Jasad dari puluhan tentara Jepang dari era Perang Dunia II yang dikuburkan di kepulauan Marshall, terangkat dari dalam tanah akibat kenaikan air laut.
Iklan
Jasad sekitar 20 pria dewasa yang dikuburkan di pemakaman kecil di tepi pantai, terangkat dari dalam tanah karena kenaikan air laut di kepulauan Marshall. Kerangka kemudian dihanyutkan oleh gelombang air laut hingga tersapu ke tepi pantai Pulau Enniburr.
Salah seorang pejabat pemerintahan Jepang mengatakan, "Jika kerangka tersebut benar dari tentara Jepang, ini adalah kasus langka dari ombak laut yang mengerosi kuburan dan mengekspos isinya."
Pulau yang Habis Tergerus
Akibat terus meningginya permukaan air laut, warga Ashar Chor terpaksa pindah ke wilayah lain di Bangladesh. Perubahan iklim terus mengurangi ukuran pulau dan mengganggu keberlangsungan hidup warga.
Foto: DW/K.Hasan
Zona Berbahaya
Ashar Chor, sebilah lahan di Teluk Benggala, terletak di wilayah yang sangat rentan terhadap bencana alam. Sebagian pulau setiap hari mengalami banjir setiap kali air pasang dan menggenangi tambak ikan serta lahan pertanian.
Foto: DW/K.Hasan
Dari Laut ke Darat
Perekonomian pulau tergantung pada ikan kering. Setiap kapal nelayan bertolak dari pesisir Ashar Chor untuk menangkap ikan selama 15-20 hari. Ketika nelayan kembali, beban pekerja pengeringan ikan bertambah berat. Ikan diangkut sejak dini hari dari kapal menggunakan ember, untuk diproses dan dikeringkan.
Foto: DW/K.Hasan
Terjebak Kebutuhan
Setiap hari, Danesh yang berusia 6 tahun ikut menangkap ikan. Ia terlalu muda untuk bekerja, namun nasib tidak memberi pilihan lain. Masih banyak buruh anak yang bisa dijumpai dalam komunitas pulau. Anak-anak mendapat 40 taka atau 6.000 Rupiah per hari.
Foto: DW/K.Hasan
Beban Sama, Bayaran Beda
Perempuan bekerja bahu-membahu dengan para lelaki di Ashar Chor. Namun seperti di banyak belahan bumi lainnya, mereka dibayar lebih sedikit ketimbang lawan jenisnya.
Foto: DW/K.Hasan
Selalu Genting
Selama masa hidupnya bekerja di Ashar Chor, Karim Ali yang berusia 52 tahun telah melihat banyak hal mulai dari bencana alam hingga penculikan, yang kemudian berujung pada kerja paksa. "Pernah salah seorang teman kerja saya diculik dan tak pernah kembali," kisah Ali. "Saya tak tahu kapan ini akan menimpa saya. Hidup tidak terjamin di sini."
Foto: DW/K.Hasan
Perlu Lahan
Pemasukan satu-satunya datang dari ikan kering, yang mendapat prioritas utama. Di pulau Ashar Chor, komunitas memaksimalkan lahan untuk mengeringkan ikan. Tanpa fasilitas pengawetan ikan modern, ember-ember penuh ikan dibilas air tawar dan dijemur dengan tali rafia selama 6 hari.
Foto: DW/K.Hasan
Sahabat dan Musuh Bebuyutan
Teluk Benggala menjadi kunci keberlangsungan hidup warga pulau, yang sebagian besar mendapat pemasukan dari pengeringan ikan. Namun laut juga menghancurkan hidup mereka dengan banjir dan siklon.
Foto: DW/K.Hasan
Begitu Tertinggal
Siklon Sidr tahun 2007 menelan banyak korban. Palang Merah meyakini 900.000 keluarga, kurang lebih 7 juta orang, terkena dampak bencana ini. Dari total korban tewas, 40 persen diantaranya adalah anak-anak.
Foto: DW/K.Hasan
Tak Ada Bantuan
Komunitas di Ashar Chor hidup di tengah kondisi sulit. Pemerintah Bangladesh tidak menyediakan pengungsian pasca siklon, ataupun menggelar proyek sanitasi. Mereka tinggal di dalam gubuk-gubuk kecil.
Foto: DW/K.Hasan
9 foto1 | 9
Sejak puluhan tahun, Jepang mencoba menemukan jasad jutaan warganya, termasuk tentara, yang tersebar di wilayah Asia Pasifik yang dulunya diduduki oleh Jepang hingga Perang Dunia II berakhir. Jepang menguasai Kepulauan Marshall dari tahun 1914 hingga fase akhir perang, saat AS mengambil alih kendali.
Kepulauan Marshall dan pulau di Samudera Pasifik lainnya semakin terancam oleh kenaikan permukaan air laut. Banyak wilayah pesisir yang kini beresiko terkena erosi.
Menteri luar negeri Kepulauan Marshall Tony de Brun menyalahkan perubahan iklim yang mengancam eksistensi kepulauan yang berada hanya dua meter di atas permukaan air laut.
Pakar iklim mengatakan, pemanasan global rata-rata menaikkan tingkat permukaan air laut di dunia hingga sekitar 19 cm di abad terakhir. Sementara itu, menurut hasil studi PBB, Kamis (05/06/14), perubahan pada angin dan arus di kawasan Pasifik menyebabkan kenaikan air laut di wilayah tersebut lebih cepat dari rata-rata dunia sejak tahun 1990an.