1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Kronologi 5 Tahun Krisis Rohingya

24 Agustus 2022

Pada tahun 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap populasi Muslim Rohingya di negara itu dan mendorong lebih dari 740.000 orang mengungsi, terutama ke negara tetangga Bangladesh.

Kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh
Kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, BangladeshFoto: Kazi Salahuddin Razu/NurPhoto/picture alliance

Sejak lima tahun, banyak pengungsi Rohingya dari Myanmar yang sampai sekarang masih terkatung-katung di berbagai negara, tanpa status yang jelas. Inilah kronologi krisis Rohingya yang dimulai lima tahun lalu:

2017

Pada pagi hari tanggal 25 Agustus 2017, sekelompok militan Rohingya yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan terkoordinasi terhadap puluhan pos polisi di negara bagian Rakhine di Kawasan pesisir Myanmar. Aksi itu menewaskan sedikitnya belasan petugas.

Militer Myanmar kemudian menggelar operasi di desa-desa Rohingya, dengan asalan untuk "mengusir para pemberontak”. Militer mengatakan berhasil membunuh 400 gerilyawan, tetapi pihak lawan mengatakan sebagian besar yang tewas adalah warga sipil. Menurut keterangan PBB, sedikitnya 1.000 orang tewas dalam dua minggu pertama operasi militer itu.

Pada tanggal 5 September, lebih dari 120.000 warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, membanjiri kamp-kamp pengungsi yang dibuat seadanya. Padahal sebelumnya sudah ada setidaknya 200.000 warga Rohingya di Bangladesh yang lari dari gelombang kekerasan di Mynmmar.

Kritik internasional memuncak terhadap Myanmar. Militer Myanmar dituduh telah menghancurkan rumah-rumah Rohingya. Beberapa pemimpin dunia menuduh militer myanmar melakukan "pembersihan etnis."

Pada 19 September, pemimpin sipil Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, berjanji untuk meminta pertanggungjawaban ''para pelanggar hak asasi" tetapi menolak untuk menyalahkan tentara.

Pada 23 November, Bangladesh dan Myanmar mencapai kesepakatan untuk mulai memulangkan pengungsi.  Tetapi Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi mengatakan tidak ada kondisi yang memungkinkan bagi warga Rohingya untuk kembali dengan selamat. Akhirnya proses itu terhenti.

Anak-anak di kamp pengungsi Rohingnya di Cox's Bazar, BangladeshFoto: Mohammad Shajahan/AA/picture alliance

Pada 5 Desember, pejabat urusan Hak Asasi PBB Zeid Ra'ad Al Hussein memperingatkan kemungkinan terjadinya "elemen-elemen genosida" dan menyerukan penyelidikan internasional.

2018

Pada 25 Agustus 2018, puluhan ribu pengungsi Rohingya menggelar unjuk rasa untuk memperingati satu tahun eksodus mereka. Penyelidik PBB menyerukan penuntutan panglima militer Myanmar dan lima komandan militer lainnya atas tuduhan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

Pada 3 September, dua jurnalis Reuters yang dituduh melanggar undang-undang rahasia negara Myanmar saat melaporkan pembantaian Rohingya dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun. Mereka menghabiskan lebih dari 500 hari di balik jeruji besi, sebelum dibebaskan dengan pengampunan presiden.

Pada bulan November, upaya untuk memulangkan 2.260 pengungsi Rohingya gagal karena mereka menolak untuk pergi tanpa jaminan adanya keselamatan.

2019

16 Juli 2019, Washington mengumumkan sanksi terhadap panglima militer Myanmar dan tiga perwira tinggi lainnya. Sekitar 3.500 pengungsi Rohingya diizinkan untuk kembali ke rumah mereka, tetapi pada jadwal pemulangan 22 Agustus, tidak ada yang muncul untuk melakukan perjalanan pada itu.

Pada 11 November, Gambia mengajukan gugatan di Mahkamah Internasional ICJ yang menuduh Myanmar melakukan genosida atas warga Rohingya. Tiga hari kemudian, Mahkamah Pidaba Internasional ICC yang berbasis di Den Haag memberikan lampu hijau untuk penyelidikan penuh atas penganiayaan terhadap Rohingya. Pada minggu yang sama, kasus ketiga diajukan oleh kelompok hak asasi manusia di Argentina berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.

11 Desember, Gambia memaparkan kasusnya di ICJ dengan menunjuk Aung San Suu Kyi secara pribadi yang bertanggung jawab atas departemen pertahanan Myanmar. Namun Suu Kyi membantah tuduhan genosida, dan menyangkal klaim "menyesatkan dan tidak lengkap" serta bersikeras bahwa Myanmar berurusan dengan "konflik bersenjata internal". Tapi dia mengakui, tentara mungkin telah menggunakan kekuatan secara berlebihan.

2020

Pada 23 Januari 2020, ICJ memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah mendesak untuk mencegah dugaan genosida dan melaporkan kembali dalam waktu empat bulan.

2021

1 Februari 2021, militer Myanmar merebut kekuasaan dengan menggulingkan pemerintahan sipil dan kemudian melancarkan tindakan keras dan berdarah terhadap aksi-aksi protes di negara itu. Aung San Suu Kyi kemudian ditempatkan di bawah tahanan rumah, dan kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 17 tahun dalam sidang tertutup di pengadilan junta militer.

2022

21 Maret 2022, Amerika Serikat ecara resmi menyatakan bahwa kekerasan tahun 2017 merupakan genosida, dengan mengatakan ada bukti yang jelas dari upaya untuk "menghancurkan" Rohingya.

22 Juli, ICJ memutuskan bahwa kasus yang diajukan oleh Gambia dapat dilanjutkan. Pada bulan yang sama junta militer di Myanmar mengeksekusi empat tahanan. Inilah eksekusi hukuman mati pertama di negara itu dalam beberapa dekade terakhir.

Pada 10 Agustus, dua pemimpin komunitas Rohingya ditembak mati di salah satu kamp pengungsi Bangladesh, aksi pembunuhan terbaru dalam serangkaian pembunuhan di pemukiman tersebut. Sumber-sumber Rohingya mengatakan kepada AFP, kelompok ARSA berada di balik penembakan tersebut. ARSA dituduh menjalankan perdagangan narkotika ielgal, membunuh lawan-lawan politiknya dan menyebarkanan iklim ketakutan di kamp-kamp pengungsi.

hp/pkp (afp)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait