1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Politik di Irak Berakhir

11 November 2010

Kompromi kekuasaan antara kedua fraksi terkuat, Aliansi al-Irqiya dan Koalisi Negara Hukum, mengakhiri krisis pemerintahan di Irak. Djalal Talabani dan Nuri al-Maliki akan tetap melanjutkan jabatannya

PM Irak, Nuri al-Maliki berhasil pertahankan jabatannya melalui kompromi kekuasaanFoto: AP

Kekosongan kekuasaan di Irak berakhir. Dua fraksi terkuat Irak, Aliansi al-Iraqiya dan Koalisi Negara Hukum akhirnya menyepakati kompromi kekuasaan, delapan bulan sejak pemilihan legislatif.

Hari Kamis (11/11) Parlemen Irak memilih Djalal Talabani untuk menjalani masa jabatan keduanya sebagai presiden, kendati sebagian politikus Sunni AL Iraqiya melakukan aksi keluar ruangan. Politikus Kurdi yang kini berusia 77 tahun tersebut harus menempuh putaran kedua setelah sebelumnya gagal meraih mayoritas mutlak lantaran aksi WO sebagian anggota fraksi Iraqiya.

Sebelumnya politikus Sunni, Osama al-Nudjaifi dipilih sebagai Presiden Parlemen Irak dengan suara mayoritas. Ia termasuk tokoh aliansi sekuler, al-Iraqiya yang memenangkan pemilu legislatif Maret lalu.

Pemilihan al-Nudjaifi yang kini berusia 54 tahun juga memandai berakhirnya krisis pemerintahan di Irak.

Dalam pidatonya, Talabani mengumumkan telah menugaskan politikus Syiah, Nuri al-Maliki untuk membentuk pemerintahan baru, meski koalisinya memiliki dua kursi lebih sedikit dibanding Aliansi al-Iraqiya.

Keikutsertaan kelompok etnis Kurdi, kaum Syiah dan Sunni pada pemerintahan Irak merupakan syarat utama bagi stabilitas Irak, "Saya berterimakasih kepada semua yang ikut menolong tercapainya inisiatif ini," kata Presiden wilayah otonomi Kurdi di Irak Utara, Massud Barsani. Ia merupakan tuan rumah dalam perundingan yang berlangsung selama tiga hari.


Butir lain kesepakatan antara kedua fraksi adalah pembentukan Dewan Keamanan Irak yang nantinya akan diisi oleh politikus dari kedua kelompok.

Rizki Nugraha//afp/ap/rtr
Editor: Ging Ginanjar