1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT Iklim COP27: Antara Harapan dan Kekecewaan

21 November 2022

Uni Eropa dan berbagai pihak lainnya frustrasi oleh kurangnya kemajuan untuk mengurangi emisi yang menyebabkan perubahan iklim. Jerman menyalahkan "sejumlah penghasil emisi besar dan produsen minyak.

Protespara anak muda di KTT IKlim di Mesir
Aksi protes di COP27 di Sharm el Sheik, MesirFoto: Christophe Gateau(dpa/picture alliance

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim di Mesir berakhir pada akhir pekan lalu, dengan kesepakatan negara-negara kaya mempersiapkan dana global untuk "kerugian dan kerusakan" (loss and damage) guna membantu negara-negara berkembang yang dilanda bencana iklim.

Namun, para kritikus mengatakan KTT COP27 PBB tidak cukup berhasil untuk mengurangi emisi pemanasan planet yang menyebabkan perubahan iklim. "Apa yang terjadi di depan tidak cukup sebagai langkah maju bagi manusia dan planet ini," kata Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans. Dia mengatakan UE "kecewa" akan hasil perundingan. "Kita seharusnya bisa berbuat lebih banyak lagi," kata Timmermans. Sementara itu Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock berujar: “Sangat membuat frustrasi melihat langkah-langkah mitigasi yang terlambat dan penghapusan energi fosil terhalang oleh sejumlah penghasil emisi besar dan produsen minyak,” katanya.

Sekretaris iklim Jerman Jennifer Morgan, yang tampak kecewa dalam penutupan KTT, dengan mengatakan satu-satunya alasan ada kesepakatan di KTT adalah, "karena kami ingin mendukung yang paling rentan." Eropa ingin memperluas basis penyandang dana dengan memasukkan negara-negara berkembang yang lebih kaya seperti Cina dan Arab Saudi.

Negara-negara kepulauan kecil yang menghadapi kenaikan suhu akibat iklim menyambut hasil kesepakatan di COP27, tetapi menyesali kurangnya ambisi untuk membatasi emisi. "Saya mengakui kemajuan yang kami buat dalam COP27" dalam hal pembentukan dana kerugian dan kerusakan, kata menteri iklim Maladewa, Aminath Shauna, tetapi ia menambahkan namun "Kita telah gagal dalam hal mitigasi ... Kita harus memastikan bahwa kita meningkatkan ambisi untuk mencapai puncak emisi dengan 2025. Kita harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil," tandasnya. 

Sementara dalam hal membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajad Celsius, kesepakatan di COP27 hanya menegaskan kembali narasi dari pakta tahun lalu di Glasgow yang menyerukan "penurunan bertahap tenaga batu bra dan penghentian subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien." Padahal jikalau pun semua janji yang dibuat sejauh ini terpenuhi, kenaikan rata-rata temperatur masih berada di kisaran 2,7 derajat Celsius, demikian isi sebuah laporan PBB. Situasi ini akan menyebabkan kekeringan yang meluas, kelangkaan air, kelaparan dan banjir pesisir.

Politisi Inggris, Alok Sharma, yang memimpin COP26 di Glasgow tahun lalu, mengatakan: "Tindak lanjut yang jelas tentang pengurangan batu bara, tidak tercantum dalam teks kesepakatan ini. Komitmen yang jelas untuk menghentikan semua bahan bakar fosil, juga tidak ada," tambahnya.

Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres mengatakan pembicaraan di KTT Iklim telah "mengambil langkah penting menuju keadilan" dengan pembentukan dana kerugian dan kerusakan, tetapi gagal mendorong penghapusan karbon yang diperlukan untuk mengatasi pemanasan global. "Planet kita masih berada di ruang gawat darurat," kata Guterres. "Kita perlu mengurangi emisi secara drastis sekarang dan ini adalah masalah yang tidak dibahas oleh COP ini."

Di lain pihak Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB Simon Stiell mengatakan hasil dari COP27 ini membawa kemajuan: “Kita telah menentukan jalan ke depan dalam percakapan selama beberapa dekade tentang pendanaan untuk kerugian dan kerusakan – juga membahas bagaimana mengatasi dampaknya pada masyarakat, yang kehidupan dan mata pencahariannya telah dirusak oleh dampak terburuk dari perubahan iklim.”

Menciptakan pendanaan khusus untuk kerugian dan kerusakan menurutnya menandai poin kemajuan yang penting, di mana isu tersebut diadopsi untuk pertama kalinya diagendakan di COP27. Para pemangku kebijakan juga sepakat untuk membentuk 'komite transisi' untuk membuat rekomendasi tentang cara mengoperasionalkan pengaturan pendanaan baru dan pendanaan di COP28 tahun depan. Pertemuan pertama komite transisi diharapkan berlangsung sebelum akhir Maret 2023.

Kucuran dana adaptasi dan mitigasi

Komitmen baru, dengan total lebih dari 230 juta dolar AS, diberikan kepada pendanaan adaptasi pada tahun COP27. Ikrar ini akan membantu lebih banyak komunitas yang rentan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim melalui solusi adaptasi nyata. Sementara itu, keputusan yang dikenal sebagai Rencana Implementasi Sharm el-Sheikh, menyoroti bahwa transformasi global menuju ekonomi rendah karbon diperkirakan membutuhkan investasi minimal 4-6 triliun dolar AS per tahun. Penyaluran dana semacam itu akan membutuhkan transformasi sistem keuangan serta struktur dan prosesnya yang cepat dan komprehensif, melibatkan pemerintah, bank sentral, bank komersial, investor institusional, dan pelaku keuangan lainnya.

Namun kesepakatan  dengan menitikberatkan pada pihak negara maju yang didesak memobilisasi bersama 100 miliar dolar AS per tahun belum tercapai. Dalam COP27, musyawarah dilanjutkan untuk menetapkan 'sasaran terukur kolektif baru tentang pendanaan iklim' pada tahun 2024, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan prioritas negara-negara berkembang. “Dalam konteks ini kami telah diberi kepastian bahwa tidak ada ruang untuk terjadinyakemunduran,” kata Stiell. “Ini memberi sinyal politik utama yang mengindikasikan bahwa penghentian semua bahan bakar fosil sedang terjadi.”

Lebih dari 45 ribu orang hadir dalam penyelenggaraan COP27 di Mesir. Bukan hanya pemerintahan, namun masyarakat adat, komunitas lokal, kota dan masyarakat sipil, termasuk pemuda dan anak-anak, bertukar pikiran bagaimana mereka menangani perubahan iklim dan bercerita bagaimana hal itu berdampak pada kehidupan mereka.

Arti pentingnya merangkul masyarakat adat dan kaum muda

Keputusan yang diambil di sini hari ini juga menekankan kembali pentingnya memberdayakan semua pemangku kepentingan untuk terlibat dalam aksi iklim; khususnya melalui rencana aksi lima tahun dalam apa yang disebut sebagai: Aksi Pemberdayaan Iklim dan Rencana Aksi Gender. Hasilnya diharapkan memungkinkan semua pihak untuk bekerja sama mengatasi ketidakseimbangan dalam partisipasi menangani iklim serta untuk mendorong aksi iklim yang lebih besar dan lebih inklusif di semua tingkatan.

Kaum muda khususnya diberi perhatian lebih besar di COP27, di mana PBB berjanji untuk mendesak pemerintah agar tidak hanya mendengarkan solusi yang diajukan oleh kaum muda, melainkan juga memasukkan solusi tersebut dalam pembuatan keputusan dan kebijakan. Para kaum muda menyampaikan suara mereka untuk didengar melalui ebuah paviliun yang pertama kalinya dikhususkan untuk anak-anak dan remaja, serta didirikannya Forum Iklim yang dipimpin oleh pemuda untuk pertama kalinya.

Laetania Belai, salah satu remaja Indonesia yang hadir di COP27 menekankan anak muda telah sering sekali mendengar janji dan ambisi pemerintah. Yang anak muda harapkan adalah bukan sekadar janji melainkan akis nyata: “Bayangkan saja, ini sudah 27 kali COP atau pertemuan tingkat tinggi, tentang apa yang harus dilakukan dalam krisis iklim. Artinya ada yang tidak benar sehingga harus bertemu lagi hingga ke 27 kalinya. Apapun targetnya, ambisinya, yang kita butuhkan adalah implementasi tindakannya. Di pihak lain negara-negara di utara yang merupakan ‘pendosa’ emisi sudah waktunya membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk bertransisi ke energi hijau dan bersih,” tandanya. 

Rangkuman keputusan yang diambil di COP27

“Ada serangkaian tonggak sejarah di depan. Kita harus bersatu, dengan tekad, melalui semua proses, baik itu nasional, regional, atau lainnya seperti G20. Setiap tonggak itu penting dan membangun momentum,” kata Stiell. Stiell mengingatkan para delegasi dalam pleno penutup bahwa dunia berada dalam dekade kritis untuk aksi iklim. Sebuah laporan gamblang dari Perubahan Iklim PBB mendukung pernyataannya. Menurut laporan tersebut, penerapan janji yang disampaikan oleh pemerintahan-pemerintahan telah menempatkan dunia pada jalur menuju dunia yang lebih hangat 2,5°C pada akhir abad ini. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB UNFCCC menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca harus turun 45% pada tahun 2030 untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C.

Presiden COP27 Sameh Shoukry mengatakan: “Pekerjaan yang berhasil kami lakukan di sini dalam dua minggu terakhir, dan hasil yang telah kami capai bersama, merupakan bukti dari keinginan bersama kami, sebagai komunitas bangsa, untuk menyuarakan pesan yang jelas. yang berdering keras hari ini, di sini, di ruangan ini dan di seluruh dunia: diplomasi multilateral itu masih berfungsi, terlepas dari kesulitan dan tantangan zaman kita, perbedaan pandangan, tingkat ambisi atau ketakutan, kita tetap berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim…. kami mengambil kesempatan itu, menjunjung tinggi tanggung jawab kami dan mengambil keputusan politik penting yang menentukan yang diharapkan jutaan orang di seluruh dunia dari kami.”

Rangkuman dari beberapa hasil utama COP27 lainnya adalah dalam bidang teknologi, akan didorong solusi teknologi iklim di negara-negara berkembang. Di bidang mitigasi, akan ada program mitigasi yang akan dimulai segera setelah COP27 dan berlanjut hingga tahun 2030, dengan setidaknya dua dialog tingkat global diadakan setiap tahun. Pemerintah juga diminta untuk meninjau kembali dan memperkuat target 2030 dalam rencana iklim nasional mereka pada akhir tahun 2023, serta mempercepat upaya untuk menghentikan secara bertahap tenaga batu bara dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. Krisis energi global yang belum pernah terjadi sebelumnya menggarisbawahi urgensi untuk segera mengubah sistem energi menjadi lebih aman, andal, dan tangguh, dengan mempercepat transisi yang bersih dan adil ke energi terbarukan selama dekade kritis ini.

Sedangkan dalam hal inventarisasi global, delegasi pada Konferensi Perubahan Iklim PBB COP27 menyelesaikan dialog teknis kedua dari inventarisasi global pertama, sebuah mekanisme untuk meningkatkan ambisi di bawah Perjanjian Paris. Sebagaimana telah dilaporkan sebelumnya dalam COP27 ini juga diluncurkan paket 25 tindakan kolaboratif baru di lima bidang utama: listrik, transportasi jalan, baja, hidrogen dan pertanian.

Khusus untuk Indonesia, Kemitraan Transisi Energi Indonesia yang baru, yang diumumkan pada KTT G20 yang diadakan hampir bersamaan dengan COP27, akan memobilisasi 20 miliar dolar AS selama tiga hingga lima tahun ke depan untuk mempercepat transisi energi yang adil.


ap/hp  (UNFCCC, AFP, AP; reuters, berbagai sumber)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait