1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Politik di Turki

30 April 2007

Rakyat Turki dihadapkan pada pilihan sulit, memihak para jenderal atau kelompok Islam.

Aksi demonstrasi di Turki mengusung potret Atatürk
Aksi demonstrasi di Turki mengusung potret AtatürkFoto: AP

Sengketa antara militer dan pemerintah Turki berkaitan dengan pemilu presiden, disoroti dengan tajam harian-harian internasional. Harian Spanyol El Mundo yang terbit di Madrid berkomentar : Militer Turki jangan sampai menghambat proses demokrasi. Yang paling mencemaskan adalah pernyataan para jenderal, yang akan mencegah Islamisasi Turki, jika terpaksa dengan kekerasan senjata. Kita jangan lupa, sejak tahun 1960 militer Turki sudah melancarkan tiga kali kudeta. Tahun 1997 lalu militer juga memaksa pemerintahan untuk mundur. Uni Eropa harus memanfaatkan pengaruhnya, agar insiden semacam itu tidak terulang lagi dan kehendak rakyat dihormati. Demokrasi di Turki jangan sampai dikangkangi militer. Karena dengan itu, pencalonan Turki sebagai anggota Uni Eropa yang sudah amat rumit, akan semakin terkendala.

Sementara harian liberal kiri Hungaria Nepzabadsag yang terbit di Budapest menulis : Turki berada diantara para jenderal dan partai Islam. Model Atatürk merupakan impian kelompok neo-konservatif di AS. Bukti praktisnya adalah, dengan mengubah Turki dari sebuah negara Islam menjadi negara demokrasi. Dalam NATO Turki juga mengirimkan kontingen serdadu terbesar kedua. Dilema menyangkut negara hukum di Turki tidak menjadi hal yang memusingkan, jika NATO tiba-tiba memerlukan pangkalan udara Incirilik. Tapi Turki yang sama, yang kini hendak bergabung dengan Uni Eropa, yang ditakuti para mitra NATO, jika negara itu berada di bawah kekuasaan para jenderal. Ancaman para jenderal, merupakan argumen Uni Eropa, untuk menolak pendekatan Turki dengan alasan yang kini berbeda.

Harian liberal Austria Der Standard yang terbit di Wina dalam tajuknya menulis : Kali ini tidak akan terjadi kudeta militer di Turki. Krisis politik berat di Turki saat ini, dalam pandangan jangka menengah justru mengandung lebih banyak peluang positiv. Sebab, kudeta terbuka maupun pendirian sebuah negara teokratis di Turki, sekarang ini tidaklah realistis. Aksi demonstrasi menentang partai AKP dari PM Erdogan, bukan berarti meruncingnya polemik mengenai haluan politik di dalam demokrasi Turki. Keseimbangan politik harus tercipta. Sebab tekanan dari luar dan dari dalam negeri terhadap penentu kebijakan di Ankara, kini amat besar. Pendirian sebuah negara Islam di republik Turki, akan berarti tertutupnya kemungkinan menjadi anggota Uni Eropa.

Terakhir harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma menulis : Apakah rakyat Turki dapat mempercayai Abdullah Gül yang pekan ini kemungkinan terpilih menjadi presiden? Atau lebih mendukung para jenderal, yang hendak menabuh genderang perang, untuk memaksa mahkamah agung membatalkan pemilu? Jika Uni Eropa dapat bertindak, mereka pasti akan mendukung para demonstran yang menolak Gül dan menekan para jenderal untuk tetap diam di tangsinya. Sebab, jika para jenderal mengobrak-abrik demokrasi, hal itu akan menjadi argumen kuat bagi para penentang Turki di dalam Uni Eropa, untuk mencegah negara ini menjadi anggota.