mereka hanya punya lima sepeda. Sekarang tim sudah beranggotakan 15 sukarelawan, dan sudah memperbaiki serta menyediakan 200 sepeda. Inisiatif di Karlsruhe ini beri kesempatan kepada pemohon suaka untuk punya sarana transportasi.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Deck
Aman di Jalan
Bagaimana caranya naik kereta dari A ke B? Apa artinya tanda-tanda ini? Di mana saya bisa beli karcis? Itu dipelajari pengungsi dari Suriah di Halle, negara bagian Sachsen-Anhalt, di stasiun utama kota itu. Seorang polisi juga menunjukkan, bahwa mereka harus berdiri di belakang garis putih, jika sebuah kereta datang. Jika tidak bisa berbahaya.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Schmidt
Ikatan Perenang Pertama bagi Pengungsi
Di Schwäbisch Gmünd, pengungsi bisa belajar berenang. Ludwig Majohr (pakai topi) memberikan pelajaran berenang. Ikatan yang baru didirikan terutama harus mendorong integrasi, demikian Majohr. "Kami para perenang saling bantu", kata sukarelawan lain, Roland Wendel. "Kami tidak menanyakan nasionalitas." Delapan orang yang sudah pensiun dari profesi mereka aktif membantu pengungsi.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Puchner
Bayi Pengungsi Pertama
49 sentimeter, 3.000 gram. Sophia nama bayi perempuan ini. Ia adalah bayi pertama, yang lahir di kapal angkatan bersenjata Jerman "Schleswig-Holstein". Ibunya, Rahmar Ali dari Somalia, jadi pengungsi yang beruntung mendapat bimbingan dokter menjelang melahirkan. "Dalam momen seperti inilah orang merasakan telah melakukan sesuatu yang berguna," kata seorang tentara, yang hadir saat Sophia lahir.
Foto: Reuters/Bundeswehr/PAO Mittelmeer
#WelcomeChallenge
Dengan tagar ini, lewat YouTube dan Facebook sekelompok orang yang memberikan bantuan sukarela menyerukan lebih banyak orang untuk ikut aktif. Mereka yang menolong, sumbangkan foto aksinya. Koki kenamaan Sarah Wiener juga diminta membantu. Ia membawa 150 porsi sup dan roti ke tempat penampungan di Berlin dan membaginya dengan senyum.
Foto: picture-alliance/dpa/G. Fischer
Bahasa Jerman untuk Sehari-Hari
Sebagi salah satu sukarelawan, Karl Landherr mengajarkan bahasa Jerman kepada seorang pemohon suaka di Thannhausen, Bayern. Landherr yang pensiunan kepala sekolah bersama beberapa rekan juga membuat buku untuk belajar bahasa Jerman bagi pengungsi. Bukunya berorientasi pada hidup sehari-hari, berisi banyak tips, dan sekarang digunakan di seluruh Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Puchner
Aktif di Tempat Penampungan Pakaian
Di tempat penampungan pengungsi di Berlin semua tempat penuh. Sebelumnya sudah ada tiga tempat baru yang dibuka. Salah satunya adalah sekolah Teske di Berlin Schöneberg yang tidak digunakan. Gedung ini bisa tampung 200 orang. Banyak sukarelawan juga aktif di sini, misalnya untuk mengatur tempat penampungan pakaian hasil sumbangan.
Foto: picture-alliance/dpa/B. von Jutrczenka
10 foto1 | 10
Jerman, menunjukan kedermawanan yang tidak ada bandingannya di negara Eropa lain. Inilah yang diperkirakan akan menarik kedatangan hingga 800.000 atau malahan satu juta pengungsi ke Eropa tahun ini. Di sisi lainnya ada negara Eropa yang tidak bersedia memberi bantuan darurat, dan hanya bersedia mengalihkan pengungsi ke negara lain, contoh paling nyata adalah Inggris dan Hongaria. Pemerintah Inggris kini menyatakan akan mengubah poltiknya. Tapi keputusan itu datang sangat terlambat.
Sementara Yunani dan Italia, yang jadi gerbang paling depan untuk masuknya pengungsi, kewalahan dan tak mampu lagi menangani pengungsi yang jumlahnya ratusan ribu.
Masalah makin rumit, dengan arus migran dari kawasan Balkan, yang "membonceng" gelombang pengungsi yang sebenarnya, demi mengecap rente ekonomi di negara makmur Eropa lainnya. Kini makin terlihat, bahwa Eropa harus memiliki politik suaka, yang mampu memenuhi kewajiban humaniternya tanpa harus membebani segelintir negara.
Para pimpinan Uni Eropa kini harus bertindak dipayungi dengan semangat solidaritas dan saling percaya, untuk mendefinisikan imigrasi macam apa yang mereka perlukan dan bagaimana membagi beban pengungsi secara adil. Langkah ini tidak boleh gagal, jika Uni Eropa ingin tetap eksis di bawah semangat solidaritas.
Kepala badan pengungsi PBB Antonio Guterres dengan tepat menggambarkan situasinya, bahwa ini adalah momentum yang menentukan bagi masa depan Uni Eropa.