1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT Arab-Cina Digelar di Arab Saudi

9 Desember 2022

Presiden Xi Jinping menemui pemimpin negara Arab di ibu kota Arab Saudi, Riyadh, Jumat (9/12). Olehnya, diselenggarakannya KTT Arab-Cina di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik dianggap sebagai “pencapaian besar”

Mohammed Bin Salman sambut Xi Jinping di Riyadh
Presiden Cina, Xi Jinping (ki.), bersama penguasa de facto Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (ka.)Foto: Bandar Algaloud/Saudi Royal Court/REUTERS

Pertemuan digelar di hari ketiga kunjungan pertama Xi di Arab Saudi sejak 2016. Lawatannya itu merupakan tur luar negeri yang ketiga selama pandemi corona. 

Kamis (8/12), Xi bertemu dengan Raja Salman dan Pangeran Mohammed bin Salman. Mereka menyepakati ragam perjanjian, mulai dari pengembangan energi hidrogen hingga perumahan, tanpa merinci lebih jelas.

Agenda pertemuan pada Jumat akan melibatkan enam negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan sejumlah negara Arab lain dalam KTT Arab-Cina yang digelar terpisah.

Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi dan Presiden Tunisia, Kais Saied, termasuk kepala negara yang sudah tiba sejak Kamis. Adapun Qatar, Lebanon, Irak dan sejumlah negara lain melengkapi undangan tuan rumah di Riyadh.

Diversifikasi diplomasi dan ekonomi 

"Cina akan bekerja sama dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab untuk menjadikan kedua KTT sebagai sebuah pencapaian besar dalam sejarah hubungan Cina dan Arab atau Cina dan GCC,” kata Xi, Kamis (8/12) kemarin, dalam sebuah pernyataan yang disiarkan stasiun televisi pemerintah, CCTV.

Negara-negara Teluk sejatinya adalah sekutu lama Amerika Serikat. Kemesraan baru dengan Cina sebabnya dianggap sebagai pergeseran haluan ke Asia, antara lain demi diversifikasi ekonomi yang masih ditopang sektor energi.

Cina di pihak lain berusaha memperluas pengaruhnya. Beijing misalnya seringkali mengaitkan kedekatan diplomasi dengan proyek infrastruktur raksasa seperti Belt and Road Initiative, yang kini digarap di 149 negara di dunia.

Sejauh ini belum ada keterangan resmi terkait agenda pembahasan di kedua pertemuan di Riyadh. Salah satu topik yang masih mengganjal adalah perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Cina dan GCC yang sudah dibahas sejak dua dekade lalu.

Poros baru Arab-Cina?

"Cina ingin menutup negosiasi panjang dengan sukses, karena perjanjian perdagangan bebas dengan blok ekonomi yang besar bernilai prestise bagi Beijing,” kata Robert Mogielnicki dari lembaga penelitian, Arab Gulf States Insitute, di Washington, AS.

"Situasinya tidak mudah bagi GCC, yang terlihat lebih tertarik pada perjanjian bilateral, karena mereka  terlibat dalam kompetisi ekonomi regional antara sesama negara anggota,” imbuhnya.

Tercapainya FTA akan memudahkan Arab Saudi. Sebagai eksportir minyak dan perekonomian terbesar di Timur Tengah, Riyadh mencanangkan diversifikasi ekonomi melalui paket reformasi "Vision 2030” yang digulirkan Mohammed bin Salman.

Media-media pemerintah Saudi melaporkan, kedua negara menandatangani kesepakatan senilai USD 30 miliar selama kunjungan Xi.

Kendati demikian, Mogielnicki mengatakan komitmen tersebut masih harus dibuktikan. "Kalau menyangkut relasi antara Cina dan Timur Tengah, kita harus ingat bahwa menandatangani nota kesepakatan dan janji investasi jauh lebih mudah ketimbang mengalirkan dananya,” kata dia.

Lawatan Xi di Timur Tengah sendiri ditanggapi secara kritis oleh pemerintah di Washington. Rabu (7/12) kemarin, Gedung Putih memperingatkan terhadap "pengaruh yang dibangun Cina di seluruh dunia,” karena dianggap "tidak mendukung tatanan dunia berbasis hukum.”

rzn/hp (afp,rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya