1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT Keanekaragaman Hayati Montreal Hadapi Banyak Rintangan

7 Desember 2022

Komitmen untuk melindungi 30% daratan dan lautan dunia serta mencegah kepunahan massal dan perubahan iklim jadi fokus utama dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB di Montreal minggu ini.

Orang Utan
Foto ilustrasiFoto: Al Carrera/Zoonar/picture alliance

Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB ke-15 (CBD COP15) dibuka hari Rabu (7/12) di Montreal, Kanada, bertujuan untuk menghentikan penurunan ekosistem dengan melindungi 30% daratan dan lautan dunia pada tahun 2030. Tujuannya, jika disepakati, akan menjadi bagian dari kerangka keanekaragaman hayati global baru, yang pertama dinegosiasikan sejak 2010.

Ekosistem alami yang menopang planet kita dan spesiesnya menurun dengan cepat. Saat ini, kurang dari 17% daratan dan 8% lautan secara global merupakan kawasan lindung, di mana keanekaragaman hayati secara teoritis aman dari ancaman seperti penggundulan hutan, eksploitasi, atau polusi. Namun meski dilindungi, kawasan ini masih belum terlindungi dari bahaya lain yang dipicu oleh perubahan iklim, seperti kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan.

Hilangnya keanekaragaman hayati akibat ulah manusia mendorong kepunahan massal keenam di dunia, di mana tiga perempat spesies hewan dan tumbuhan bisa musnah hanya dalam beberapa abad. Kehilangan ini juga memperburuk perubahan iklim dengan menggunduli planet ini dari pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lainnya, yang biasanya menyimpan karbon.

Konvensi Keanekaragaman Hayati CBD yang disepakati tahun 1992 diratifikasi oleh 195 anggota PBB dan Uni Eropa. Konvensi itu berupaya menjaga keanekaragaman hayati melalui pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

"Fondasi kehidupan”

"Keanekaragaman hayati adalah fondasi kehidupan," kata Elizabeth Maruma Mrema, seorang pengacara Tanzania dan sekretaris eksekutif Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati yang berbasis di Montreal. "Kita bergantung pada keanekaragaman hayati untuk makanan yang kita makan, air yang kita minum, penyerapan karbon, obat-obatan yang kita minum, udara yang kita hirup,” katanya kepada DW.

Ada banyak tekanan bagi CBD COP15 untuk menetapkan tujuan yang realistis dan dapat dicapai. Konferensi tahun 2010 di Nagoya, Jepang, menetapkan 20 target keanekaragaman hayati, seperti mengurangi separuh hilangnya habitat alami pada tahun 2020. Namun tidak ada yang tercapai, menurut laporan CBD tahun 2020.

"Kami pada dasarnya (kami) gagal mencapai salah satu target dan keadaan jelas menjadi jauh lebih buruk sejak itu," kata Dave Hole, seorang ilmuwan perubahan iklim dan keanekaragaman hayati di Conservation International yang berbasis di AS. "10 tahun ke depan sangat penting," tambahnya, mencatat bahwa jumlah serangga, yang sangat penting bagi ekosistem sebagai penyerbuk, sedang menurun tajam. Sekitar 40% spesies serangga dunia dapat punah dalam beberapa dekade mendatang, menurut sebuah studi tahun 2019.

KTT Keanekaragaman Hayati Montreal akan membuat peta jalan untuk pemulihan alam pada tahun 2030, tidak hanya melalui perlindungan tetapi dengan menargetkan 22 pendorong hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, polusi, spesies asing yang invasif, dan perubahan iklim.

Dengan 50% dari Produk Domestik Bruto global bergantung pada alam, menurut Elizabeth Maruma Mrema, perlindungan keanekaragaman hayati tidak hanya akan memelihara kehidupan di bumi tetapi akan menyediakan hampir 400 juta pekerjaan tambahan secara global pada tahun 2030.

Dia percaya bahwa dunia "siap untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk membalikkan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati," tetapi meningkatkan perlindungan bukanlah tugas yang mudah.

Infografik penyebab utama penurunan serangga di seluruh dunia

Masih banyak rintangan menuju perlindungan ekosistem

Area hutan yang setara dengan ukuran Portugal ditebang setiap tahun. Meskipun setengah dari area ini telah ditanami kembali, hal itu tidak memulihkan ekosistem purba dan spesies yang pernah tumbuh subur di sana.

Upaya di CBD COP15 Montreal untuk meningkatkan jumlah kawasan keanekaragaman hayati yang dilindungi perlu mengakomodasi sejumlah kepentingan yang bersaing. Misalnya, apakah masyarakat adat akan dipaksa keluar dari tanah tradisional tempat mereka tinggal dan bekerja?

Elizabeth Maruma Mrema mengatakan, target 30 persen kemungkinan akan diratifikasi, namun perlu ada kesepakatan untuk melindungi hak tanah, budaya, dan pengetahuan tradisional masyarakat adat, karena masyarakatlah yang menjadi penjaga keanekaragaman hayati.

Masalah pembiayaan menjadi poin penting lainnya. Beberapa perkiraan mengatakan, kekurangan dana yang diperlukan untuk membiayai perlindungan keanekaragaman hayati bisa mencapai USD 824 miliar (€780 miliar) per tahun pada 2030. Seperti kesepakatan untuk kerugian iklim dan kompensasi kerusakan yang ditengahi bulan lalu di konferensi iklim COP27, negara-negara berkembang termasuk Gabon , Kuba dan Argentina, meminta negara-negara kaya untuk menyediakan USD 700 miliar per tahun pada tahun 2030 untuk keanekaragaman hayati. Namun negara maju enggan membuat mekanisme pendanaan itu.

"Kami tidak menginginkan perjanjian di atas kertas tanpa apa pun di belakangnya," kata Menteri Lingkungan Hidup Afrika Selatan Barbara Creecy. "Kami menginginkan dana konservasi dan keanekaragaman hayati khusus untuk mendukung tujuan tersebut."

Rancangan teks perjanjian keanekaragaman hayati mencakup tujuan untuk mereformasi skema USD 500 miliar per tahun dalam pendanaan yang merusak alam, seperti subsidi untuk bahan bakar fosil. Ini akan menggantikan komitmen 2010 yang gagal "menghilangkan, menghapus atau mereformasi insentif, termasuk subsidi, yang berbahaya bagi keanekaragaman hayati," kata draf teks tersebut.

Menurut rilis minggu lalu, untuk menghindari bencana perubahan iklim, sektor lahan global – termasuk pertanian, kehutanan serta perlindungan dan restorasi lahan alami – harus mencapai emisi nol bersih pada 2030.

"Krisis iklim telah dipelajari secara ilmiah jauh lebih mendalam daripada krisis hilangnya keanekaragaman hayati," kata Jörg Rocholl, presiden sekolah bisnis internasional ESMT di Berlin, yang menyerukan agar hilangnya keanekaragaman hayati dikenakan harga seperti yang dikenakan pada CO2 pada Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa.

Tim Schauenberg berkontribusi untuk laporan ini.

(hp/yf)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait