1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Prabowo: Kontradiksi, Halusinasi, dan Amarah Publik

3 September 2025

Demo soal tunjangan DPR berubah jadi krisis politik. Respons Prabowo dinilai kontradiktif. Mulai dari gestur humanis, dukung aparat, alihkan isu. Namun, ia gagal menjawab tuntutan rakyat. Muncul gerakan baru: 17+8.

Prabowo memberi keterangan pers usai bertemu para ketua umum partai, MInggu (31/08)
Prabowo mengumpulkan eliter politik di Istana pada Minggu (31/08)Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP

Gelombang demonstrasi yang awalnya dipicu oleh kritik terhadap kenaikan tunjangan DPR, kini menjelma menjadi krisis politik terbesar di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kemarahan publik memuncak setelah beredar video anggota dewan berjoget di tengah isu kenaikan tunjangan, sementara rakyat bergelut dengan kesulitan ekonomi. Situasi makin memanas akibat serangkaian pernyataan pejabat yang dianggap tidak peka terhadap penderitaan masyarakat.

Amarah itu meledak ketika Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tewas dilindas kendaraan taktis polisi saat unjuk rasa. Nama Affan segera menjadi simbol kekecewaan publik, wajah ketidakadilan negara, sekaligus penanda retaknya jarak antara pemerintah dengan rakyat. Aksi meluas ke berbagai kota, membawa tuntutan pembatalan kebijakan DPR, evaluasi kepolisian, hingga kritik langsung terhadap kepemimpinan Prabowo.

Dalam sepekan, presiden merespons lewat tiga momen simbolik, seperti merilis video teguran kepada aparat usai kematian Affan, menggelar pertemuan dengan elite partai politik di Istana, dan menjanjikan kenaikan pangkat bagi polisi yang menjadi korban demonstrasi. 

Menurut pakar semiotika ITB, Acep Iwan Saidi, rangkaian respons itu justru menghadirkan pesan yang saling bertentangan bahkan memperlihatkan halusinasi kekuasaan yang menjauhkan presiden dari realitas publik.

Gestur humanis, kebijakan yang kontradiktif

Prabowo menunjukkan sisi humanis saat merilis video pertamanya terkait tragedi Affan. Ia menyampaikan kekecewaan atas tindakan aparat, meminta agar kasus diusut secara transparan, dan datang langsung menemui keluarga korban. Menurut Acep, sikap itu adalah simbol kuat kemanusiaan dari seorang pemimpin tertinggi negara.

"Secara semiotik, dia mengirim satu kode yang kontradiktif sebetulnya. Jadi di satu sisi misalnya dia mengatakan atau dia menyambangi ya… nah soal menyambangi ke rumahnya itu kan sebetulnya kalau kita lihat ini sejauh yang saya ketahui itu baru Prabowo. Jadi, di sini ada sisi-sisi kemanusiaan dari beliau yang cukup tinggi menurut saya,” ujarnya.

Namun, empati itu tidak diikuti dengan tindakan nyata dari negara. Tidak ada permintaan maaf resmi, tidak ada kejelasan soal sanksi bagi aparat, dan belum terlihat upaya serius untuk mereformasi kepolisian. "Nah, tetapi pada saat yang sama juga tindakan tegas terhadap polisi itu seperti apa gitu ya. Tidak jelas. Ini yang menurut saya melahirkan kode semiotik yang kontradiktif sebetulnya,” kata Acep.

Gestur personal Prabowo terbaca humanis, tetapi kebijakan negara tetap gamang. Dari sudut pandang semiotika, inilah kontradiksi pertama yang justru menimbulkan pertanyaan baru di benak publik.

Aksi demonstrasi masih berlangsung di Jakarta pada hari ini, Rabu (03/09)Foto: Levie Wardana/DW

Mengalihkan krisis hanya ke DPR

Langkah kedua, Prabowo mengundang ketua umum partai ke Istana pada Minggu (31/08) siang. Dalam pertemuan itu, ia mendesak DPR membatalkan tunjangan, meminta partai menindak tegas kader yang bermasalah, dan menyebut aksi massa berpotensi sebagai makar dan terorisme. Dari perspektif semiotika, momen ini menunjukkan upaya presiden membatasi krisis sosial politik hanya pada ranah legislatif.

"Dia mencoba mengalihkan persoalan ini seolah-olah itu hanya persoalan DPR dan anggota DPR. Jadi, tidak ada kaitannya dengan pemerintah, bahwa pemerintah masih benar kebijakannya,” kata Acep.

"Padahal kalau kita lihat sebetulnya apa yang terjadi di DPR itu sebetulnya kan buih ya, jadi dia mengarahkan itu ke soal permukaannya sementara yang substansinya tidak. Itu yang menurut saya kode antitesis,” tambahnya.

Apresiasi polisi, abaikan korban sipil

Dengan memberi kenaikan pangkat pada polisi yang terluka saat demo, Prabowo menunjukkan dukungan kuat pada institusi kepolisian. Polisi bukan hanya korban, tapi juga simbol kekuasaan negara. Lewat apresiasi ini, Prabowo ingin menegaskan bahwa negara berdiri di belakang aparat, meski publik justru menyoroti tindakan brutal mereka.

"Ini menurut saya juga kontradiktif. Kita tahu bahwa masyarakat, mahasiswa, dan lain-lain itu menuntut bagaimana tindakan brutal polisi, juga kemudian menuntut supaya misalnya Kapolri diganti,” kata Acep Iwan Saidi.

Menurutnya, apresiasi itu memperlihatkan dua wajah sekaligus. Presiden personal yang humanis terhadap aparat, tapi kepala negara menutup mata dari tuntutan sipil. "Pada saat yang sama kebijakannya mengabaikan pihak yang lain.”

Acep melanjutkan, dari perspektif semiotika, pesan itu terbaca sebagai upaya melindungi legitimasi negara dengan cara menjaga kepolisian, meski harus mengabaikan korban sipil.

Presiden Prabowo Subianto menjenguk sejumlah polisi yang terluka saat menangani kericuhan di RS Polri Kramat Jati, Senin (01/09)Foto: Firda/Detikcom

Permintaan percaya dan halusinasi kekuasaan

Prabowo dua kali meminta masyarakat percaya pada pemerintah, tapi dari sudut pandang semiotika pengulangan ini justru menunjukkan adanya krisis kepercayaan.

"Itu kan sebenarnya tindak tak sadar dari ucapan ya. Bahwa sebetulnya dia melihat masyarakat itu tidak percaya sama dia, sama pemerintahannya. Maka kemudian dia mengulang-ulang ya beberapa kali supaya percaya kepada pemerintahannya. Jadi ini lagi-lagi kemudian kontradiktif,” kata Acep.

Acep menambahkan, kontradiksi ini lahir dari bisikan informasi yang salah di sekitar presiden. "Saya katakan diciptakan semacam fatamorgana ya di dalam konflik politik itu, di mana Pak Presiden seolah-olah dia melihat sesuatu bahwa kebijakannya itu benar, diyakinkan mungkin oleh berbagai pihak. Padahal nyatanya sebaliknya. Itu kan jadi halusinasi,” jelasnya.

Narasi keberhasilan, laporan pejabat, hingga survei positif, menurut Acep, menciptakan halusinasi yang membuat presiden semakin jauh dari realitas yang dialami masyarakat.

Tragedi Affan Kurniawan: Aksi Demonstrasi Ojol Tuntut Keadilan di Depan Brimob

00:40

This browser does not support the video element.

Kegagalan meredam kemarahan publik

Prabowo menunjukkan sisi humanis, menyalahkan DPR, dan memberi penghargaan ke aparat. Namun, semua itu belum menjawab tuntutan utama rakyat, yakni permintaan maaf, evaluasi polisi, dan perubahan kebijakan yang nyata.

"Masih belum memberikan horizon harapan kepada para pengunjuk rasa itu, pada masyarakat. Jadi, tidak ada tanda-tanda celah untuk mengubah kebijakan yang sesungguhnya tuntutan rakyat,” ujar Acep Iwan Saidi.

Ia menegaskan, pendekatan Prabowo sejauh ini justru memperlihatkan kontradiksi antara gestur personal yang humanis dengan kebijakan yang tetap represif.

Alih-alih meredakan krisis, komunikasi politik Prabowo justru memperbesar kekecewaan publik. Dari sudut pandang semiotika, menurut Acep, rangkaian respons ini menunjukkan kegagalan presiden meredam kemarahan rakyat yang akhirnya memunculkan tuntutan baru: 17+8.

Editor: Hani Anggraini

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait