Aktivis pro-demokrasi Myanmar menyerukan agar orang-orang berhenti membayar tagihan listrik hingga dana pinjaman. Mereka mengeritik hasil KTT ASEAN, menuntut pembebasan tahanan politik dan melanjutkan aksi unjuk rasa.
Iklan
Aksi protes terjadi di sejumlah kota besar di Myanmar pada Minggu (25/04), sehari setelah Jenderal Min Aung Hlaing mencapai kesepakatan dalam KTT ASEAN di Jakarta. Pemimpin junta militer itu tidak tunduk pada seruan pembebasan tahanan politik, termasuk pemimpin pemerintah sipil yang digulingkan, Aung San Suu Kyi.
Aktivis pro-demokrasi Myanmar pada Senin (26/04), menyerukan orang-orang untuk berhenti membayar tagihan listrik, pinjaman pertanian, dan meminta anak-anak berhenti sekolah.
"Kami semua, orang-orang di kota dan daerah lainnya harus bekerja sama untuk aksi boikot menentang junta militer," kata aktivis Khant Wai Phyo dalam pidatonya saat demonstrasi di pusat kota Monywa pada Minggu (25/04).
"Kami tidak berpartisipasi dalam sistem mereka, kami tidak bekerja sama dengan mereka.”
Iklan
Kesepakatan yang tidak memuaskan
Aktivis pro-demokrasi mengkritik keras lima poin kesepakatan hasil KTT ASEAN, yakni mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif antar semua pihak, mengirim utusan khusus ASEAN dan berkunjung ke Myanmar, serta menerima bantuan kemanusiaan. Tetapi hasil pertemuan pemimpin regional itu tidak menyebutkan pembebasan tahanan politik.
Para aktivis berjanji untuk terus melakukan aksi protes. "Apakah itu ASEAN atau PBB, mereka hanya berbicara dari luar dengan mengatakan 'jangan melawan tapi negosiasikan dan selesaikan masalah'. Upaya itu tidak mencerminkan situasi dasar Myanmar," kata aktivis Khin Sandar.
"Kami akan melanjutkan protes," katanya kepada Reuters melalui telepon.
Ketika hasil KTT ASEAN di Jakarta dirilis pada Sabtu (24/04), setidaknya tiga tentara tewas dan beberapa lainnya cedera dalam bentrokan bersenjata dengan milisi lokal di kota Mindat di Myanmar barat, kata Organisasi Hak Asasi Manusia negara bagian Chin.
Potret Aksi Protes Nasional Menentang Kudeta Militer di Myanmar
Warga Myanmar melakukan protes nasional menentang kudeta militer. Berbagai kalangan mulai dari dokter, guru, dan buruh menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan pemulihan demokrasi Myanmar.
Foto: AFP/Getty Images
Dokter dan perawat di garda depan
Kurang dari 24 jam setelah kudeta militer, para dokter dan perawat dari berbagai rumah sakit mengumumkan bahwa mereka melakukan mogok kerja. Mereka juga mengajak warga lainnya untuk bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil.
Foto: REUTERS
Koalisi protes dari berbagai kalangan
Sejak ajakan pembangkangan sipil tersebut, para pelajar, guru, buruh dan banyak kelompok sosial lainnya bergabung dalam gelombang protes. Para demonstran menyerukan dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Berikan kekuatan kembali kepada rakyat!" atau "Tujuan kami adalah mendapatkan demokrasi!"
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
Para biksu mendukung gerakan protes
Para Biksu juga turut dalam barisan para demonstran. "Sangha", komunitas monastik di Myanmar selalu memainkan peran penting di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini.
Foto: AP Photo/picture alliance
Protes nasional
Demonstrasi berlangsung tidak hanya di pusat kota besar, seperti Yangon dan Mandalay, tetapi orang-orang juga turun ke jalan di daerah etnis minoritas, seperti di Negara Bagian Shan (terlihat di foto).
Foto: AFP/Getty Images
Simbol tiga jari
Para demonstran melambangkan simbol tiga jari sebagai bentuk perlawanan terhadap kudeta militer. Simbol yang diadopsi dari film Hollywood "The Hunger Games" ini juga dilakukan oleh para demonstran di Thailand untuk melawan monarki.
Foto: REUTERS
Dukungan dari balkon
Bagi warga yang tidak turun ke jalan untuk berunjuk rasa, mereka turut menyuarakan dukungan dari balkon-balkon rumah mereka dan menyediakan makanan dan air.
Foto: REUTERS
Menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi
Para demonstran menuntut dikembalikannya pemerintahan demokratis dan pembebasan Aung San Suu Kyi serta politisi tingkat tinggi lain dari partai yang memerintah Myanmar secara de facto, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Militer menangkap Aung San Suu Kyi dan anggota NLD lainnya pada hari Senin 1 Februari 2021.
Foto: Reuters
Dukungan untuk pemerintahan militer
Pendukung pemerintah militer dan partai para jenderal USDP (Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan), juga mengadakan beberapa demonstrasi terisolasi di seluruh negeri.
Foto: Thet Aung/AFP/Getty Images
Memori Kudeta 1988
Kudeta tahun 1988 selalu teringat jelas di benak warga selama protes saat ini. Kala itu, suasana menjadi kacau dan tidak tertib saat militer diminta menangani kondisi di tengah protes anti-pemerintah. Ribuan orang tewas, puluhan ribu orang ditangkap, dan banyak mahasiswa dan aktivis mengungsi ke luar negeri.
Foto: ullstein bild-Heritage Images/Alain Evrard
Meriam air di Naypyitaw
Naypyitaw, ibu kota Myanmar di pusat terpencil negara itu, dibangun khusus oleh militer dan diresmikan pada tahun 2005. Pasukan keamanan di kota ini telah mengerahkan meriam air untuk melawan para demonstran.
Foto: Social Media via Reuters
Ketegangan semakin meningkat
Kekerasan meningkat di beberapa wilayah, salah satunya di Myawaddy, sebuah kota di Negara Bagian Kayin selatan. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet.
Foto: Reuters TV
Bunga untuk pasukan keamanan
Militer mengumumkan bahwa penentangan terhadap junta militer adalah tindakan melanggar hukum dan ''pembuat onar harus disingkirkan''. Ancaman militer itu ditanggapi dengan bentuk perlawanan dari para demonstran, tetapi juga dengan cara yang lembut seperti memberi bunga kepada petugas polisi. Penulis: Rodion Ebbighausen (pkp/ gtp)
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
12 foto1 | 12
ASEAN ingin Jenderal Min tarik pasukan
Para pemimpin ASEAN menginginkan komitmen dari Min Aung Hlaing untuk menahan pasukan keamanannya, yang menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) telah menewaskan 748 orang sejak gerakan pembangkangan sipil meletus untuk menantang kudeta 1 Februari melawan pemerintah terpilih Aung. San Suu Kyi.
AAPP, sebuah kelompok aktivis Myanmar, mengatakan lebih dari 3.300 ditahan. "Kami menyadari bahwa apapun hasil dari pertemuan ASEAN itu tidak akan mencerminkan apa yang diinginkan masyarakat," kata Wai Aung, seorang penyelenggara demonstrasi di Yangon. "Kami akan terus melakukan protes dan pemogokan sampai rezim militer benar-benar gagal."