Konflik Antara Saudi dan Iran Bayangi KTT Islam di Malaysia
18 Desember 2019
Arab Saudi menolak mengirimkan delegasinya ke KTT negara muslim di Kuala Lumpur. Analis menduga keputusan itu didorong kehadiran Turki, Iran dan Qatar. Sikap Saudi diyakini semakin mempedalam perpecahan di tubuh OKI.
Iklan
Sebuah konferensi tokoh muslim dunia di Malaysia terseret ke arus perpecahan politik antara Arab Saudi dengan Turki, Iran dan Qatar. Pemerintah Riyadh menegaskan tidak akan menghadiri pertemuan tersebut. Pakistan mengikuti langkah Saudi dan urung mengirimkan perwakilannya ke Kuala Lumpur.
Riyadh berdalih konferensi di Malaysia merupakan forum yang salah untuk membahas isu-isu paling penting bagi 1,75 miliar umat muslim di dunia. Namun analis politik meyakini, sikap pemerintah Saudi berkaitan dengan kehadiran pemimpin dan kepala negara Turki, Qatar dan Iran.
Ketiga negara membentuk blok politik usai Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir memboikot Qatar perihal hubungannya dengan Iran. Ketika jurnalis Saudi Jammal, Khashoggi dibunuh secara brutal di kedutaan besar Arab Saudi di Ankara Oktober 2018, PM Turki Recep Tayyip Erdogan secara tidak langsung menyebut Pangeran Muhammad bin Salman mendalangi asasinasi tersebut.
Namun ketidakhadiran Arab Saudi sebagai penjaga dua kota suci Islam ke pertemuan puncak di Malaysia dinilai semakin memperdalam keretakan di antara negara-negara muslim.
"Masalahnya adalah ada blok-blok politik," kata James Dorsey, pengamat politik di S. Rajaratnam School of International Studies and Middle East Institute di Singapura. "Ada blok Saudi-Uni Emirat Arab dan blok Turki-Qatar. Sementara Pakistan berada di tengah-tengah dan berusaha agar tidak terlihat terlalu berpihak."
Di Kuala Lumpur, Erdogan dijadwalkan akan memberikan pidato di hadapan Presiden Iran Hassan Rouhani, Emir Qatar Syeikh Tamim bin Hamid Al-Thani, PM Malaysia, Mahathir Mohammad dan Wakil Presiden Indonesia, Ma'ruf Amin.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Sejauh ini belum ada agenda pasti dalam pertemuan puncak di Malaysia. Namun konferensi tersebut diyakini akan ikut membahas konflik Kashmir, Suriah dan Yaman, serta nasib minoritas Rohingya di Myanmar dan Uighur di Xinjiang, Cina. Terutama pembahasan perang di Yaman dikhawatirkan akan ikut ditunggangi kepentingan politik Iran.
Ironisnya PM Pakistan, Imran Khan yang secara aktif ikut mendorong agar digelarnya pertemuan itu memutuskan absen pada menit-menit terakhir. Sejumlah pejabat pemerintah yang enggan disebut namanya mengatakan keputusan Khan dipicu oleh tekanan Arab Saudi. Islamabad selama ini banyak bergantung dari bantuan finansial Riyadh.
Kantor berita pelat merah Saudi, SPA, melaporkan Raja Salman sudah menghubungi PM Mahathir dan mengatakan isu-isu yang akan dibahas di Kuala Lumpur sebaiknya didiskusikan melalui Organisasi Konferensi Islam (OKI).
"Mereka (Arab Saudi) sangat khawatir tentang pertemuan itu," kata sumber di pemerintahan Saudi kepada Reuters.
Reuters melaporkan bahkan panitia penyelenggara di Kuala Lumpur tidak bisa memastikan siapa yang akan datang meski konferensi sudah akan dimulai pada Kamis (19/12). Kantor Perdana Menteri mengklaim telah mengirim surat undangan ke 56 negara anggota OKI. Namun sejumlah pejabat mengaku hanya 20 negara yang mengirimkan delegasinya ke Malaysia.
Menyusul kritik terhadap Konferensi tersebut Mahathir berdalih pihaknya tidak berniat menciptakan "blok baru seperti yang dituduhkan sejumlah pihak."
"Pertemuan ini bukan forum untuk mendiskusikan agama atau urusan agama, tetapi khusus untuk menangani masalah kenegaraan umat muslim," tulisnya dalam sebuah surat pernyataan. Dalam sebuah wawancara pekan lalu dengan Reuters, Mahathir mengaku frustasi atas ketidakmampuan OKI untuk membangun persatuan di antara negara anggota.
rzn/vlz (rtr, ap)
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)