1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kritik terhadap bantuan darurat di Aceh

1 Februari 2005

Diakui atau tidak, bencana gempa dan tsunami menjadi komoditas dalam pencarian sumbangan. Dan tidak jarang solidaritas tinggi dan antusiasme masyarakat untuk menyumbang berpotensi untuk menyelewengkan bantuan untuk para korban bencana.

Pasukan Australia membagikan air minum di Banda Aceh
Pasukan Australia membagikan air minum di Banda AcehFoto: AP

Organisasi Dokter Tanpa Batas Negara, merupakan organisasi bantuan pertama yang akan mengalihkan dana jutaan dollar untuk para korban tsunami ke proyek-proyek lainnya. Menurut keterangannya sendiri, organisasi tsb telah menerima uang sumbangan senilai 90 juta Euro , yakni setara dengan seluruh bujet organisasi tsb pada tahun 2003 yang diperuntukkan bagi proyek-proyek di Angola, Afganistan, Liberia, Kongo dan Sudan. Oleh sebab itu, organisasi dokter tsb mengimbau kepada masyarakat agar sumbangannya jangan lagi dideklarasi sebagai sumbangan untuk korban tsunami, agar sumbangan dapat juga digunakan untuk proyek-proyek lain. Disamping itu, bantuan organisasi asing untuk korban tsunami di Aceh, juga mendapat kritik. Harian Frankfurter Rundschau , dalam ulasannya mengutip keterangan Richard Munz, seorang dokter dan dosen pada Institut untuk Hukum Kemanusiaan Internasional pada Universitas Bochum , yang baru saja pulang dari tugasnya di kota pantai Teunom di Aceh Barat.

Kota pantai Teunom selama ini terputus dari dunia luar. Sebagian besar kota hancur, 4 ribu warga tewas atau hilang akibat gempa dan gelombang tsunami. Puskesmas di kota tsb pun hancur tersapu tsunami. Namun sementara ini tim Palang Merah Jerman dan Indonesia berhasil membangun kembali Puskesmas, yang sejak awal Januari telah berfungsi lagi dan dapat merawat ratusan pasien setiap hari. Namun lapangan di depan puskesmas yang berupa rumahsakit tenda sementara ini menjadi tempat pendaratan dan tinggal landas pesawat-pesawat helikopter .Helikopter dari tim bantuan Swedia, Perancis dan AS tanpa adanya saling koordinasi secara bertubi-tubi sampai 20 kali sehari mendrop beras dan material yang tidak dibutuhkan lagi. Alangkah baiknya bila kesediaan untuk membantu dan motivasi yang berlebih-lebihan itu disalurkan ke tempat-tempat yang membutuhkannya, maka banyak pekerjaan dapat diringankan.

Suratkabar Tagesspiegel – Taz yang terbit di Berlin menulis, bantuan organisasi asing justru mendistorsi pasar:

Situasi pasar di Banda Aceh , misalnya, kacau balau. Ribuan relawan membawa bahan pangan dan uang ke kota yang luluhlantak akibat tsunami. Akibatnya, harga barang, upah dan sewa rumah naik , tak terkendalikan. Harga garam kini naik dua kali lipat, karena pabrik garam hancur. Sebaliknya harga daging anjlok . Karena penduduk takut makan daging yang dikuatirkan tercemar virus dan bakteri. Yang juga naik pesat adalah sewa rumah di Banda Aceh. Menurut perkiraan, separoh rumah hancur di Banda Aceh. Selain 125 ribu warga butuh tempat tinggal, juga para relawan asing mencari pemondokan. Kesempatan baik untuk menaikkan harga sewa rumah sampai 10 kali lipat. Harga pangan naik, karena banyak perusahaan angkutan menaikkan tarip angkutannya. Perusahaan transportasi yang telah dimanjakan dengan order dari organisasi asing , kini juga menuntut harga yang tinggi dari para pedagang lokal. Selain itu banyak organisasi asing merekrut tenaga lokal dengan membayar upah di atas tarip normal. Berbeda dengan di Somalia atau Afganistan, misalnya, dimana ada kesepakatan harga dan upah di antara organisasi bantuan asing, di Banda Aceh tidak ada kesepakatan seperti itu. Beberapa dari sedikit rumah yang masih utuh disewakan dengan harga setinggi langit, sementara organisasi-organisasi kecil mengeluhkan melonjaknya upah untuk para tenaga kerjanya.