1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Yunani Perlu Penanganan Cepat

30 April 2010

Krisis Yunani tetap membayangi negara-negara pengguna mata uang Euro. Makin lama ditunda, penyelamatan Yunani makin mahal. Para pimpinan Eropa harus bertindak cepat.

Perdana Menteri Yunani George PapandreouFoto: AP

Harian Perancis Le Monde menulis:

Mulanya masalah yang dihadapi kelihatan mudah dipecahkan. Bagaimana membantu satu negara anggota mata uang Euro, yang kekuatan ekonominya tidak terlalu besar, untuk menanggulangi krisis keuangan yang tengah dihadapinya. Tentu saja situasinya mengesalkan, karena makin banyak fakta terungkap, bahwa pemerintah Yunani dulu memberikan keterangan tidak benar tentang situasi anggarannya. Tapi masalah yang dihadapi ketika itu sebenarnya tidak besar. Yunani perlu sekitar 30 miliar Euro, untuk membayar kreditnya yang jatuh tempo tahun 2010. Tapi sekarang masalahnya meluas dan akhirnya menggoyang seluruh kawasan mata uang Euro. Para pemangku tanggung jawab di kawasan Euro sekarang harus cepat bertindak, jika tidak ingin kehilangan kepercayaan pasar.

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung menilai, Perancis lebih mudah mengambil keputusan membantu Yunani dibandingkan dengan Jerman. Harian ini menulis:

Perancis kelihatannya tidak terlalu kritis melihat bantuan bagi Yunani sebagai anggota mata uang Euro. Bukan berarti Perancis punya simpati khusus untuk Yunani. Ada alasan lain yang berkaitan dengan kepentingan konkrit. Banyak bank di Perancis yang menyimpan surat obligasi dari Yunani. Jika Perancis tidak membantu Yunani, ini sama saja dengan menembak kaki sendiri. Selain itu, kaum elit dan para pemilih di Perancis bersikap jauh lebih toleran pada defisit anggaran negara dibandingkan dengan masyarakat di Jerman. Perbedaan cara pandang terhadap anggaran negara inilah yang membuat Jerman bersikap jauh lebih skeptis dibanding Perancis dalam hal bantuan untuk Yunani.

Tema lain yang jadi sorotan pers di eropa adalah situasi di Inggris menjelang pemilihan umum 6 Mei mendatang. Persaingan antara partai-partai yang terlibat makin ketat. Situasi bagi Partai Buruh yang memerintah makin berat. Harian Perancis Le Figaro menulis:

Sampai enam hari sebelum pemilu, masih belum terlihat jelas siapa yang akan jadi pemenang. Kemungkinan besar, tidak ada partai yang akan memenangkan mayoritas mutlak. Artinya, untuk membentuk pemerintahan harus dilakukan perundingan. Posisi 'penobat raja' ada di tangan kubu Liberal Demokrat di bawah pimpinan Nick Clegg. Ia seorang politisi yang tidak ortodoks, menikah dengan seorang wanita asal Spanyol, berbicara bahasa Inggris, Jerman, Belanda dan Spanyol. Mungkin juga Partai Buruh merebut paling banyak kursi tanpa mendapat paling banyak suara pemilih. Kondisi perekonomian Inggris dengan defisit anggaran mencapai 12 persen Produk Domestik Brutto tidak terpaut jauh dari Yunani. Untuk menghindari masalah serius, Inggris harus cepat membentuk pemerintahan yang stabil.

Harian Italia La Reppublicca menyoroti keputusan parlemen Belgia meloloskan larangan wanita menggunakan Burka, yaitu kerudung yang menutupi seluruh tubuh, di tempat umum. Harian ini menulis:

Sekalipun tengah menghadapi krisis pemerintahan yang berat, parlemen Belgia masih bisa memutuskan undang-undang baru dengan mayoritas besar. Jika undang-undang ini juga disetujui oleh senat, maka Belgia akan menjadi negara pertama yang melarang pemakaian Burka di muka umum. Ini larangan bersifat simbolis. Sebab tidak banyak perempuan yang menggunakan Burka di Belgia. Undang-undang baru ini dimaksudkan untuk membela martabat wanita.

HP/ZR/dpa