Kritik Sawit, Sekolah Malaysia Dianggap Sebar "Kebencian"
3 Juli 2019
Malaysia menindak tegas sebuah sekolah lantaran dianggap menyebarkan "kebencian" terhadap industri sawit. Pemicunya adalah pernyataan sejumlah siswa tentang penyusutan populasi orangutan akibat ekspansi perkebunan
Iklan
Malaysia akan menindak sebuah sekolah internasional lantaran dinilai menyebarkan "propaganda anti minyak sawit." Niat tersebut diumumkan Kementerian Pendidikan pada Rabu (3/7) usai kemunculan sebuah video yang menampilkan murid membahas menyusutnya populasi orangutan akibat ekspansi hutan industri sawit.
"Keterlibatan murid dalam aktivitas propaganda bertentangan dengan kebijakan nasional dan bisa berdampak pada reputasi baik negeri ini," kata Amin Senin, Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan seperti dilansir Reuters. Meski demikian pemerintah tidak membocorkan nama sekolah yang akan ditindak.
Menteri Perindustrian Teresa Kok bahkan lebih jauh lagi menyebut pihak sekolah mempromosikan "ideologi kebencian" terhadap industri sawit. "Saya mengimbau sekolah agar menghentikan upaya menyulut sentimen anti sawit di antara murid Malaysia, seperti yang dilakukan Eropa terhadap negara kita."
"Saya juga mengajak manajemen sekolah agar datang ke kementerian saya atau ke Dewan Minyak Sawit Malaysia untuk memahami upaya merawat lingkungan oleh industri sendiri," imbuhnya kepada harian The Star.
Sejak beberapa tahun terakhir Malaysia dan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia bertindak sensitif terhadap kritik. Kedua negara berulangkali menuding Uni Eropa melakukan "kampanye hitam" ketika membahas dampak lingkungan produksi dan ekspansi perkebunan sawit di Asia Tenggara.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
Gencarnya penolakan Sawit bersumber pada persepsi negatif terkait kebakaran hutan, pengeringan lahan gambut dan pembantaian satwa langka. Namun baik Malaysia dan Indonesia bersikap acuh pada kritik tersebut dan sebaliknya menuding Uni Eropa bertindak "tidak adil" terhadap produk sawit mereka.
Kedua negara juga mengancam akan mengadukan kasus ini kepada Organisasi Perdagangan Dunia WTO setelah Komisi Eropa mengumumkan produksi minyak sawit memicu deforestasi dan sebab itu tidak lagi patut dianggap sebagai bahan bakar berkelanjutan. UE memutuskan akan menghentikan penggunaan minyak sawit sebagai bahan campuran bahan bakar kendaraan mulai 2030.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,24 juta hektar hutan pada era ekspansi perkebunan sawit antara 2009—2011, atau sekitar 620.000 hektar per tahun. Organisasi Lingkungan Rainforest Rescue mencatat saat ini perkebunan sawit menutupi 27 juta hektar lahan di seluruh dunia.
Ilmuwan menyebut perkebunan sawit sebagai padang pasir hijau lantaran membunuh keanekaragaman hayati.
Meski demikian baik Indonesia atau Malaysia banyak menggantungkan diri pada industri sawit yang menyumbang enam persen pada penerimaan negara. Saat ini negeri jiran di utara itu tercatat memiliki sekitar lima juta hektar perkebunan sawit yang menampung ratusan ribu tenaga kerja.
rzn/hp (Reuters)
Berpacu Dengan Waktu Selamatkan Orangutan Dari Kepunahan